"BISA ENGGAK KITA KETEMUAN?"
Isi pesan yang Ziel tulis untuk dikirim ke nomor Evelyn. Lelaki itu telah memutuskan untuk menjalankan ide dari Gery —sahabatnya.
Sepanjang perjalanan pulang dari mengantar sang kakek ke bandara, ia telah berpikir dengan keras bahwa hanya itulah jalan terakhir agar ia bisa hidup bebas seperti sebelumnya.
[ADA APA?]
Balasan dari Evelyn. Tanpa Ziel beritahu, ternyata gadis itu tahu siapa orang yang mengirim pesan padanya.
"ADA HAL YANG PERLU KITA BICARAKAN?"
[MAU KETEMU DI MANA?]
Ziel nampak berpikir sejenak. Akhirya sebuah cafe langganannya bersama Gery, menjadi tempat untuk bertemu dengan Evelyn.
"CAFE D'SRUPUT, JAM EMPAT SORE!"
[OK!]
Lega, itulah perasaan Ziel setelah langkah pertamanya berhasil. Tinggal mengumpulkan kekuatan kembali untuk membicarakan keputusannya kepada Evelyn. Lelaki itu berharap jika sang gadis akan menerima dan mau bekerja sama.
"Ziel!" Terdengar panggilan dari sang ibu dari luar pintu kamarnya.
"Iya, Bu!" sahut Ziel sembari melangkahkan kaki ke pintu. "Ada apa?" tanya Ziel setelah pintu terbuka.
"Ibu mau minta tolong sama kamu."
"Minta tolong apa?"
"Tolong antarkan kue ke kediaman Narendra."
"Hah? Ngapain?" tanya Ziel heran.
"Bundanya Evelyn, calon mertua kamu minta tolong dibuatkan kue karamel sama ibu. Tadi ibu udah buat, tinggal kamu antar ke sana."
"Ya ampun ibu! Ibu 'kan bisa pakai jasa kurir, tinggal bayar. Gitu aja kok dibikin ribet." Ziel terlihat kesal. Ia tak habis pikir bagaimana bisa ibunya tidak berpikir ke arah sana hanya untuk hal sepele.
"Ibu enggak mau. Ibu cuma mau kamu yang antar."
"Buat apa? 'Kan sama aja, Bu. Yang penting kuenya nyampe."
"Beda dong. Kalau kamu yang antar, nanti 'kan kamu bakalan ketemu Evelyn. Nah, permulaan yang bagus biar kamu jadi sering-sering ketemu sama dia."
"Ish, ibu apaan sih, enggak jelas banget."
"Sudah, pokoknya ibu minta tolong kamu antar ke rumah Evelyn, titik."
"Ya sudah, nanti aja deh, Bu. Masih panas banget nih di luar."
"Jadi cowok manja banget, sama panas aja takut. Kaya anak perempuan aja. Kamu 'kan bisa pakai mobil, Ziel!"
"Aku lagi malas bawa mobil, Bu. Pingin naik motor aja."
"Ya ampun, kamu tuh yah, banyak banget alasannya."
"Ibu pokoknya tenang aja deh. Nanti pokoknya Ziel antar, tapi enggak sekarang, yah?"
"Ya sudah, tapi bener yah kamu anterin?"
"Iya, nanti Ziel antar ke rumah Evelyn. Ibu puas?"
"Kamu tuh bawaannya sewot mulu, kaya anak gadis lagi PMS aja."
"PMS apaan sih, Bu?"
"Kamu googling aja sendiri."
"Widih, Ibu, mainannya udah mbah google aja."
"Sudah, pokoknya kalau nanti kamu mau berangkat kasih tau ibu, biar ibu siapkan kuenya."
"Iya."
"Ya sudah, ibu mau turun. Ngomong-ngomong kamu enggak ke sekolah hari ini?"
"Mau ngapain lagi, Bu? 'Kan ijazahnya juga sudah dibagiin minggu lalu."
"Emang enggak ada pesta perpisahan?"
"Pesta perpisahannya 'kan waktu Ziel ke Bromo, Bu."
"Oh, itu sekalian perpisahan 'to?"
"Iya, Ibuku sayang!"
"Wes, wes, Ibu mau turun. Jadi lama ngobrol sama kamu."
"Idih, orang Ibu yang mulai juga." Ucapan Ziel sudah tidak didengar karena sang ibu sudah berbalik dan menuruni tangga.
***
Suasana Cafe d'Sruput di sore hari itu masih sedikit lengang karena belum banyak dikunjungi oleh orang-orang.
Seorang gadis tengah duduk sendiri dengan menatap ke arah taman buatan di area samping kafe. Evelyn nama gadis itu. Ia datang sepuluh menit lebih awal dari waktu janjiannya dengan Ziel. Bukan karena ia sudah tidak sabar ingin bertemu dengan lelaki itu makanya ia datang duluan, tapi itu semua karena kondisi yang tidak disengaja. Perjalanan yang ia tempuh, ternyata memangkas banyak waktu karena jalanan yang belum padat oleh jam bubar kantor.
Tepat pukul empat, Ziel tiba. Lelaki itu datang tepat waktu. Evelyn menunggu sepuluh menit lamanya dengan minuman yang sudah ia pesan duluan.
"Lo udah lama nunggu?" tanya Ziel saat duduk di depan Evelyn tanpa dipersilakan sebelumnya.
"Ehm, enggak paling cuma sepuluh menit lah," jawab Evelyn tanpa mau menatap Ziel.
"Jadi ada perlu apa lo ngajak gua ketemuan? Apa yang mau lo bicarain?" tanya Evelyn to the point.
"Sebelumnya gua mau minta maaf dulu sama lo atas peristiwa antara kita kemarin." Ziel menatap Evelyn berharap gadis itu mau menatapnya juga. Berhasil. Saat Ziel membicarakan peristiwa yang sesungguhnya membuat Evelyn malu itu, mau tidak mau mendapatkan reaksi dari sang gadis.
"Udah enggak usah dibahas, anggap aja itu enggak pernah terjadi." Evelyn kembali memalingkan wajahnya. Ia harus mengingat kejadian kemarin, yang malah membuatnya malu kembali.
Ziel mengangkat bahunya berusaha tak ambil peduli dengan kejadian kemarin, meski sebetulnya ia masih tidak enak hati pada gadis itu.
"Lo mau maafin gua?" tanya Ziel lagi.
"Udah lah, Ziel. Enggak ada yang salah. Gua juga diem aja waktu itu," ucapnya pelan saat mengucapkan kata-kata terakhir.
"Hem, ok deh kalo gitu," sahut Ziel menyudahi.
"Jadi lo mau ngomong apa sebenernya?" tanya Evelyn pada pokok pembahasan.
"Ini mengenai perjodohan kita." Ziel mengawali dan mendapat respon dari Evelyn.
"Ada apa sama perjodohan kita? Apa lo udah menemukan cara biar perjodohan ini dibatalkan?" tanya Evelyn.
Ziel menggeleng. "Kita ikuti perjodohan itu!"
"Apa? Apa lo udah gila? Gua enggak mau." Gadis itu protes.
"Lo tenang dulu dong!"
"Gimana gua bisa tenang, kalo ternyata ketemuan kali ini malah menyetujui rencana gila kedua kakek kita!"
"Makanya lo dengerin dulu omongan gua, jangan pakai emosi," ujar Ziel.
"Ya udah apa?" Evelyn masih terlihat kesal.
"Kita kerja sama?"
"Kerja sama gimana," tanya gadis itu tak mengerti.
"Kita pura-pura sepakat menyetujui rencana para orang tua."
Evelyn merubah posisi duduknya agar menghadap Ziel. Ia masih belum terlalu paham dengan rencana Ziel.
"Coba deh lo ceritain dengan lebih jelas."
"Jadi gini, perjodohan ini 'kan ada batas waktu sampai dua tahun ke depan. Kalau sampai batas waktunya kita enggak punya rasa cinta, pertunangan ini 'kan akhirnya dibatalkan. Nah, gimana kalau kita ikutin aja kemauan mereka, termasuk diantaranya dengan lo tinggal di rumah gua. Selama dua tahun ini kita ikutin sesuai alur aja."
"Yakin, nanti lo enggak akan cinta sama gua dalam rentang waktu dua tahun itu?" tanya Evelyn seolah menyangsikan.
"Yeay, ada juga lo kali yang bakal cinta sama gua duluan."
"Dih, sorry yah. Jangan sok kegantengan deh lo."
"Lah, emang gua ganteng. Lo mau apa?"
"Yang bilang lo ganteng itu cuma cewek-cewek bodoh dan bermodal seksi doang. Kalau menurut gua sih, lo biasa aja."
"Lo cemburu yah?"
"Cemburu? Gila aja kali gua cemburu sama mantan-mantan lo yang enggak jelas itu," seru Evelyn tampak tidak terima. "Udah deh, terus maksud lo gimana? Masih ada kelanjutannya enggak?"
"Menghindari timbulnya rasa saling suka atau cinta di antara kita nantinya, gua punya ide supaya kita cari pacar masing-masing, tanpa sepengetahuan orang tua kita tentunya. Gimana?" tanya Ziel, menyudahi penjelasan mengenai idenya.
Evelyn tampak berpikir. Sejujurnya tak ada alasan bagi dirinya untuk menolak kerja sama itu. Namun, bagi Evelyn pindah rumah dan harus tinggal di kediaman Kusuma, adalah sesuatu hal yang memberatkan. Setiap hari harus bertemu dengan cowok menyebalkan yang ia benci, adalah sesuatu hal yang sulit ia terima.
"Beri gua waktu dua hari?" ucap Evelyn.
"Sehari!" seru Ziel.
"Apa?"
***