Sekuat apa pun Daniel berusaha meredakan gelombang rasa yang menggulungnya, dia toh tidak mungkin menang. Segalanya menjadi berubah, sejak ... kehadiran seorang Ferlita di hidupnya. Kini bukan diri dan perasaannya saja yang harus dipikirkan. Ada orang lain, tempat dia menitipkan hati.
Tapi di hari ke 25 dia mengenal Ferlita yang setiap hari ditemuinya, kegelisahannya kian menjadi. Beberapa jam sebelum berangkat ke bandara, toh Daniel mrasa ada badai yang mengacak-acak ketenangan hatinya. Ingin benar dirobeknya tiket pesawatnya untuk nanti malam. Dia ingin di Jakarta saja. Mungkin untuk selamanya. Di sisi Ferlita tersayangnya.
Terbersit di pikiran Daniel, gelar sarjana IT sudah cukuplah, buat dipersembahkan kepada Mister Agustin Reynand Sanjaya. Pikirnya, titel itu, serta foto-foto dirinya saat diwisuda kelak, nggak akan bikin pak Agustin itu malu, kan, di hadapan rekan sesama pengusaha?
Seminggu memendam semua kegelisahan itu, membuat kualitas tidur Daniel amat buruk. Tadi pagi saat berpapasan lagi dengan sang papa yang akan berangkat kerja dan mengatakan hendak mengantarnya ke bandara sore nanti, dia menolak tegas. Membayangkan sekian jam berada satu mobil dengan papanya saja sudah membuat batinnya tersiksa. Lebih dari menolak diantarkan papanya, Daniel juga mengatakan tidak perlu supir. Ya, dia berkeras mau memesan taksi saja. Dan entah lantaran masih terlampau gembira dengan pencapaian sang putra mahkota ataukah sudah terlampau hafal watak aneh Daniel, papanya meluluskan kemauan Daniel. Ya, biarpun nggak rela juga sih, sejatinya.
Tapi bisa jadi, yang terpikir oleh Papanya adalah : Nggak apa deh, Daniel kan sudah memberinya berita super bahagia dan ekstra membanggakan! Anggap lah ini apresiasi.
Daniel menunduk, menatap kepulan asap yang menguarkan aroma rempah dari piring makanan di depannya. Aroma lezat itu tak sanggup membangkitkan selera makan Daniel. Dalam bayangannya, dia memasuki ruang kerja papanya, dengan rendah hati meminta papanya melupakan saja kabar tentang beasiswa itu. Dan sebelum papanya bertanya, dia akan menyatakan untuk kuliah S2 di Jakarta saja.
‘Ah, peduli amat reaksi senang, bangga atau justru mencemooh dari yang terhormat pak Agustin, toh! Demi seorang Ferlita, demi perasaan aku kepadanya, aku rela dihina sama siapapun!’ bisik hati Daniel.
“Dan, kenapa makanannya cuma dilihatin? Kamu lagi ada masalah?” tanya Ferlita yang sejak tadi memerhatikannya. Disadarinya, kemurungan mewarnai wajah Daniel terkasihnya.
Daniel menatap wajah Ferlita secara intens. Berikutnya ia menghela napas panjang dan mengembuskannya dengan berat.
“Berat banget rasanya , pisah sama kamu, Fei,” kalimat bernada putus asa ini terlontar bersamaan genggaman tangannya pada tangan Ferlita.
Ferlita memejamkan mata sesaat, mengabaikan pandangan beberapa pasang mata pengunjung kafe di sebelah kampusnya kepada mereka.
“Aku juga, sih,” sahut Ferlita jujur. Bagaimana nggak berat? 24 hari, tiap hari bertemu dan berinteraksi selama minimal 4 jam, masih disambung lagi dengan sejumlah telepon rindu begitu keduanya tiba di rumah masing-masing, mana mungkin tak mengikat perasaan mereka dengan kuatnya? Dalam rentang waktu itu, Daniel berlaku layaknya seorang jobless *[1] yang ngintilin *[2] Ferlita kemana-mana. Ya, biarpun sejauh ini dia belum punya nyali untuk mengajak Ferlita ke rumah.
“Bener? Ya sudah, berarti ini jawaban dari pemikiranku semalaman,” balas Daniel, yang lalu mengungkapkan kegamangannya mengenai rencana kuliah S2nya di Tucson.
“Kubatalin saja, ya Fei? Aku.., nggak yakin bisa jauh-jauhan sama kamu. Gila, sekitar dua tahunan, Fei. Aduh, baru ngebayanginnya doang, rasanya sudah mau gila. Berat banget, Fei. Aku memang bisa, pulang sesering mungkin, tapi apa cukup? Terus sehari-harinya gimana komunikasinya? Seingatku, perbedaan waktu Jakarta sama Tucson saja sekitar 11 atau 12 jam. Pusing aku, mikirinnya. Ini, mikir Sabtu nanti bakal ketemu kamu lagi aja, rasanya masih lama banget. 5 hari, nggak sanggup, Fei! Sementara kamu, itu lihat teman-teman kuliah kamu. Gimana kalau mereka ngerebut kamu dari aku?” keluh Daniel dengan wajah keruh.
Alis Ferlita terangkat. Wajahnya menegang. “Batalin? Ngaco! Jangan dong, Dan! Jangan kecewain papa kamu, dan terutama jangan kecewain diri kamu sendiri. Kamu harusnya bangga dan bersyukur, kan? Bahkan seandainya enggak dapat beasiswapun, kamu harus memegang keinginan kamu buat kuliah di sana. Biarpun aku belum paham alasan kuatnya, aku merasa, itu penting buat kamu. Makanya, aku sih berdoanya, supaya kamu mendapatkan beasiswa, biar kamu bangga. Walau faktanya, pas kamu bilang soal email itu, aku yang kagum dan salut,” ucap Ferlita.
Daniel langsung terperangah mendengarnya. Hatinya seketika menghangat. Mendoakan, kagum, dan salut, adakah kata-kata yang lebih menyentuh dari itu, bila yang mengucapkan adalah seseorang, tempat kita menitipkan hati?
“Kamu.., doain aku? Serius, Fei?” tanya Daniel takjub.
‘Doa? Kapan aku sungguh-sungguh berdoa dengan hati, bukan sekadar rutinitas? Terlebih setelah kehilangan Mama buat selamanya? Kehilangan yang begitu tiba-tiba dan membuat aku menyimpan rasa kecewa pada Tuhan?’ sesal Daniel dalam hati.
Ferlita mengangguk mantap. Ya, entah dorongan dari mana, sejak Daniel mengungkapkan perasaan padanya, dia merasa harus mendoakan keperluan Daniel juga, cita-citanya. Lebih dari itu, dia telah mencari informasi mengenai program intensif yang diincarnya. Dia telah bertanya banyak kepada Om Google, universitas apa saja yang berada di Tucson dan menyelenggarakan program intensif tersebut. Sesuatu yang ingin disimpannya dari Daniel, sebelum ada kepastian. Itupun dibawanya ke dalam doa khusus, sejak tadi malam.
Yang luput dari pemikirannya adalah Ray yang berpapasan dengan Daniel di rumah, yang menatapnya dengan khawatir, meski tak secara frontal mengatakan apa pun padanya. Dia juga tidak menyangka, di belakangnya, Ray memprotes papanya yang terkesan terlalu mudah memberikan ijin pada Daniel untuk menemuinya setiap hari. Tanpa setahunya pula, Ray mengingatkan sang papa tentang apa saja yang pernah menimpa dirinya. Seolah ingin menegaskan, Pak Pedro harus ekstra ketat menjaga anak dari adik perempuan satu-satunya ini. Ya, ibu kandung Ferlita adalah adiknya Pak Pedro.
“Fei.., artinya?” tanya Daniel sembari menggoyangkan tangan Ferlita yang digenggamnya.
Ferlita mengangguk lagi, dan itu lebih dari cukup untuk memompa semangat Daniel.
“Jangan dibatalin, ya? Sebaliknya, kamu harus lebih ngotot belajarnya dari sekarang. Biar kamu lulus tepat waktu, nantinya,” kata Ferlita, sembari berusaha keras membekap gamangnya sendiri. Ah, sanggupkah dia?
“Kamu.., yakin, mau nunggu aku? Yakin enggak tergoda tuh, sama teman-teman kuliah kamu?” tanya Daniel cemas. Tentu saja dia cemas, pasalnya dia juga sadar, pondasi hubungan yang mereka miliki itu masih terlalu rapuh. Apalah arti kebersamaan selama 25 hari, walau setiap hari bertemu dan banyak berbincang bila harus dibandingkan rentang waktu yang harus mereka hadapi demi menjalani hubungan jarak jauh? Jangankan di dunia nyata, di drama korea saja nggak akan seindah dan semudah itu! Jujur saja, Ferlita disergap bimbang karenanya.
Gantian Ferlita yang mengaduk-aduk minumannya dengan resah. Berbagai pemikiran berkecamuk di benaknya. Banyak, saling bertentangan dan dia sendiri bingung mana yang harus dipercaya. Terlalu besar, jauh dan berat, sampai dia hanya sanggup melihat gumpalan hitam menggulungnya. Oh, didapatinya dirinya berada di sana, dan tak mungkin menghindar. Ingin dia berteriak : Why me?
“Nah, kamu nggak yakin, kan? Nanti sebelum berangkat ke bandara, aku sempatkan ketemu papaku deh, ngomongin soal ini. Aku nggak peduli reaksinya gimana, masa bodoh. Aku mendingan diremehin seluruh dunia, ketimbang harus kehilangan kamu,” kata Daniel.
Sontak, Ferlita menggeleng dan berdecak sekaligus.
“Dan! Boleh nggak, kalau kali ini kamu nggak egois? Maaf, kalau aku harus ingatkan kamu, kamu itu Daniel Marcello Sanjaya, putranya pak Agustin Reynand Sanjaya!” kata Ferlita dengan nada mulai meninggi.
“So what? Aku memang nggak bisa merubah fakta kalau aku ini anaknya pak Agustin yang itu,” sahut Daniel ogah-ogahan..
Ferlita menatapnya tajam. “Apa pantas, kamu berpikir sekerdil itu? Kalau kamu menganggap itu pantas, maaf, aku kecewa kuadrat, sama kamu. You are better than this, Daniel! Kalau kamu masih berminat meneruskan hubungan ini, mustinya kamu bisa menilai dan percaya, aku seperti apa. Kamu bisa tanya ke Romi, atau terserahlah, kamu mau pakai jasa cenayang bahkan detektif, sekalipun. Tapi nggak tahu juga, sih, kalau memang kamu iseng-iseng saja, waktu mengungkapkan perasaan kamu,” tegas Ferlita, sembari menangkat telunjuknya, mencegah mencegah Daniel menginterupsi kalimatnya yang terdengar pahit.
“Sebentar, aku belum selesai ngomong, nggak apa, kok. Nggak apa, mungkin menurutmu, aku layak kamu perlakukan begitu. Aku siapa sih, dibandingkan sama kebesaran nama seorang Daniel Marcello Sanjaya? Anggap tiga minggu lebih ini, semacam halusinasi saja. Jangan terbeban, Daniel. Aku sudah biasa kok, dikecewakan sama orang ataupun keadaan,” tambah Ferlita.
Daniel tak bisa lagi berdiam diri.
“Udah kelar, ngerendahin diri sendiri? Udah puas, nyudutin aku, Fei?” Daniel menekan suaranya yang tak kalah getir. Apa tadi yang didengarnya itu? Sudah biasa dikecewakan? Daniel sungguh berharap dia salah dengar dan Ferlita hanya terlalu emosi saja.
Ferlita bungkam. Dengan kasar, ditariknya tangannya dari genggaman Daniel, namun Daniel langsung meraihnya kembali. Daniel justru menyentuh pipi Ferlita dengan tangannya yang satu lagi.
“Fei, lihat aku baik-baik! Apa yang kamu lihat? Si b******k, yang mau mempermainkan perasaan kamu dengan cinta sesaat? Atau orang yang benar-benar mengharapkan kamu? Jawab aku, Fei. Jawab yang jujur,” bisik Daniel. Dihujamkannya tatapan matanya tepat ke sepasang bola mata Ferlita.
[1] Pengangguran, tidak punya kerjaan
[2] Mengikuti, mengekor (bahasa Jawa) * * Lucy Liestiyo * *