"Apa lo bilang?" tanya Evelyn pura-pura tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Ziel.
"Enggak ada. Ya udah deh, gua sih terserah lo aja mau pulang bareng lagi sama gua apa enggak." Ziel segera melangkahkan kakinya dengan cepat. Tak dipedulikannya Evelyn yang masih terdiam, berdiri di tempatnya.
"Ya ampun, kalo bukan karena Opah udah aku bejek-bejek aja kali 'tuh orang." Evelyn mengejar Ziel yang sudah berada jauh di depannya.
"Hai Evelyn!" Suara seseorang menghentikan langkah cepat gadis itu. Ketika ia mencari suara yang memanggil namanya, tampak pria bernama Beni berdiri tidak jauh dari posisi dirinya berdiri.
"Beni! Lo masih di sini? Gua kirain udah balik!" seru Evelyn.
"Ini baru mau balik. Lo mau balik juga?" tanya Beni.
"Iya!"
"Sama siapa? Sendiri atau ... ?" Pertanyaan menggantung yang belum sempat dijawab oleh Evelyn, terpotong dengan teriakan dari Ziel.
"Hei Evelyn, jadi bareng gua apa enggak? Kalo enggak mau, gua balik duluan nih!" Ziel sudah duduk di atas motor sport-nya, berhenti di dekat Evelyn dan Beni berdiri.
"Ben, maaf, gua balik duluan yah! Udah ditungguin 'tuh sama Ziel." Evelyn meninggalkan Beni setelah pria itu menganggukkan kepalanya.
"Duluan, Ben!" teriak Ziel pada Beni.
Beni melambaikan tangannya, sembari kedua mata tak lepas memandang Evelyn yang duduk dibonceng oleh Ziel. Mata Beni terus mengawasi sampai motor yang ditumpangi oleh sepasang muda mudi itu sudah tak tampak lagi.
***
"Selamat siang, Tante!" sapa Ziel saat keduanya sampai di kediaman Narendra.
"Selamat siang, Ziel. Kok jam segini udah pulang?" tanya Amelia yang tengah santai menonton TV.
"Emang harusnya kita balik jam berapa, Mom?" tanya Evelyn.
"Ini 'kan masih siang. Sore aja belum. Emang kalian enggak main kemana dulu gitu?" tanya Amelia penasaran.
"Emang kita mau kemana sih, Mom?" tanya Evelyn yang nampak heran.
"Ya kemana aja, masa masih siang udah sampai rumah. Kamu enggak ngajak Evelyn jalan-jalan, Ziel?"
"E-eh, enggak, Tante. Tadi Ziel ajak Evelyn mampir makan siang juga, dia enggak mau."
"Loh, kenapa, Evelyn?"
"Evelyn mau makan masakan Bi Tinah aja di rumah. Lagian ngapain juga kita makan berdua di luar, kaya orang pacaran aja."
"Kan kalian udah tunangan, lebih dari pacaran malah."
"Mom!" seru Evelyn.
"Apa? apa ada yang salah sama kalimat Bunda?" tanya Amelia. "Tante salah bicara, Ziel?"
"Eh, enggak kok, Tan!" jawab Ziel, yang kaget mendapat todongan pertanyaan.
"Tahu ah! Evelyn mau masuk ke kamar." Tanpa basa-basi, gadis itu pergi menuju ke lantai atas.
Kepergian Evelyn mendapatkan tatapan mata dari Ziel dan sang bunda.
"Kalau begitu Ziel, pulang dulu yah, Tante!" pamit Ziel pada calon mertuanya.
"Kamu makan siang dulu aja di sini, Ziel!"
"Enggak usah, Tante. Terima kasih. Ziel makan siang di rumah aja. Udah ditungguin sama ibu soalnya.
"Oh gitu. Ya sudah, lain kali saja kalau begitu," ucap Amelia. "Terima kasih yah, Ziel, titip salam untuk ibumu, dan maaf atas sikap kurang sopan Evelyn barusan."
"Enggak apa-apa kok, Tante. Kita berdua udah biasa begitu." Ziel tersenyum ramah kepada wanita dewasa yang masih terlihat cantik meski sudah memiliki anak gadis seusia Evelyn. "Sungguh beruntung Om Dirga memiliki istri seperti Tante Amelia, cantik dan juga baik!" batin Ziel memuji calon mertuanya itu.
"Ziel, pamit yah, Tante!"
"Iya, Ziel. Kamu hati-hati yah?"
"Iya, Tante."
***
Di bangku taman samping kediaman Kusuma, terlihat Kakek Ziel dan sang Nenek tengah menikmati waktu sore harinya dengan menikmati secangkir teh dan beberapa piring makanan cemilan. Kedua sejoli yang sudah tidak muda lagi itu, nampak terlihat bahagia sembari mengobrol seru khas orang tua.
"Punya calon cucu menantu seperti Evelyn ternyata sesuatu yang seru yah, Pah!" ujar Nyonya Lingga pada sang suami.
"Ya. Memang harus perempuan seperti Evelyn yang sepertinya cocok dengan Ziel. Sifat dan sikap cucumu itu, harus menghadapi perempuan yang sepadan." Kakek Ziel terlihat antusias bila topik yang dibicarakannya adalah tentang cucu lelaki satu-satunya itu.
Azka —papa Ziel, adalah putra satu-satunya dari Tuan Rifki Kusuma dengan Nyonya Lingga. Takdir Tuhan jugalah, hingga di usianya yang sudah tidak muda lagi itu, ia pun hanya dikaruniai seorang putra, yaitu Ziel.
Papa Ziel bertemu dengan sang ibu ketika keluarga Kusuma pernah tinggal di Yogya karena urusan pekerjaan. Sita yang memang asli Jawa, saat itu hidup sebatang kara dan tinggal sendiri di sebuah rumah peninggalan kedua orang tuanya. Rumah yang Sita tempati tepat bersebelahan dengan rumah baru keluarga Kusuma di sana.
Disitulah timbul perasaan berbeda saat Azka bertemu dengan Sita pertama kali. Hingga pada akhirnya, perasaan itu pun saling bersambut. Keduanya memutuskan menikah dan Azka sendiri akhirnya menerima warisan perusahaan sang papa untuk ia jalankan.
Awalnya keluarga Kusuma masih bolak balik Jakarta-Yogya. Namun, ketika papa Ziel meneruskan kepemimpinan perusahaan yang Tuan Rifki bangun, akhirnya diputuskanlah Azka tetap tinggal di Jakarta dan sang Papa bersama Mama-nya menetap di Yogya.
"Lagi asik ngerumpiin apa nih, nenek-nenek sama kakek-kakek?" seru Ziel yang tiba-tiba muncul dari dalam rumah.
"Ziel, kamu baru pulang?" tanya Nyonya Lingga.
"Enggak kok, Nek. Dari siang juga aku udah di rumah. Cuma Kakek sama Nenek lagi istirahat di kamar pas aku pulang." Ziel mengambil tempat di sebuah sofa tidak jauh dari kakek neneknya berada.
"Gimana daftar kuliahnya? Lancar?"
"Lumayan ngantri, Kek. Mungkin karena hari ini batas waktu registrasi ulangnya. Jadi, semua calon mahasiswa yang sudah diterima, datang semua tadi." Lelaki itu mengunyah keripik kentang yang ia bawa tadi.
"Evelyn masuk fakultas mana? Ambil jurusan apa dia?" tanya sang kakek.
"Dia ambil fakultas hukum, Kek. Fakultas yang aku incer tapi enggak bisa aku pilih." Ada nada sedikit kecewa dari suaranya.
"Ya enggak apa-apa, Ziel, kata papamu 'kan nanti kamu bisa ambil jurusan hukum kalo kuliah yang ini selesai," kata sang Nenek dengan lembut. "Jadi kamu enggak satu fakultas yah sama Evelyn?"
"Ya enggak dong, Nek. Aku 'kan masuk fakultas ekonomi."
"Terus kapan jadwal kuliahnya dimulai?" tanya Tuan Rifki.
"Pekan depan, Kek!"
"Oh, berarti seminggu lagi juga Evelyn sudah akan tinggal di rumah ini!" ucap sang Kakek.
***
"Apa, Dad?" pekik Evelyn terkaget.
"Ya iya, 'kan sesuai dengan kesepakatan antara kamu, Opah dan juga Kakek Rifki, saat jadwal kuliah kalian dimulai, kamu sudah harus tinggal di kediaman Kusuma." Dirga mengingatkan sang putri mengenai persyaratan perjodohan antara putrinya dengan cucu dari Tuan Rifki —Ziel.
"Oh, Tuhan. Aku merasa Daddy-ku dengan sengaja menyerahkan putri kesayangannya secara cuma-cuma." Evelyn pura-pura memasang tampang memelas dengan mata seolah berkaca-kaca.
"Jangan berlebihan! Seharusnya kamu ambil kuliah seni aja, Eve. Akting kamu masih payah untuk membuat orang tersentuh." Sang ayah sama sekali tak menatap putrinya saat berbicara. Ia tetap fokus membaca berita portal online.
Evelyn mendenguskan hidungnya. Aktingnya kali ini tetap tak berhasil.
"Kapan aku mulai tinggal di sana?" tanyanya sembari mengambil cemilan di atas meja.
"Sesuai kesepakatan kamu dengan Opah!"
"Lusa kamu sudah harus pindah!" seru Tuan Harsa dari arah ruangan lain berjalan menghampiri anak cucunya yang tengah asik mengobrol di ruang keluarga.
"Secepat itu, Opah? Kenapa tidak pas akhir pekan aja?" protes Evelyn.
"Gimana kamu mau beradaptasi dengan keluarga Ziel, kalau kamu pindah pas mau mulai kuliah!" Tuan Harsa duduk di samping sang cucu.
"Tapi, Opah?" Evelyn masih berusaha protes.
"Tak ada tapi-tapi, Eve. Kesepakatan sudah kalian berdua setujui."
"Kenapa seolah aku saja yang tertindas di sini." Gadis itu masih saja kesal.
"Apa kamu merasa tertindas?" tanya sang omah.
"Tentu saja, Omah. Sejak awal, perjodohan ini sudah membuatku tidak bebas sebagai seorang manusia. Aku yang masih berusia tujuh belas tahun sudah harus menerima beban berat ini."
Sang bunda —Amelia, tampak memeletkan lidah melihat gaya berlebihan putri sulungnya. Tak ayal, wanita itu mendapat tatapan tidak suka dari anak gadisnya.
***