Pernahkah kamu demikian yakin dan memegang teguh hasrat menghindari sesuatu, tetapi malah terseret ke dalamnya? Pernah tidak, kamu demikian ingin berlari, tetapi kakimu serasa dirantai, dan pada ujung rantai itu terkait bola besi yang berton-ton beratnya?
Ya, kurang lebih, itu yang menimpa Ferlita. Penggambaran hubungan Daniel dengan Brenda ketika berbincang dengan Edward yang kala itu menghampiri meja mereka, menjadi celah bagi Daniel untuk mengungkapkan situasi yang ia hadapi.
Saat itu, Daniel merasa, tiada yang perlu ia tutupi lagi dari Ferlita. Jeda waktu yang lumayan seusai santap siang hingga waktu pemutaran film yang mereka tonton, dimanfaatkan Daniel untuk bertutur tentang dirinya, begitu pula rentang waktu selepas menonton film hingga mengantarkan Ferlita menuju tempat tinggalnya.
“Nggak seindah seperti yang dilukiskan media, kan? Pa boleh buat, itu kenyataannya. Nah, kamu boleh tanya apa saja ke aku. Apaaaa saja, yang kamu pengen tahu soal aku,” ucap Daniel seusai menutup kisah yang ia tuturkan, setibanya mereka berdua di rumah Pak Pedro.
Ferlita masih termangu mana kala Daniel menambahkan, “Sementara aku, bakal sabar menunggu sampai kamu siap, berbagi cerita soal diri kamu, Fei. Kapan pun kamu mau. Aku cuma minta satu, setelah mendengar semuanya yang aku tuturkan tadi, tolong jangan jauhi aku, ya. Aku nggak sehoror itu, kok.”
Alhasil, Ferlita hanya mampu mengangguk singkat. Ia tenggelam dalam pemikirannya sendiri.
Ferlita masih dilanda rasa takjub. Dia tak habis pikir, bagaimana mungkin Daniel memercayakan padanya kisah pribadinya secepat ini? Disadarinya, ada kegentaran hebat mengguncangnya. Kegentaran yang mendadak beradu pengaruh dengan angin p****g beliung, yang membelitnya, melarutkannya pada hubungan dengan Daniel.
‘And like the willing victim, I am surrender!’ bisik hati Ferlita.
Daniel mencermati wajah Ferlita. Cemas dan secuil sesal mencuat. Ia merasa, sementara cukuplah, tak perlu mengumbar tentang dirinya lebih banyak lagi. Daniel pantang menebarkan aura horor yang lebih lagi, setidaknya untuk saat ini. Dia segera menengarai bahwa Ferlita belum siap. Andai mau jujur, dirinya sendiri juga belum sepenuhnya siap untuk membuka diri sepenuhnya. Dia takut dan tidak ikhlas, kalau Ferlita ngibrit sekencangnya lalu bukan sekadar membanting pintu padanya, tetapi mengunci serta menggeser semua selotnya. Baru sekadar membayangkannya saja, Daniel sudah gelisah.
Namun, betapa mujur seorang Daniel, reaksi Ferlita kemudian ternyata sebaliknya.
“Dan, besok aku selesai kuliah jam 12.30 wib. Terus, ngasih lesnya jam 14.30 wib sampai 16.30 wib. Eng, sori, ini kamu masuk buat pamit ke Om Pedro saja ya, nggak usah pakai ngobrol? Nggak enak, sudah seharian pergi berduaan,” cetus Ferlita, membuat Daniel melongo.
‘Gadis ini ternyata susah ditebak! Perkataannya barusan, itu ajakan kencan, bukan, sih?’ tanya Daniel dalm hati.
Diberkatilah seorang Daniel yang otaknya high speed. Dia pantang menyia-nyiakan peluang di depannya.
“Oh, iya. Pas 12.15 wib, aku sudah standby di depan kampusmu. Kita makan siang dulu, ya, baru aku antar dan aku tungguin di tempat les. Habis itu, terserah kamu, mau langsung pulang atau mau jalan kemana. Yang jelas, sekarang kita musti cepat masuk. Sudah jam 19.40 wib. Aku kan janji memulangkanmu selambatnya jam delapan malam? Mau pamit ke Om Pedro, sekalian mau ijin, ngajak kamu lagi besok,” sahut Daniel lancar sembari melirik tentengan makanan di tangannya. Tentangan yang dikhususkannya buat Om dari sang gebetan.
Ferlita batal protes. Ah, sebetulnya dia juga mau kok, melewatkan waktu sama Daniel lagi besok.
“Bahasanya jelek banget, memulangkan. Itu konotasinya negatif, tahu! Seperti mengembalikan gadis yang sudah dinikahi ke orang tuanya,” gerutu Ferlita tanpa sadar.
Daniel tercengang mendengarnya.
‘Eh? Itu barusan, kode keras? Kamu mau cepat-cepat jadi istriku? Aku mau banget, tapi..,’ pikir Daniel. Hampir dirinya terpancing untuk menggoda Ferlita. Namun, berbekal pengalaman salah pahamnya dengan Ferlita yang sudah berkali-kali dari kemarin, Daniel menepis godaan yang datang. Hati kecilnya langsung memperingatkannya, “Enggak, itu area berbahaya! Bahaya banget, malah! Bisa lebih cepat dibantingin pintu, tahu! Mau, begitu?”
“Kamu lebih parah, mengembalikan. Memangnya barang? Eits, udah, udah, aku yang duluan salah pilih diksi. Maksudnya, mengantar kamu pulang. Nah, ayo, jam 19.42 wib nih, sekarang. Aku harus mempertahankan image sebagai teman laki-laki yang sanggup memegang janji kepada Om dari gadis yang aku kencani,” ralat Daniel, membuat Ferlita sontak menyipitkan mata, meski bergerak melangkah juga.
“Iih.., jangan pakai istilah yang aneh-aneh, deh! Dipermudah aja sih, biar Om Pedro punya penilaian baik ke kamu. Simpel, kan?” kritik Ferlita.
“Iya... iiiyaaa,” Daniel menyentuh rambut Ferlita dengan sayang. Sentuhan yang membuat Ferlita merasa badannya demikian ringan, melayang, tak lagi memijak bumi.
‘Hati, kamu nggak sekadar kurang ajar padaku! Kamu lemah amat, bikin aku repot, uh!’ keluh Ferlita dalam diam.
Esoknya, tahu-tahu Daniel sudah memperkenalkan Ferlita dengan tante Ann melalui skype. Sama seperti Daniel, tante Ann segera menyukai Ferlita sejak percakapan pertama mereka. Pun pada sekian percakapan berikutnya.. Dia menyimpulkan, gadis ini berbeda, bukan seperti gadis lain yang pernah diperkenalkan Daniel padanya. Dari ekspresi wajah Daniel yang sumringah dan bersemangat setiap kali menyingung tentang Ferlita saja, tante Ann sudah bisa menyimpulkan, gadis ini sungguh berarti bagi keponakannya tersayang. Cukup melihat seri di paras keponakan tercintanya, tante Ann langsung berharap, gadis yang satu ini sungguh dapat menjadi pendamping Daniel kelak.
Itulah faktanya. Daniel mantap membatalkan liburannya ke pulau Moyo serta Labuan Bajo, mengirim sebuah pesan singkat kepada Brenda.
To : Brenda Adriana Sanjaya
Bren, sori, gue batal ke Labuan Bajo. There’s something more important for me to do. Have fun, ya!
Pesan teks yang baru dijawab Brenda 23 jam setelahnya, meski telah bertanda read di menit ketiga Daniel mengirimnya.
From : Brenda Adriana Sanjaya
Nope. Selow aja :). You too.
Jawaban yang amat singkat, jelas, padat. Daniel tak tahu, perlu waktu bagi Brenda untuk membalas pesannya dengan memilih kata yang sedapat mungkin tidak mencerminkan sejumlah perasaan negatifnya yang melintas.
Brenda jelas kecewa, sebab Daniel melewatkan peluang yang dipikirnya bakal menghangatkan hubungan keduanya. Ya, bicara santai dan melewatkan waktu di luar rumah, di tempat yang indah, semula diharapkan Brenda dapat merobohkan mental block yang menghalangi keakraban mereka. Dia, yang menekan gengsinya dengan berinisiatif mencari tahu Daniel akan kemana secara sembunyi-sembunyi, serta mencocokkan sendiri jadwal liburannya, dia pula yang mengusulkan ke Daniel untuk bertemu, bahkan telah mengeset tempat dan waktunya, tanpa berterus terang pada Daniel.
Dalam gempuran rasa kecewa yang melandanya, terselip kecurigaan pula. Brenda berpikir, jangan-jangan Daniel sedang membuat semacam kesepakatan tertentu dengan papanya, sehingga mau-maunya berlama-lama di Jakarta, meski disingkirkannya prasangka ini. Ya, dia sedang mengajak hatinya berdamai dengan keadaan, menerima posisinya yang ‘hanya’ seorang anak perempuan. Dihalaunya sedih dan pedih yang kompak menyergapnya berbarengan.
Padahal, andai saja dia tahu, apa yang mendasari keputusan Daniel, tak ada hubungannya dengan itu semua. Daniel memilih tinggal di Jakarta, memastikan setiap hari dapat bertemu dengan Ferlita. Catat, setiap hari! Ia mengabaikan pandangan aneh dari Ray ketika sekali berpapasan saat dirinya menjemput Ferlita di rumah. Tidak terpikir olehnya, ada perdebatan kecil antara Ray dengan papanya, saat mengetahui papanya sudah berkali-kali mengijinkan Daniel dan Ferlita pergi berduaan. Daniel juga tak ambil pusing dengan tatapan heran sekaligus bertanya-tanya dari sang Papa, yang seolah tak percaya, putra kesayangannya bisa selama itu berada di Jakarta, setiap hari keluar dari rumah seharian, namun malam harinya rutin pulang ke rumah dengan wajah berseri. Kadang-kadang bersiul-siul, pula!
Semua berlangsung cepat, dan cukup serius sebenarnya, baik bagi Ferlita maupun Daniel. Sepuluh hari berlalu, tiada hari tanpa pertemuan antara dua orang yang bukan terbawa perasaan semata, namun telah menjurus terperosok lebih dalam dan lebih dalam lagi, pada sesuatu bernama PERASAAN.
Menyadari waktu kembalinya ke Singapura yang mendekati hitungan mundur, Daniel pantang menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Tepat di hari ke 12 mengenal Ferlita, Daniel mengutarakan isi hatinya pada Ferlita.
Dan Ferlita, entah kenapa, menjawab dengan tatapan mata yang menyiratkan, “Kenapa enggak Dan? Aku juga nggak tahu kenapa perasaanku bisa secepat ini terhanyut dan otakku terlalu capek buat mikir kenapa?”
Jikalau ada soal tes yang berbunyi : kapan momen terindah dalam hidup anda? Daniel takkan ragu untuk segera menjawab : THIS TIME!
Sayangnya, tiga hari kemudian, bertepatan dengan sebuah email yang masuk ke inbox-nya, perasaan Daniel auto galau. Email yang telah dinantinya sekian lama, pemberitahuan bahwa dirinya mendapatkan beasiswa program S2 yang dinantinya, meski tidak termasuk biaya akomodasi itu, yang semestinya disambutnya dengan gembira, justru sukses menempatkannya pada sebuah dilema. Senyum lebar, tatapan bangga dan pelukan hangat papanya saat dia dengan terpaksa, memberitahukan berita gembira itu lusa malamnya pada sang Papa, dirasanya begitu menyesakkan d**a. Persis tebakannya, Papanya langsung menyebutkan beberapa pilihan apartemen terbaik, yang dapat dipilih Daniel.
“Terserah Papa saja,” ucap Daniel dengan lidah kelu, dan segera berlalu dari ruang makan, menyisakan piring yang masih berisi sepertiganya. Tanpa memanjatkan doa sesudah makan. Ah! Dia lelah sangat. Kepalanya terasa penuh. Mendadak dirasanya kepala adalah bagian terberat dari tubuhnya, sebab lehernya saja serasa tak mampu menopang kepala yang kini serasa hendak pecah. * * Lucy Liestiyo * *