Bab 7 : Kabar Berita

1703 Kata
"Kenapa dia bisa bicara seperti itu?" monolognya dalam hati. Rie berdiri dalam keadaan tubuh yang sedikit gemetaran. Ucapan Isaac benar-benar membuatnya tak bisa berpikir jernih. Tuduhan itu sama sekali keliru. Tapi Rie tak bisa mengungkapkannya karena sebak di d**a menahan luka lama yang kembali terbuka. Kekecewaannya kian mendalam setelah Isaac mengatakan hal itu. "Apa segini cukup untuk biaya persalinan dinimu?" Tampak tangan seorang wanita meletakkan selembar kertas ke atas meja Rie yang ada di seberangnya. Rie yang melihat hal itu jelas terkejut, serta menahan begitu banyak emosi karena telah direndahkan oleh wanita tersebut. Wanita yang telah melahirkan dan membesarkan kekasihnya itu. "Isaac tidak akan bertanggung jawab terhadap anak itu. Demi kebaikanmu sendiri, terima saja uang itu untuk menggugurkan anak itu," senyum Jane, penuh kemenangan. "Ya. Kau benar. Itulah kenapa aku berkencan denganmu. Karena yang aku inginkan adalah uangmu." Isaac menggeram, tertahan. Wajahnya semakin pucat pasih. Dan itu dilihat oleh James yang masuk ke ruangan tersebut. James langsung mendekat begitu melihat wajah serta tetesan darah yang menodai kemeja putih milik tuannya itu. "Tuan. Anda mimisan lagi? Masih ada penerbangan terakhir untuk --" "Aku tahu," potong Isaac yang langsung tak bisa menyanggah ucapan Rie tersebut. Isaac lantas dituntun keluar dari rumah. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, namun bibirnya membeku karena kecewa. Keadaan itu membuat kesehatannya sedikit terganggu. Dan Isaac tak ingin memperlihatkan kelemahannya tersebut di depan siapapun. Rie melihat kepergian Isaac tanpa kata itu dari depan jendela. Sampai mobil Isaac benar-benar menghilang dari pandangannya, barulah ia tumpahkan segala kekesalannya itu lewat air matanya. Rie memeluk erat tubuhnya tanpa ia tahu kapan semua ini akan berhenti. Hal itu juga dilakukan oleh Isaac dalam perjalanannya. Meski wajahnya ia tutupi lewat jari jemarinya, kesedihan Isaac itu tetap bisa James pantau melalui cermin tengah mobil. James tak tahu apa yang telah terjadi. Tapi yang pasti, ada luka yang mendalam yang tengah dirasakan tuannya melebihi penyakit yang ia derita saat ini. *** Suasana pagi hari ini terasa berbeda. Rie masih belum bisa menghilangkan atmosfer kesedihannya tersebut hingga anak-anaknya terus menanyakan bagaimana keadaannya. Wajah sembab, mata bengkak serta terlihat letih dan lesu, tentu saja menjadi magnet yang menarik perhatian yang melihatnya. Nia yang merasa tak nyaman dengan hal itupun, memilih mendekati sang ibu. Meskipun dia tak tahu harus memulai pembicaraan ini darimana. "Ibu tak apa-apa?" Rie tersadar dari lamunannya. Ia bahkan tak sadar jika masih memangku satu keranjang besar pakaian yang hendak ia jemur. "Apa? Oh...ya. Ibu baik-baik saja." "Jadi ibu mengenal paman Isaac, ya?" Rie menoleh dengan raut wajah heran. "Ibu bertengkar dengan paman itu? Apa hubungan kalian dulunya itu sangat buruk sampai ibu melamun seperti ini?" Rie semakin salah tingkah. Ia tak menyangka, putri kembarnya itu akan menanyakan sesuatu yang melebihi usianya. Rie datang merangkul sambil tersenyum malu. "Tidak. Ibu tidak bertengkar dengan paman itu. Ibu cuma teringat dengan masa lalu." Nia berpikir sejenak. Ia mencoba mencerna ucapan ibunya tersebut sampai ia tak tahu harus bertanya apa lagi. "Masa lalu seperti apa?" "Itu....belum bisa ibu ceritakan padamu karena kamu belum cukup dewasa untuk mengetahuinya." Nia tiba-tiba berdiri di hadapan sang ibu sambil mengerucutkan bibirnya, lucu. "Aku sudah cukup besar untuk mendengarkan, Bu." Rie tertawa geli sambil membelai wajah puteri semata wayangnya itu. "Sebesar apa sih?" Nia memicingkan mata lalu memajukan wajahnya untuk berbicara dengan perlahan, "Aku sudah paham tentang dunia percintaan." "Nia!" Rie terkejut sambil tertawa malu, "Kamu masih delapan tahun." "Ada apa ini? Suaramu terdengar sampai di sana," ucap seorang pria tua yang berjalan dibantu dengan tongkatnya. Anak dan ibu itu spontan memberi salam kepada pria tersebut, lalu sama-sama membantunya berjalan mendekati bangku taman yang mereka duduki sejak tadi. "Pak Yoon! Kapan anda sampai? Kenapa tak memberi kabar terlebih dahulu?" "Aku tak mau merepotkanmu, makannya aku datang diam-diam," ucapnya sambil tertawa. "Apa terjadi sesuatu selama aku pergi?" "Tidak ada. Semuanya aman terkendali." Pak Yoon tak mau percaya begitu saja. Ia lantas menanyakan hal yang sama kepada Nia yang tengah sibuk menggantikan pekerjaan ibunya yaitu menjemur pakaian. "Apa benar begitu, Nia?" Nia menoleh sambil melirik ke arah ibunya, "Kami mendapatkan hadiah yang cukup banyak kemarin. Dari donatur yang baik hati. Tapi sepertinya, ibu tak menyukainya." "Nia --" Pak Yoon tertawa sambil memastikannya sendiri, "Sepertinya ini jadi masalah serius, ya?" Isaac berbaring setengah terduduk di atas brankar. Tangan kanannya diinfus lalu tangannya yang lain pun tak luput mendapatkan jarum yang mengarah ke sebuah mesin yang ia tak tahu apa itu. Yang pasti, setelah sampai di Singapura malam tadi, Isaac langsung melakukan kemoterapi induksi untuk menghancurkan sebanyak mungkin sel kanker dalam darah dan sumsum tulangnya. Besar kemungkinan, sebulan ke depan Isaac harus bolak-balik melakukan hal ini tanpa ketahuan demi kesembuhannya. Dan James bertugas untuk mengatur semua jadwalnya agar ia bisa tetap melakukan pengobatan. Sambil berbaring, Isaac tak berhenti untuk memikirkan apa yang telah terjadi antara dirinya dengan Rie. Pertemuan kembali itu membuatnya seperti tersedot ke dalam luka lama. Dan sialnya, ia harus menerima lagi semua luka tersebut setelah mendengar apa yang Rie katakan padanya. Sebuah alasan yang mengganjal hatinya. Suara pintu terbuka dan tertutup meleburkan lamunan Isaac. James yang kin berpenampilan lebih santai dengan kemeja bergambar Hawaii itu, membuat Isaac mengerutkan kening setelah melihatnya. "Tampaknya kau lebih menikmati perjalanan ini daripada aku," sindir Isaac yang tak disadari oleh James yang terlihat serius membaca beberapa kertas di tangannya. "Apa saya perlu mengatur ulang rumah sakit mana yang lebih fleksibel dengan jadwal anda tuan?" Isaac menghela napas ringan, "Atur saja sebaik mungkin." "Saya pikir sepertinya lebih efektif untuk tidak bolak-balik ke luar negeri. Mengingat tuan juga memiliki urusan baru yang harus dilakukan." Isaac melirik sinis ke arah asistennya itu, "Urusan apa?" "Pendekatan dengan nona Christine dan juga masa lalu anda dengan nona Rie." Mendengar nama Rie disebut, Isaac menaikkan telunjuknya sebagai bentuk protes, "Aku lebih suka memanggilnya dengan nama Ari." James tertawa kecil, "Oh ya. Nona Ari." James memberi jeda pada ucapannya, lalu melanjutkannya setelah melihat tuannya sedikit lebih bersemangat untuk membahas mantan kekasihnya itu. "Apa tuan butuh bantuan saya untuk menyelidiki?" "Tidak ada gunanya lagi. Dia sudah memiliki kebahagiaannya sendiri." "Tapi apa tuan tak penasaran dengan status pernikahannya atau status anak-anak itu?" "Apa maksudmu?" James menarik secarik kertas yang sejak tadi ia baca dengan sangat serius. Ia lantas menyerahkannya kepada Isaac untuk dibaca. Dengan seksama, Isaac membaca isi kertas tersebut. Setelah selesai, pandangan mereka saling bertemu untuk membahasnya. "Tuan pasti mengerti apa maksud saya." ** "Jadi begitu. Lalu apa yang akan kau lakukan? Menghindarinya tentu bukan jalan terbaik," ungkap pak Yoon yang sejak tadi masih setia berpindah posisi dari bangku taman menuju pekarangan panti asuhan sambil mendengarkan curhatan hati Rie - pengurus juga seorang anak yang pernah Yoon urus sejak kecil tersebut. "Setelah ini pasti akan ada banyak pertanyaan dibenaknya. Dia bukan orang yang akan diam begitu saja." "Satu-satunya cara yang bisa kau lakukan adalah menunjukkan kebahagianmu. Dia tak akan bisa melakukan apapun jika kau memiliki pasangan." "Apa menurut pak Yoon seperti itu?" Pak Yoon mengangguk dengan percaya diri, "Lalu anak-anak itu....biar aku yang pikirkan caranya." "Apa yang harus saya lakukan?" tanya Rie penasaran. Beberapa jam kemudian, Rie terlihat berdandan dengan cukup cantik dan elegan di rumahnya. Mengenakan dress selutut berwarna merah maroon, Rie memadukannya dengan jas hitam yang ia kenakan di pundak. Tak lupa polesan lipstik merah mewarnai penampilannya malam ini. Setelah cukup yakin membiarkan rambutnya tertata dan tergerai dengan indah, Rie pun melenggang keluar dari rumah susun yang baru ia tempati beberapa bulan yang lalu itu. Rie bergegas ke sebuah kafe and resto yang ada di sebuah mall mewah yang letaknya di tengah kota. Turun dari taksi, Rie berhasil menarik perhatian beberapa orang yang kebetulan berada di sekitarnya. Mengesampingkan perhatian itu, Rie memilih berjalan memasuki kafe dan resto yang sudah ditentukan pak Yoon sebagai tempat kencan butanya tersebut. Ya...Rie akhirnya menyetujui ide pak Yoon tersebut setelah beberapa tahun terakhir ia menolak untuk melakukannya. Alasan masuk akal untuk menemukan pasangan agar Isaac tak mengganggunya pun menjadi pilihannya untuk sementara ini. Rie masuk dan langsung duduk di kursi yang telah di reservasi sebelumnya. Hanya berselang beberapa menit, seorang pria dengan suit lengkap terlihat datang menghampiri mejanya. Mereka saling bersitatap sejenak sebelum akhirnya saling berkenalan. "Kamu Ariadne?" "Benar." "Aku Harry. Senang bisa bertemu denganmu," sapa Harry yang memiliki rambut kecokelatan dengan iris mata yang berwarna senada. Karena ini merupakan pengalaman pertama baginya melakukan kencan buta, tentu saja hati Rie tak berhenti berdebar karena terlalu gugup. Cukup lama baginya untuk bisa membuka hati setelah terakhir kali ia harus mendapatkan kekecewaan yang mendalam. Namun demi bisa melindungi apa yang harus ia lindungi, Rie pun mau tak mau harus mencoba era baru untuk masa depannya kelak. "Apa kegiatanmu saat ini?" "A--aku membuka --" Sebuah ketukan di meja menginterupsi apa yang ingin Rie sampaikan pada pria yang duduk berhadapan dengannya itu. Keduanya menoleh ke arah yang sama untuk mengetahui siapa orang yang mengganggu kebersamaan mereka itu. Isaac, dengan mata setajam elang yang mampu mengintimidasi siapapun itu, berdiri di sana sambil merapikan dasinya yang terasa menyesakkan lehernya tersebut. Sambil melipat kedua tangannya ke d**a diiringi senyum yang dibuat-buat, Isaac memajukan wajahnya untuk bicara lebih dekat pada keduanya. Rie yang bisa mencium aroma parfum pria yang pernah ia kencani itupun, terlihat gelisah di tempatnya. Tapi berbeda dengan Isaac, yang justru terlihat nyaman di sana karena tujuannya terlaksana dengan sempurna. "Wanita ini telah memiliki anak dan juga suami. Apa kau masih ingin melakukan kencan buta ini?" Mata Rie terbelalak dengan sempurna. Ia bisa melihat raut wajah bingung Harry di depannya sambil mencerna situasi yang membingungkan tersebut. "Isaac! Apa maksudmu!" Isaac tersenyum menang, "Apakah yang aku katakan itu salah, nona Ariadne?" Rie berdiri sambil mengayunkan tangannya. Meminta untuk dilepaskan. "Aku belum memiliki suami!" ceplosnya. Mendengar hal itu, Isaac semakin mengukir senyum kemenangannya di hadapan Rie yang akhirnya sadar bahwa ia telah terjebak. "Bagus --" Isaac menarik lengan Rie dengan paksa kemudian membuatnya berada dalam dekapannya. Perbuatan Isaac itu semakin membuat Harry geram dan pria itupun berdiri untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan. Namun pada akhirnya, ia justru hanya bisa berdiri menyaksikan pasangan itu bergelud dengan masalah mereka selama ini. "-- kalau begitu kau harus jelaskan lagi padaku bagaimana kau bisa memiliki anak tanpa suami? Atau --" Rie meringis kesakitan karena pergelangan tangannya yang dicengkeram erat oleh Isaac yang ada di hadapannya itu. Tatapan mereka jadi semakin intens setelah Isaac menanyakan hal tersebut. "-- apa mungkin mereka adalah anak-anakku?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN