Isaac baru saja sampai di ruangannya dengan wajah kusut serta lelahnya. Sejak tadi pagi bahkan menjelang makan siang ini, Isaac tak berhenti mondar-mandir dari satu kantor ke kantor lainnya untuk memonitoring perusahaan. Sejak kebijakannya minggu lalu, ada banyak sekali laporan yang mesti ia selesaikan. Dan ia tak menyangka, hal ini menyita seluruh waktu dan jiwa raganya hingga ia harus kelelahan seperti itu.
James yang mengetahui kesehatan tuannya yang sedang tidak fit, tentu saja menyiapkan segala keperluan untuk menjaga stamina Isaac untuk hari ini. Ia menyiapkan obat serta makanan kecil di atas meja kerja tuannya lalu berdiri menunggu Isaac beristirahat. Isaac sempat meliriknya, namun ia segera bangkit dari kursinya dan mengenakan jas biru navy yang tersampir di kursinya itu bergegas untuk pergi.
"Tuan...anda harus minum obatnya dulu."
"Ari sudah mengirimkan lokasi untuk makan siang. Aku harus ke sana sebelum terjebak macet," tukas Isaac seperti anak kecil yang mencoba untuk menghindar dari orang tuanya ketika anak tersebut diminta untuk meminum obat.
Namun James tak kehabisan akal. Ia segera menyimpan semua obat tersebut dengan cepat ke dalam saku jas tuannya tersebut.
"Anda harus janji untuk meminumnya setelah makan siang dengan nona Ari," pinta James sambil menunjuk obat-obat tersebut.
"Kau lebih cerewet dari ibuku, James. Baiklah. Aku akan ingat itu --"
Baru saja Isaac membuka pintu ruangannya, Isaac dibuat terkejut dengan kemunculan ibunya -- Jane Thunder. Melihat anaknya sibuk dan bahkan terkejut melihatnya datang, Jane segera berjalan masuk sambil menatap penuh intimidasi ke arah anak yang ia lahirkan itu agar Isaac tak berusaha untuk kabur darinya kali ini.
"Baru kembali dan hendak pergi lagi?"
"Kenapa ibu ke sini?"
"Tentu saja untuk menanyakan apa yang terjadi antara kau dengan Christine. Mengapa makan malamnya tak berhasil? Kau pergi ke mana malam itu?" tanya Jane tanpa memberi jeda sama sekali.
Isaac tentu saja langsung melirik ke arah James yang beberapa hari yang lalu telah menugaskannya untuk menyelesaikan permasalahannya dengan Christine. Namun James hanya mengangguk tenang yang kemudian mengeluarkan ponselnya untuk mengetikkan sebuah pesan di sana yang dengan cepat tersampaikan ke ponsel Isaac yang ada di saku. Isaac segera membacanya sambil diawasi penuh oleh ibunya di ujung sofa.
"Ibu anda sepertinya tidak puas dengan penjelasan Christine," tulis James yang membuat Isaac mengerutkan kening, kesal.
"Apa maksudmu?" bisik Isaac yang langsung mendapat suara dehaman keras dari Jane.
"Uhm..aku ada urusan mendadak malam itu, jadi --"
"Kalau kau memang kurang selera dengan wanita yang berada di bidang seni, harusnya katakan dari awal," potong Jane yang memuat Isaac bingung. Pria itu terlebih dahulu menoleh ke arah James lalu membuat kode lewat alis mata. James menangkap sinyal itu lalu mengangguk kecil.
"Ah iya. Aku kurang berminat, bu."
"Kalau begitu bagaimana kalau pertemuan dengan seorang gadis pembisnis --"
"Tidak bu. Itu lebih membosankan lagi."
"Lalu? Seorang artis atau model?"
"Bu...kenapa repot-repot mencarikan pasangan untukku? Aku bisa mencarinya sendiri."
"Itu tidak akan terjadi lagi," potong Jane dengan tatapan serius. Isaac yang sejak tadi merasa bosan dengan pembicaraan mereka lantas mulai menyandarkan tubuhnya ke kepala sofa sambil ikut menatap tajam.
Ia mulai ingat, bagaimana cerita ini dimulai. Isaac mulai menyadari, bagaimana kesalahpahaman ini terjadi karena ibunya yang telah ikut campur tentang pasangan yang ia pilih.
"Ibu masih ingat dengan Ari?"
Mendengar nama itu disebut, Jane tiba-tiba terbatuk. Meski terdengar pelan, namun Isaac bisa tahu jika itu adalah sebuah tanda kegugupan.
"Uhmm. Tidak."
"Bagaimana ibu bisa lupa pada wanita yang sudah memeras ibu delapan tahun yang lalu?"
"Ooh wanita itu. Apa dia membuat masalah?"
"Bukan itu --" Isaac menghela napas untuk menjelaskan, namun seketika niatnya berubah saat James menegurnya lewat tepukan di pundaknya.
"Tuan...anda punya janji dengan perusahaan T jam 1 siang. Dan anda hanya punya waktu setengah jam untuk makan siang," pesan James yang membuat Jane sedikit terganggu.
Namun karena James berada di bawah perintah Isaac, tentu saja tatapan tak mengenakkan itu sama sekali tak membuat James gentar di tempatnya.
"Ibu dengar sendiri kan? Aku tak bisa menemani ibu di sini. Jadi...kita bicarakan saja nanti di rumah."
Jane tiba-tiba semringah mendengar ucapan anaknya itu, "Kau akan mampir ke rumah? Kapan? Sudah lama sekali kau tidak pulang dan melihat adik-adikmu."
"Mereka semua adik tiriku, bu. Aku tak berniat untuk menemui mereka," ucap Isaac sinis.
"Terserah. Yang penting kau harus menepati janjimu untuk pulang."
Isaac berdiri dari kursinya lalu merapikan diri. Mengantar kepergian sang ibu yang sebenarnya sudah membuatnya gerah sejak tadi. Setelah benar-benar pergi, Isaac baru bisa bernapas lega lalu 'melarikan diri' ke arah yang lebih aman untuk bisa sampai ke parkiran.
"Sepertinya aku sudah terlambat!"
"Biar saya yang mengantarkan anda tuan --"
"Tidak. Kau harus menggantikanku ke perusahaan T. Hubungi aku jika ada hal mendesak."
Tanpa menunggu jawaban dari James, Isaac segera bergegas menaiki lift menuju basement. Seperti yang diharapkan dari asistennya, Isaac tak perlu terlalu lama untuk mencari di mana mobilnya terparkir. Ia pun segera melesat meninggalkan kantor, diikuti beberapa pasang mata yang mengawasinya dari dalam mobil hitam.
Di sebuah kafe sederhana bergaya vintage, Ari atau biasa dipanggil Rie tersebut tampak duduk sendiri di dekat jendela kayu yang sengaja di cat berwarna kuning. Atensinya terus mengarah ke bunga matahari yang kebetulan tengah bermekaran di halaman kafe tersebut. Ia lantas kembali teringat dengan bucket bunga yang ia rangkai untuk Isaac beberapa hari yang lalu. Karena bunga itu, Rie tak pernah menyangka ia bisa bertemu kembali dengan Isaac yang telah lama hilang dalam kehidupannya.
Rie menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Merasa malu, gundah, marah, kesal dan masih banyak lagi perasaan yang sulit ia utarakan. Apalagi saat ini, ia harus menunggu pria itu untuk makan bersama dengannya di saat ia ingin menghindarinya.
"Kenapa aku mau menuruti permintaannya?" monolog Rie dalam hati. "Aku bahkan sudah menunggunya lebih dari satu jam."
Menyadari kebodohannya itu, Rie segera bergegas setelah menyelesaikan p********n untuk minumannya sendiri. Baru saja mendorong pintu kafe keluar, Rie dikejutkan dengan genggaman seseorang ke tangan mungilnya itu. Rie menaikkan kepala untuk melihat siapa yang telah menahannya pergi. Seperti tak terkejut dengan sosok yang ia temui, Rie secara spontan menarik lengannya tersebut untuk dilepaskan.
"Sudah mau pergi? Kumohon temani aku makan sebentar saja," ungkap Isaac dengan wajah yang sedikit pucat. Rie menganggap wajah tersebut menunjukkan keseriusan Isaac yang tengah kelaparan.
"Baiklah."
Tanpa melepaskan lengan Rie sejenak saja, mereka berdua berjalan menuju meja yang sebelumnya Rie tempati itu. Mereka yang duduk saling berhadapan itu mau tak mau membuat Rie harus bersitatap dengan Isaac yang ada di hadapannya. Berulang kali mata mereka saling bertemu. Dan di saat yang sama Isaac menggodanya dengan senyuman tipisnya.
"Terima kasih," ucap Isaac lirih setelah ia selesai memesan makanan yang ada di daftar menu.
Rie kembali membuat gestur kurang ramah untuk membuat Isaac sadar diri dengan situasi yang tengah terjadi diantara mereka.
"Untuk?"
Isaac menyunggingkan senyumnya tulus, "Menungguku di sini."
Rie tertegun. Tatapan itu membuatnya benar-benar tak berdaya. Seperti apa yang ia rasakan di dalam mimpinya tadi pagi.
Di sisi lain, dua pria yang mengikuti Isaac sejak tadi, terlihat membuat panggilan penting di dalam mobilnya. Mata pria itu masih terus mengawasi Isaac yang kini tengah berada di dalam kafe. Panggilannya tersambung dan ia mulai bicara dengan serius. Suara seorang wanita terdengar dari ujung telepon. Pria itu mengkonfirmasi lalu wanita itu terdengar kesal dibuatnya.
"Cari tahu siapa wanita itu," ucap sang pria pada rekannya yang berada di kursi kemudi.
Temannya itu mengangguk dan beberapa saat kemudian mereka pun beranjak dari lokasi. Tapi, baru saja meninggalkan lokasi, mereka dikejutkan dengan sergapan mobil lain yang ada di depan dan di belakang mobil mereka. Tentu saja hal itu membuat keduanya curiga. Salah satu dari mereka turun lalu disusul beberapa orang yang juga keluar dari mobil. Mereka saling menyerang di siang hari yang tenang. Kedua pria yang membuntuti Isaac sejak tadi, langsung ditangkap dan diamankan oleh orang-orang berbaju hitam lainnya. Setelah semuanya aman terkendali, seseorang memberikan laporan ke mobil lainnya yang tengah menunggu tak jauh dari tempat kejadian. Kaca mobil diturunkan dan James memberikan imbalan tunai pada pria tersebut.
"Apa yang harus kami lakukan pada kedua orang itu?"
"Buang mereka sejauh mungkin," ucap James dingin lalu menutup jendela mobilnya kembali merapat.