Bab 10 : Sentuhan Mimpi (+18)

1000 Kata
Ariadne terlihat menggeliat di atas ranjangnya. Wajahnya dipenuhi keringat meskipun ia telah bergumul dengan selimut tebal yang menutupi tubuhnya. Kerutan kesakitan terlihat jelas di sana. Lalu seketika berubah menjadi tenang dan sejuk saat Rie merasakan sebuah kehangatan yang muncul entah dari mana. Seperti ada tangan yang menyentuh keningnya lembut. Usapan tangan itu cukup ampuh membuat Rie merasa nyaman. Keningnya yang sejak tadi mengerut, kini juga telah memudar. Pijatan-pijatan kecil juga ia rasakan di wajah dan pundaknya. Rie ingin menggerakkan tubuhnya ke belakang karena ia bisa merasakan hangatnya pelukan itu datangnya dari arah sana. Namun, tangan itu mencegahnya untuk berbalik. Rasa nyaman telah berubah. Kini Rie seperti merasakan sesuatu yang ditekan dari belakang tubuhnya dan itu membuat bagian bawahnya berkedut. Rie semakin penasaran. Sentuhan demi sentuhan itu berubah menjadi lebih agresif dan tak terkendali. Rie ingin berbalik dan memaksakan diri untuk terlepas dari kungkungan yang menghinakan itu. Tapi tubuh dan mulutnya seperti tak bisa ia gerakkan sama sekali. Keringat dingin semakin deras mengucur di pelipis wanita itu. Setiap suara yang ia keluarkan dari bibirnya, justru malah terdengar seperti suara erangan yang membuat Rie sendiri tak percaya dengan apa yang telah ia lakukan. "Le...paskan a..aku." Sebuah kata berhasil ia keluarkan. Tapi sebagai balasan atas pemberontakannya, tangan orang asing itu berhasil menangkup buah dadanya keluar dari kaos yang ia kenakan. Rie semakin tertekan. Apa yang dilakukannya semakin membuatnya menggeliat tak terkendali. Tubuhnya benar-benar tak selaras dengan apa yang ingin ia lakukan. Sebagai wanita normal, tentu saja Rie merindukan sebuah sentuhan seksual. Tapi ia tak pernah bisa meluapkannya karena tak memiliki pasangan. Setiap kali keinginan itu muncul, Rie sengaja menepisnya dengan sibuk bekerja ataupun mengurus panti. Tapi hari ini, pendiriannya itu luntur seketika. Rie tak bisa lagi menyembunyikannya. Ia secara naluriah menikmati suasana ini. "Si..siapa kau?" Pertanyaan Rie lagi-lagi tak dihiraukan orang itu. Ia terus sibuk masuk ke tempat inti tubuhnya yang membuat Rie semakin menegang. Jari jemarinya kian lihai menyentuhnya. Rie benar-benar tak berdaya namun juga terus berpikir dengan logikanya untuk menghentikan semua ini. "Tidak. Aku tidak bisa seperti ini," ucapnya dalam hati lalu mencoba bergerak sekuat tenaga untuk menolehkan wajahnya ke belakang. Dan Rie begitu terkejut, begitu ia mengenali seorang pria yang tengah menyentuhnya itu ternyata adalah seseorang yang telah muncul kembali ke dalam hidupnya. Dengan suara parau, Rie berusaha menyebut nama pria itu. "I..Isaac?" Di saat Isaac tersenyum kepadanya, di saat itu pula Rie membuka mata dan terbangun dari tidurnya. Rie langsung terduduk dari ranjangnya sambil terengah-engah. Berulang kali ia melihat ke semua sudut kamarnya untuk memastikan apa yang terjadi padanya benar memang adalah sebuah mimpi. Betapa malunya ia. Begitulah yang Rie sesalkan dari apa yang ia mimpikan barusan. Delapan tahun yang lalu, ia tak pernah bermimpi senonoh seperti ini. Ia kesal, kenapa ia bisa seperti itu setelah Isaac kembali muncul? Rie terus menutupi wajahnya dengan selimut. Suasana hatinya yang tak keruan sejak pagi ditambah demam yang tiba-tiba muncul, membuatnya semakin bingung dan linglung. Ia tak menyangka begitu besar pengaruh Isaac terhadap dirinya hingga ia bisa bermimpi seperti itu. "Ini benar-benar memalukan. Kenapa...kenapa aku jadi seperti ini?" Nada dering dari ponselnya menyadarkan Rie dari penyesalannya. Ia segera memeriksa ponselnya dan terdiam. Sebuah nomor tak dikenali masuk memanggilnya. Karena merasa tak ada yang harus dicurigai, Rie pun mengangkat panggilan tersebut setelah menyegarkan tenggorokannya yang sempat kering. "Halo?" "Kau baru bangun? Bagaimana keadaanmu?" tanya seorang pria di ujung telepon. Tanpa berpikir panjang, Rie langsung tahu suara siapa itu. Karena tentu saja, ia masih ingat dengan rentetan mimpi memalukan yang baru saja ia alami tadi. "Isaac. Kenapa menghubungiku?" "Entahlah. Mungkin aku mulai rindu mendengar suaramu," gombalnya yang langsung membuat James melirik tajam dari kursi kemudinya. Mereka berdua dalam perjalanan menuju kantor setelah urusan dengan Nia dan Noah selesai. Sesaat setelah Isaac mendengar kabar bahwa Ariadne jatuh sakit, hal yang tak bisa Isaac hindari adalah perasaan khawatirnya terhadap wanita itu. Lebih tepatnya, Isaac seperti memiliki perasaan bersalah setelah mengatakan hal semalam. Ia khawatir, bahwa perkataannya membuat Ariadne tertekan. Namun apa yang ia lakukan sekarang justru bertolak belakang dengan perasaannya itu. Untuk sesaat Isaac menyesal, mengapa ia melontarkan gombalan seperti itu pada Ariadne. "Aku sedang tak ingin bicara denganmu, Isaac Thunder," ungkap Rie yang masih saja menyimpan rona kemerahan di wajahnya. Entah karena demamnya, atau ingatannya ketika bermimpi tentang Isaac beberapa saat yang lalu. Yang pasti, jika Isaac ada di hadapannya saat ini, pria itu pasti akan langsung salah paham. "Tapi aku ingin. Hari ini kau tahu apa yang terjadi dengan Noah dan Nia?" Mendengar nama kedua anaknya disebut, Rie langsung berdiri tegap tanda siaga. "Apa? Apa yang terjadi pada anak-anakku?" "Aku akan mengatakannya jika kau berkenan untuk makan siang hari ini denganku. Nanti aku sendiri yang akan menjemputmu." "Isaac...jangan main-main. Mana mungkin kau tahu di mana anak-anakku dan aku tinggal --" "Nona Ariadne...aku bahkan bisa menggali informasi bahwa kau belum menikah sejak kita berpisah, apalagi sekedar di mana sekolah mereka dan tempat tinggal kalian." "Ck..." Mendengar tawa kecil dari Rie tersebut membuat Isaac berpikir dalam. Ia penasaran apa yang lucu dari ucapannya barusan. "Sekarang kau bicara tentang melacak kehidupanku? Aku penasaran kenapa baru sekarang kau tertarik tentang kami setelah delapan tahun berlalu." Ucapan menohok dari Rie itu membuat hati Isaac seperti teriris sembilu. Ia tak tahu jika Ari yang ia kenal dulu benar-benar telah berubah. Isaac bahkan tak bisa membalas ucapan Ariadne barusan hingga Rie sendiri lah yang melanjutkan pembicaraan tersebut. "Baik. Makan siangnya biarkan aku yang menentukan tempatnya. Aku akan mengirimkan alamatnya lewat pesan." "A...Ari -" Panggilan pun terputus. Rencana yang Isaac pikir akan berjalan dengan mulus, tampaknya akan menjadi badai siang nanti. Kalau sudah begini, mau tak mau Isaac pun harus menghadapinya. Karena seperti keinginannya, ia ingin semua masalah ini terselesaikan dengan baik. "Saya akan turun di rumah sakit untuk menangani sampel ini," ungkap James yang berhasil menyadarkan Isaac dari lamunannya. "Huum. Kira-kira...berapa lama hasilnya akan keluar?" "Karena kita tak bisa mendapatkan sampel darah dan air liur, kemungkinan dari sampel rambut ini membutuhkan waktu sekitar tiga hingga satu minggu." "Usahakan jangan selama itu," ucap Isaac serius. "Karena aku benar-benar tak sabar untuk mengetahuinya."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN