"Sehari!" seru Ziel.
"Apa? Gimana gua bisa mikir kalau lo kasih waktu cuma sehari!" protes Evelyn.
"Apa bedanya sih? Lo mikir masalah ini mau sehari atau dua hari, menurut gua enggak ada bedanya."
Evelyn terdiam. "Ok deh, gua bakal kasih lo jawabannya besok." Evelyn menyudahi protesnya.
Seorang pelayan membawa pesanan Ziel saat keduanya selesai membicarakan masalah mereka.
"Lo enggak ada yang mau diomongin lagi 'kan?" tanya gadis itu.
"Hem, enggak ada," sahut Ziel sembari menikmati minuman dan makanan cemilan pesanannya.
"Kalau gitu gua balik duluan," ucapnya sambil berdiri.
"Tunggu dulu! Lo naik apa ke sini?" tanya Ziel menatap Evelyn.
"Ojek!" jawab gadis di depannya.
"Gua akan anter lo balik," seru Ziel.
"Enggak usah, gua bisa balik sendiri."
"Gua tetep anter lo balik!" tegas Ziel menatap tajam Evelyn. "Lo duduk dulu! Tunggu gua ha dan minuman ini," ucapnya sembari menyantap hidangan di meja.
Evelyn merengut. Bagaimana bisa lelaki ini memaksa dirinya. "Belum jadi tunangan aja udah berani perintah-perintah!" sahut Evelyn dengan suara dipelankan.
"Gua bisa denger omongan lo, Eve!"
"Terserah!" jawab Evelyn.
***
"Lo bawa motor?" tanya gadis itu ketika mereka sudah berada di parkiran.
"Ya! Apa lo enggak suka?" tanya Ziel balik.
"Enggak apa-apa, tadi juga gua naik motor. Lagian apa peduli lo gua suka atau enggak dengan ini?"
"Gua enggak peduli, cuma nanya aja!" sahut Ziel sembari menyerahkan helm full face pada Evelyn.
"Untung hari ini gua enggak pakai gaun!" ucap Evelyn menyindir Ziel.
"Selama tiga tahun gua kenal lo, cuma di sekolah doang gua lihat lo pakai rok. Selebihnya, ya ... enggak usah gua kasih tahu juga, lo paham sama diri lo sendiri."
"Maksud lo apa?" tanya Evelyn.
"Ya gua tahu pasti, enggak mungkin lo pakai rok apalagi gaun buat ketemuan kita hari ini. Makanya gua nyantai aja bawa motor ke sini," ujar Ziel. "Nih, pegangin!" perintah Ziel sambil menyerahkan kotak berpita, yang berisi kue buatan sang ibu.
"Ini apa?" tanya Evelyn.
"Kue buat Tante Amelia dari nyokap gua."
"Oh, udah gerak cepat mereka!"
"Enggak tahu gua. Udah buruan naik!" pinta Ziel.
"Iya!"
"Pegangan!" Dengan sedikit canggung, Evelyn memeluk Ziel dengan sebelah tangannya, karena sebelah tangan yang lain digunakannya untuk memegang kue. Ada perasaan yang lain dari biasanya ketika Evelyn memeluk Ziel, baik si gadis atau sang lelaki, sama-sama merasakan hal yang berbeda. Namun, mereka pura-pura tidak peduli.
Motor sport Ziel berjalan membelah jalan raya yang mulai terlihat macet. Jam kantor sudah bubar, mengakibatkan jalanan tampak padat oleh kendaraan. Itulah mengapa, Ziel lebih memilih mengendarai motor dibanding harus menyetir mobil.
***
"Kamu baru pulang?" tanya Amelia pada sang putri yang terlihat memasuki ruang keluarga.
"Iya," sahut Evelyn. "Mom, Dad? Ada Ziel di depan?"
"Ziel ada di sini?" tanya Dirga. "Kenapa enggak kamu suruh masuk?" Dirga berdiri dan hendak ke ruang depan.
"Selamat malam, Om, Tante!" Suara Ziel tiba-tiba mengejutkan Dirga dan Amelia.
"Ziel! Sini, Nak!" seru Dirga.
"Kalian habis ketemuan?" tanya Amelia menatap sang putri dengan senyum menggoda.
"E-eh, enggak kok, Tante. Kebetulan aja kita ketemu di jalan. Ziel emang mau ke sini ketemu Tante."
"Oh yah! Ada apa?" tanya Amelia merasa antusias. "Sini, sini, duduk dulu!" ajak Amelia memberi sofa kosong untuk Ziel duduki.
"Itu, Tante. Ibu nyuruh Ziel untuk nganterin kue."
"Hah, kue?"
"Iya, Mom. Ini!" seru Evelyn sembari menyerahkan kotak yang tadi ia pegang.
"Wah, Mbak Sita emang the best deh, juara! Padahal Bunda iseng aja cerita kemarin, eh malah langsung dibikinin."
"Cerita kok minta dibuatkan kue, malu-maluin aja. Momy kaya yang enggak bisa beli aja pakai acara nyuruh Tante Sita."
"Ih, Bunda enggak minta dibuatkan kok, ya, Yah? Ayah 'kan kemarin denger sendiri waktu kita ngobrol pas Evelyn sama Ziel ngobrol di taman itu?"
Seketika raut wajah keduanya berubah, terlebih Evelyn yang memiliki kulit muka yang putih dan mulus, kini terlihat warna kemerahan di pipinya.
"Sampaikan rasa terima kasih dari Tante untuk ibumu yah, Ziel?"
"Baik, Tante. Nanti akan Ziel sampaikan. Kalau begitu, Ziel pamit permisi pulang dulu yah, Tante, Om!" Ziel berucap pamit pada kedua orang tua Evelyn.
"Eh, jangan buru-buru. Ini udah waktunya makan malam. Kamu makan dulu di sini, baru pulang." Dirga mengajak Ziel untuk menyantap hidangan makan malam.
"Enggak perlu, Om. Ziel tadi udah makan di luar. Masih kenyang."
"Udah, enggak perlu banyak alasan. Kita makan dulu, baru kami ijinkan kamu untuk pulang." Dirga memaksa dan menarik tangan Ziel agar bangun dan mengikutinya ke meja makan.
Mau tak mau Ziel mengikuti permintaan Ayah Evelyn. Sedangkan gadis itu hanya senyum-senyum tanpa berniat membantu.
***
"Kamu bener enggak ikut kita ke Yogya, Ziel?" tanya sang papa.
"Iya, Pah. Ziel tunggu di rumah aja. Capek."
"Ya udah kalau gitu. Papa sama Ibu berangkat dulu yah. Kamu baik-baik di rumah."
"Iya, Pah. Ziel 'kan bukan anak kecil lagi, enggak usah terlalu khawatir kenapa!"
"Walaupun kamu sudah besar, kamu itu tetap anak kecil bagi kami berdua," ujar Sita —sang ibu.
"Iya deh, iya. Udah sana berangkat," seru Ziel.
"Kamu ngusir kita?"
"Bukan ngusir, Bu. Takut telat, nanti keburu terbang pesawatnya."
"Alasan!" sahut Sita.
"Udah, udah. Ini ibu sama anak kok enggak pernah akur," seru Azka. "Udah yuk, Bu, berangkat!"
"Ayo, Pak!" jawab Sita. "Kamu enggak antar kita ke bandara?" tanyanya lagi.
"Antar, Bu. Enggak lihat apa Ziel udah siap gini!" Ziel tampak gemas dengan pertanyaan-pertanyan yang terus dilontarkan oleh sang ibu.
"Oh gitu, ya sudah, ayo!" ajak Sita pada Ziel.
***
"Ziel, jadi gimana ide gua mengenai perjodohan lo berdua?" tanya Gery ketika datang berkunjung ke rumah Ziel.
"Udah gua omongin sama si Evelyn dan dia setuju."
"Oh yah?"
"Ya, waktu itu gua cuma kasih waktu dia sehari buat kasih jawaban. Eh, besoknya bener dia jawab, ok!"
"Gila lo, bener-bener mau nipu orang tua lo berdua." Gery tampak terkekeh.
"Hei, itu 'kan ide lo, Ger!" sahut Ziel.
"Gua 'kan cuma ngasih ide. Keputusan 'kan ada di tangan lo sama Evelyn. Jangan nyalahin gua kalau lo ada apa-apa di belakang nanti."
"Sialan lo! Lo yang duluan kasih ide, tapi enggak mau tanggung jawab."
"Hahaha!" Gery tertawa terbahak-bahak.
"Ziel, sorry yah, gua kasih ide itu 'kan setelah lo nolak saran pertama gua."
"Saran yang mana?" tanya Ziel heran.
"Wah, pura-pura lupa nih anak," sungut Gery. "Gua udah bilang yah diawal, 'ya udah lo terima aja perjodohan itu, lagian si Evelyn juga 'kan enggak jelek'. Inget enggak gua ngomong gitu?" desak Gery.
"Oh iya, hampir aja gua lupa kalo lo enggak ingetin," kekeh Ziel.
"Ah, dasar lo. Emang lo-nya aja yang pura-pura."
"Hahaha, sorry, Ger. Iya gua lupa kalo lo sempet kasih saran itu," seloroh Ziel. "Tapi bener, gua enggak bisa main terima aja perjodohan ini karena gua enggak punya perasaan sama Evelyn, begitu juga sebaliknya."
"Eh tapi, Ziel, kalo nanti tahunya lo berdua saling jatuh cinta gimana?" goda Gery.
"Enggak mungkin 'lah gua jatuh cinta sama cewek macam si Evelyn. Udah tomboy, galak, dan enggak ada manis-manisnya jadi cewek."
"Jangan gitu lo, Ziel. Bisa kemakan sama omongan sendiri nanti, baru tahu rasa."
"Terserah lo mau ngomong apa. Pokoknya nanti di kampus baru, gua bakalan hunting cewek-cewek cantik, seksi dan menggoda, menggoda buat gua tapi, buat gua jadiin pacar," ucap Ziel terlihat mengkhayal.
"Dasar playboy lo, kapan tobatnya jadi orang?" seru Gery, "jangan mewek deh kalo sampai jatuh cinta beneran sama si Evelyn."
"Makanya gua mau nyari cewek yang cantik, Ger, biar mata dan pikiran gua enggak fokus ke satu cewek doang. Gimana sih lo!"
"Iya, iya. Terserah lo deh!"
***