Bab 8 : Membuatmu Kembali Padaku

1799 Kata
Beberapa menit sebelumnya : Isaac tiba di sebuah kafe dan resto yang telah dipesan sebelumnya oleh Christine. Ya...sebagai ganti bahwa ia tak bisa tinggal lebih lama di pamerannya, Isaac membuat janji untuk makan malam dengan wanita cantik dan berbakat tersebut. Christine yang datang dengan balutan dress kuning berkilauan yang ia padu padankan dengan fragrant coat hitam merek jenama terkenal itu, terlihat mencolok di deretan meja kafe yang memiliki design industrial tersebut. Christine tak bisa menyembunyikan kegembiraannya ketika pria yang memiliki tinggi badan seratus delapan puluh tiga sentimeter itu datang ke mejanya. Dengan senyum iritnya, Isaac tak lupa menyapa dengan melambaikan tangannya singkat lalu duduk dengan berwibawa di kursinya. Christine bahkan sedikit gugup untuk memulai pembicaraan. Namun akhirnya bisa ia sembunyikan setelah Isaac berbincang lebih dulu dengannya. "Bagaimana kabarmu? Maaf terburu-buru saat itu." "Ah...nevermind. Tante sudah menggantinya dengan hadiah yang menarik. Dan juga makan malam ini," ucap Christine penuh semangat. Isaac tersenyum singkat lalu mengedarkan pandangannya ke kafe yang dipilih Christine tersebut. Lalu tak lama, atensinya beralih ke seorang wanita yang mengenakan dress selutut berwarna merah yang baru saja tiba ke kafe. Sangking seriusnya, Isaac sampai tak mendengar lagi ucapan Christine di seberang mejanya. Dan Christine menyadari hal itu setelah Isaac tiba-tiba berdiri dari kursinya dan menuju ke meja wanita yang menjadi perhatian Isaac. Dan di sanalah Isaac, mengacaukan kencan buta Ariadne yang bahkan baru berlangsung beberapa menit saja. "Bagaimana kau bisa memiliki anak tanpa suami? Karena aku tahu kau bukan wanita seperti itu." Ariadne masih mencoba mencari cara untuk menjelaskan semua ini. Ia tak ingin berbohong, tapi ia juga tak mau mengatakannya kepada Isaac yang tengah mempermalukannya di depan pria kencan buta nya. "Apa mungkin mereka adalah anak-anakku?" bisik Isaac yang tentu saja membuat bulu kuduk Rie meremang. "Kau bicara sembarangan!" Rie berontak. Rie menyempatkan diri untuk menoleh ke arah Harry. Melihat reaksi pria itu atas apa yang dilakukan Isaac. Dan pastinya Harry terkejut. Ia bahkan terlihat ingin berkemas setelah melihat raut wajah sangar Isaac di hadapannya itu. Ariadne sedikit kecewa atas reaksi itu. Kini ia menyadari situasinya, bahwa ia tak bisa lepas dari Isaac -- mantan kekasihnya itu. "Lepaskan aku Isaac! Ini di tempat umum!" "Aku bisa menyewa tempat ini agar kita bisa bicara dengan leluasa," balas Isaac dengan penuh percaya diri. Ariadne menarik senyum miringnya setelah melihat seseorang di balik punggung Isaac, "Sepertinya pacarmu tidak akan menyukai itu." Isaac mengerutkan keningnya sembari menyejajarkan wajahnya ke tinggi badan Ariadne yang hanya sampai ke dadanya itu. "Pacar?" Isaac menoleh ke belakang dan melihat Christine yang tengah menyaksikan semua itu. Dan ucapan Ariadne itu benar-benar tepat karena Christine kini datang menghampiri keduanya. Spontan Isaac melepaskan cengkeramannya. Ia lupa bahwa siapapun memantau gerak-geriknya tersebut. "Who is she, Isaac?" tanya Christine penasaran. Isaac ingin menjelaskannya, namun hal itu dimanfaatkan Ariadne untuk kabur. Ia segera meninggalkan tempat itu menyusul Harry yang telah lebih dulu pergi meninggalkannya. Namun usaha Rie untuk kabur sepertinya menjadi sia-sia. Karena Isaac lagi-lagi menemukannya. Pria itu tanpa gentar mengikuti kemanapun Rie pergi. Ambisi Isaac tersebut semakin membuat Rie ketakutan hingga ia benar-benar tak tahu arah. Ia juga mencoba untuk bersembunyi atau bahkan meminta pertolongan pada orang-orang yang berlalu lalang, namun usahanya itu sia-sia karena tak ada yang memedulikannya. Entah apa yang dikatakan Isaac pada Christine. Yang jelas pria itu bisa pergi meninggalkan gadis itu sendiri di kafe dengan raut kekecewaan. Isaac yang melihat Rie ketakutan, semakin ingin segera menyelesaikan kesalahpahaman itu. Ia tak bermaksud menyakiti wanita itu, namun Rie menganggapnya akan melakukan hal itu. Mereka tiba di tempat penyeberangan orang. Mereka yang terlambat untuk menyeberang, mau tak mau berada dalam bahaya karena mobil yang mulai berlalu lalang. Rie benar-benar ketakutan. Ia tak lagi bisa berpikir jernih hingga dirinya memilih berjongkok di sana. Menutup kedua telinganya karena tak kuasa mendengar suara klakson yang tertuju kepadanya. Sebuah pelukan dari belakang menyadarkannya. Dengan perlahan ia dituntun untuk bisa keluar dari situasi tersebut menuju trotoar. Selama aksinya tersebut, Rie tak berhenti melihat ke arah penyelamatnya. Ia baru bisa mendengarkan ucapan orang itu setelah ia benar-benar tenang berada di pinggir jalan. "Ternyata kau masih belum bisa menghilangkan trauma itu ya?" ucap Isaac dengan tatapan ibanya. Rie yang sudah hampir menangis itu akhirnya menumpahkan semua kekesalannya tersebut ke d**a bidang milik Isaac untuk ia pukuli dengan sepuasnya. Pukulan itu tentu saja terasa sakit bagi Isaac. Namun sengaja ia tahan sebisa mungkin agar Rie bisa lebih cepat tenang dan bisa diajak bicara dengan baik. Mendengar Isaac mulai terbatuk karena merasa dadanya kesakitan, Rie mengakhiri perbuatannya dengan berdiri tegap di hadapan pria itu. Ia kemudian menarik napas dengan tenang, lalu memberanikan diri menatap Isaac yang masih terbatuk-batuk. "Aku tidak akan berterima kasih untuk ini," ucap Rie ketus. Isaac terkekeh, "Simpan saja terima kasihmu itu." "Sebenarnya apa maumu? Dengarkan aku....aku tak akan menjawab apapun pertanyaanmu tadi." Isaac mengangguk, "Baik. Aku yang akan cari tahu sendiri." "Jangan pernah dekati anak-anakku lagi Isaac. Aku takkan membiarkanmu menjadi donatur lagi," ancamnya. Hal itu menjadi perhatian Isaac dengan serius. "Aku akan cari cara lain. Karena...ucapanmu barusan membuatku jadi semakin yakin tentang anak-anak itu." Rie berpura-pura tak mendengarkan. Ia memilih untuk menjauh sembari mencari taksi yang berlalu lalang. Beruntungnya, Rie langsung mendapatkan taksi yang akan membawanya pergi. Tanpa ragu, Rie masuk ke dalamnya dan dikejar oleh Isaac. Pria itu berhasil menahan pintu sebelum Rie menutupnya dengan sempurna. "Aku akan cari tahu apa yang sebenarnya terjadi! Dan setelah itu....aku akan membuatmu kembali padaku," tukas Isaac yang langsung membuat Rie terdiam di kursinya. "Aku serius, Ari. Aku serius." ** Isaac berjalan terburu-buru begitu ia tiba di mansionnya. Ia bahkan melewati beberapa tawaran pelayan wanita yang terus siaga untuk menyiapkan segala keperluannya di rumah tersebut. Sontak hal itu menjadi rautan kebingungan tercetak di wajah mereka. Puncaknya, mereka ingin mengetahui apa yang terjadi pada majikan mereka dengan melirik ke arah James yang juga bingung. Dengan mudahnya James mengendikkan bahu sebagai bentuk jawaban, lalu ikut menyusuli tuannya yang telah naik ke kamarnya. Sesampainya di kamar, Isaac tetap gelisah tak tentu arah. Mengusap wajah dan rambut berkali-kali, mondar-mandir di depan cermin yang pernah ia tinju, menjadi kesibukannya menjelang tengah malam. Isaac bahkan sesekali terkekeh seperti seorang sosiopat di sudut kamarnya yang temaram. Lalu wajahnya berubah menjadi semerah tomat setelah mengingat kejadiannya bersama Rie beberapa menit yang lalu. "Mana mungkin aku mengatakan itu," ucap Isaac lirih sambil tersipu malu. "Aku akan cari tahu apa yang telah terjadi. Dan setelah itu..aku akan membuatmu kembali!" "Tidak. Kenapa aku bisa berkata seperti itu!" Isaac kembali frustrasi. Akan tetapi, dalam keadaan frustrasinya itu, Isaac juga merasakan debaran yang tak biasa. Sebuah debaran yang telah lama hilang darinya. "No...no..no!" elak Isaac yang diketahui oleh asistennya, James. James yang melihat kegundahan tuannya itu hanya bisa tersenyum tipis. Seperti mengetahui apa yang tengah dialami majikannya tersebut. "Apa terjadi sesuatu, tuan? Tampaknya anda gelisah sekali." Isaac menyembunyikan wajahnya dengan tangannya yang masih diselimuti oleh perban. Ia malu harus menampakkan wajah malunya saat ini kepada asistennya itu. "Aku mengatakan sesuatu yang memalukan --" "Pada nona Christine?" "Bukan padanya!" Isaac berubah kesal karena ucapannya salah sasaran. Tapi kemudian ia merasa bersalah karena bernada tinggi barusan, hingga ia harus menutupi rasa malunya lagi. Namun beberapa saat kemudian, Isaac baru menyadari ucapan James itu. Ia kemudian menepuk keningnya sendiri sembari berdiri dengan tangan di pinggang. "Aku membuat masalah besar, James." "Masalah besar apa , tuan?" tanya James hati-hati. "Aku meninggalkan Christine begitu saja di kafe," ucap Isaac pelan. Suara pelannya itu sedikit membuat pandangan James terhadap tuannya menjadi berubah. Ia kini seperti melihat putranya mengakui kesalahan kepadanya. James menganggukkan kepalanya sembari tersenyum tipis. "Apa yang membuat anda meninggalkan nona Christine?" tanya James yang lebih mirip menginterogasi daripada bertanya. "Karena aku tengah mencegat Ari di tempat yang sama." "Nona Ari? Ah..maksud tuan nona Rie? Kenapa anda mencegatnya?" "Karena aku tak tahan melihatnya duduk berdua dengan seorang pria," ungkap Isaac yang terlihat semakin frustrasi. Tapi setelahnya, ia kembali malu dengan perbuatannya sendiri. "Ma...maksudku...aku ingin semua masalah ini jelas. Aku ingin bicara dengannya tapi dia sama sekali tak memberiku kesempatan." "Ya. Itu benar. Anda tak melakukan kesalahan tuan." James berpura-pura menyemangati sambil menahan tawa. Merasa lucu melihat tuannya gelisah sendiri. Sebuah sisi lain yang benar-benar tak pernah James lihat selama ia bekerja dengan Isaac. Menemaninya setiap waktu dengan sikap yang selalu kaku dan serius, tentunya pemandangan seperti ini menjadi sebuah daya tarik baru bagi James yang selalu setia. Bahkan untuk sebuah hubungan asmara, James tak pernah melihat tuannya akan berbunga-bunga lalu menghabiskan satu malam dengan seorang wanita. Terlalu datar hingga James mengira-ngira orientasi seks tuannya yang pekerja keras itu. "Anda melakukannya dengan benar. Semakin anda mendekati nona Ari, maka informasi yang kita dapatkan sebelumnya, akan lebih mudah untuk digali." "Tapi aku terlalu memaksanya," potong Isaac terdengar putus asa. "Memaksanya?" James bingung. "Memaksa nona Ari dengan cara apa?" Ingatan Isaac kembali ke detik-detik ia menolong Ariadne yang ketakutan di tengah jalanan padat kendaraan. Tanpa ragu Isaac mendekat dan memeluk wanita itu erat seperti yang biasa ia lakukan dulu. Tapi hal itu tak bisa ia lakukan terlalu lama karena masih ada masalah yang belum terselesaikan. Hal itu membuat Isaac sedikit menyesali keputusannya tersebut. "Aku mengatakan sesuatu di luar kendaliku. Padahal aku sudah ingin melepaskan semuanya, tapi aku malah bilang aku ingin dia kembali padaku." Dengan wajah memelasnya, Isaac menatap James sembari menunggu tanggapan dari asistennya itu. James berusaha semaksimal mungkin menahan tawanya tersebut dengan mencari jawaban yang tuannya harapkan darinya. "Its not bad news, sir. Anda sudah melakukan hal yang tepat. Anda tak perlu khawatir." "Menurutmu begitu? Apa ini akan berhasil?" "Jika anda serius dengan itu, saya yakin semua akan berjalan dengan lancar." "Seperti rencana yang kau katakan padaku?" "Tentu. Ini bahkan terlihat menjadi lebih mudah dari yang saya perkirakan." "Tapi ada satu masalah yang harus diselesaikan terlebih dahulu --" potong Isaac sembari menatap layar ponselnya yang tergeletak mengenaskan di atas meja rendahnya itu. Sebuah panggilan masuk yang datangnya dari seorang wanita bernama Christine. "Saya akan menyelesaikannya dengan baik, tuan. Anda tenang saja." Tanpa ragu, James segera mengambil alih ponsel tersebut dan menjawabnya. Isaac yang puas melihat punggung James yang menjauh darinya untuk menyelesaikan masalahnya dengan Christine tersebut, langsung berbaring di atas tempat tidur sembari menatap langit-langit kamarnya. Isaac mulai memikirkan apa yang harus ia lakukan jika berhadapan dengan Ariadne, esok. Tak jauh berbeda dengan keadaan Rie. Setelah sampai di rumahnya yang hangat, Rie langsung bergegas mencari sebotol air dingin dari dalam lemari pendinginnya. Meneguk isinya hingga tersisa setengahnya. Setelah dirasa cukup untuk menghilangkan dahaga dan was-was yang menyertainya sejak tadi, Rie pun mulai berjalan ke arah sofa dan merebahkan dirinya di sana. Menatap langit rumahnya yang baru ia tempati beberapa bulan bersama kedua anaknya tersebut. Rie juga terus mengingat momen di tengah jalan tadi sambil terngiang-ngiang dengan ucapan Isaac yang sempat masuk ke dalam relung hatinya itu. "Ternyata kau masih belum bisa menghilangkan trauma itu, ya?" "Dia masih mengingatnya. Bagaimana bisa?" Rie menghela napas ke udara sembari menutup mata, "Dia selalu seperti itu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN