"Ziel, kamu enggak berangkat ke rumah Evelyn?" tanya Tuan Rifki pada cucunya.
"Nanti malam, Kek!"
"Ngapain malam-malam? kok enggak sopan banget jemput anak gadis orang malam-malam!"
"Evelyn yang minta, Kek."
"Masa sih?" tanya sang Kakek seolah tak percaya.
"Iya. Kalau Kakek enggak percaya, tanya aja sendiri anaknya."
Kakek Rifki tampak terdiam. Sepertinya ucapan sang cucu tidak mengada-ada. Sore itu Tuan Rifki dan Nyonya Lingga tengah duduk santai di teras kolam renang menikmati waktu sore hari sembari menyaksikan sang cucu berenang.
"Kamu bawa mobil 'kan?"
"Ya iya 'lah, Kek. Bawaannya Evelyn 'kan pasti banyak. Kalau Ziel bawa motor enggak akan kebawa barang-barang punya dia." Ziel terlihat berdiri di pinggir kolam melihat sang Kakek menikmati teh hangat serta cemilan pisang bakar keju buatan Bi Sumi.
"Bi Sumi!" teriak Ziel.
Tanpa dipanggil berulang, wanita paruh baya itu datang menghampiri Ziel di pinggir kolam.
"Ada yang bisa Bi Sumi bantu, Mas?"
"Aku minta buatin jus jeruk sama itu dong!" tunjuk Ziel mengarah pada sepiring pisang bakar keju milik sang kakek.
"Oh. Baik, Mas. Bi Sumi akan buatkan."
"Makasih yah, Bi. Nanti bawa sini aja!"
"Baik, Mas!" Bi Sumi pergi meninggalkan Ziel yang kembali berenang.
"Ibumu udah siapin kamar untuk Evelyn nanti saat tinggal di sini?"
"Kata ibu sih sudah. Dia akan tidur di kamar kosong di sebelah kamar aku!" jawab Ziel sembari menggerakkan kedua tangan dan kakinya ke sana kemari.
"Oh, baguslah. Tapi kamu jangan macam macam yah, Ziel!"
"Macam-macam gimana maksud, Kakek?" tanya Ziel menghentikan aktifitasnya.
"Selama dia tinggal di rumah ini, kamu jangan jahil, iseng atau bikin huru hara yang membuat Evelyn enggak betah tinggal di sini."
"Kakek, mau juga Ziel yang jadi enggak betah kalau ada dia di sini." Ziel kembali bergerak.
"Pokonya Kakek enggak mau denger Evelyn nangis gara-gara kamu!" Terlihat tak mau mendengar ucapan sang cucu.
"Kek, sebenarnya yang cucu Kakek itu aku atau Evelyn sih. Kok ini malah cewek itu yang Kakek bela. Aneh deh!"
"Kakek bukan ngebela, tapi Kakek enggak mau kalau kamu jadi tuan rumah yang tidak baik. Itu aja."
"Dari dulu aku udah begini, Kek. Jadi kalau seandainya dia enggak betah, bukan salah aku, tapi dianya sendiri yang baperan."
"Kamu tuh Ziel, kalau dikasih tahu, ada aja jawabannya."
Ziel nampak tidak peduli dengan ucapan sang kakek, ia masih aktif menggerakkan tubuhnya di dalam air, menyegarkan badan di sore hari sebelum pergi mandi dan menjemput Evelyn.
"Oh iya, Kek. Aku lupa tanya. Berapa lama Evelyn akan tinggal di sini?"
"Ya, sampai batas waktu pertunangan kalian!"
***
"Dua tahun?" seru Evelyn yang juga melontarkan pertanyaan yang sama pada sang Opah.
"Ya iya dong, Sayang. 'Kan batas waktu yang diberikan oleh Opah untuk kalian, yaitu selama dua tahun." Sang Ayah —Dirga, menjawab protes putri sulungnya.
"Oh, Tuhan. Jadi, aku akan bersama lelaki itu selama dua tahun? Oh tidak. Belum mulai saja sudah membuat aku stres!"
"Dirga! Mengapa putrimu ini selalu berlebihan dalam menghadapi sesuatu?" tanya Tuan Harsa, mendelik saat melihat sang cucu besikap mendrama.
"Seperti yang Papa lihat, begitulah dia." Dirga menjawab dengan santai.
Tepat pukul tujuh malam, Ziel tiba di kediaman Narendra. Malam itu ia mengendarai mobil sport miliknya, hadiah dari sang Papa saat ia berulang tahun ke tujuh belas.
Mobil sport berwarna merah yang sama sekali tidak ia bayangkan akan diberikan oleh orangtuanya sebagai kado ulang tahun.
Meski anak keluarga berada dengan status anak tunggal yang pasti akan mewarisi harta kedua orangtuanya, baik berupa perusahaan atau harta benda lainnya, tapi Ziel bukanlah anak manja. Selama delapan belas tahun ia hidup dengan dikelilingi banyak kemewahan, tidak pernah Ziel dididik agar bersikap arogan ataupun sombong. Ia tetap menjadi anak yang baik di sekolah ataupun di rumah.
Lantas, bagaimana dengan sifat playboy yang disematkan pada diri Ziel selama ia sekolah? Ya, seperti yang Ibunya katakan, wanita itu berharap agar sifat putranya itu dianggap sebagai sebuah kenakalan anak remaja pada umumnya.
"Assalamu'alaikum, selamat malam semua!" sapa Ziel ketika masuk ke dalam kediaman Narendra, setelah dibukakan pintu oleh Bi Tinah sebelumnya.
"Wa'alaikumsalam," jawab semua orang yang tengah berada di ruang keluarga.
"Hai, Ziel! Selamat malam. Mari sini duduk!" ujar Amelia, mengajak Ziel untuk duduk.
"Terima kasih, Tante!" Ziel menyalami satu persatu anggota keluarga Narendra, termasuk Athila yang saat itu juga tumben ada di sana.
"Hai, Athila! Tumben ikut nimbrung?" sapanya saat menjabat tangan adik lelaki Evelyn.
"Iya nih, Mas. Lagi pingin aja, sekalian melepas kepindahan Mbak Evelyn." Ada tawa terkekeh dari kalimat yang diucapkan Athila.
"Seneng lo yah, gua enggak ada di rumah ini lagi?" Tiba-tiba suara Evelyn sudah berada di tengah-tengah mereka.
"Ya iya dong, gua jadi bebas ngapa-ngapain tanpa ada yang ngeribetin."
"Jadi, selama ini lo anggap Mbak suka ngeribetin apa?"
"Enggak selama ini kok, kadang-kadang aja." Sebuah bantal sofa melayang tepat mengenai wajah Athila saat Evelyn duduk di samping sang Bunda.
"Mom!" seru Athila mengharap perhatian dari Amelia.
"Mbak, udah. Ada tunangan kamu juga, kok masih aja bersikap kaya anak kecil."
"Tapi aku belum dewasa, Mom!" protesnya.
"Belum dewasa tapi udah mau nikah!" timpal Athila.
"Dad!" Kali ini Evelyn yang gantian meminta perhatian dari sang ayah.
"No comment!" ucap Dirga sembari mengunci mulutnya.
"Memang semuanya enggak ada yang sayang sama aku!" sungut Evelyn kesal.
"Omah sayang sama Evelyn kok," sahut Nyonya Ninta.
"Ya, memang Omah yang the best!" ucap Evelyn sembari menyandarkan kepalanya ke bahu sang Omah.
"Maaf, Pak, makan malamnya sudah siap!" seru Bi Tinah kepada Tuan Harsa, sosok yang paling dekat dengannya.
"Ah, iya, terima kasih, Bi!"
"Sama-sama." Bi Tinah kembali menuju ke arah ruang makan.
"Ya udah, yuk kita makan. Ziel, ayo makan dulu, nanti baru kalian boleh pergi!!"
"Detik-detik mendekati kepergianku." Evelyn berjalan mendahului semua orang, diiringi tatapan penuh senyum dari seluruh anggota keluarganya.
***
Sekitar pukul setengah sepuluh, kedua sejoli itu sampai di rumah keluarga Kusuma.
"Gua serasa dibuang sama keluarga gua sendiri." Evelyn masih saja menggerutu. Meski sepanjang jalan menuju rumah Ziel, tak hentinya ia berkeluh kesah mengenai keberatannya tinggal di rumah tunangannya itu.
"Udah enggak usah ngomel mulu, kaya nenek-nenek. Nenek gua aja enggak doyan ngomel kaya lo. Ayo turun!"
"Tuh 'kan, belum apa-apa aja lo udah ngajak gua ribut."
"Siapa yang ngajak ribut. Ada juga gua ngajak lo turun!" seru Ziel sebelum menutup pintu mobil.
Ziel membuka bagasi mobil dan menurunkan barang-barang milik Evelyn. Ternyata diluar perkiraan Ziel, gadis itu tidak terlalu membawa banyak barang. Hanya satu koper yang diperkirakan berisi pakaian dan satu buah tas besar, kemungkinan adalah segala perlengkapan pribadi milik Evelyn. Serta satu tas yang gadis itu pegang selama dalam perjalanan.
"Jadi, ini mobil pribadi lo?" tanya Evelyn.
"Ya," jawab Ziel sambil mengangguk.
"Keren banget, umur delapan belas tahun udah punya mobil mahal kaya gini."
"Nada bicara lo enggak enak banget!"
"Ah, masa sih? Kayanya biasa aja."
"Lo nyindir gua karena gua punya mobil kaya gini?" tanya Ziel dengan nada sedikit kesal.
"Ah, enggak. Kok lo sensi banget. Kayanya gua muji lo deh. Siapa yang nyindir coba."
"Cewek kaya lo, yang tiap hari gua harus ribut mulu, mana mungkin mau muji. Impossible."
"Wah, lo berburuk sangka itu namanya. Pujian gua tadi itu tulus, bukan nyindir. Lagian apa kita enggak bisa mulai semuanya dengan berbaikan, jangan ada lagi perdebatan atau gontok-gontokan kaya dulu, biar gua mudah tinggal di rumah lo juga. Toh, kesepakatan diantara kita 'kan udah jelas."
Ziel nampak berpikir akan kalimat yang diucapkan oleh Evelyn.
***