Sepanjang perjalanan menuju Apartemen Amanda, Nana memilih mengunci bibirnya rapat-rapat. Wanita itu sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun. Amanda juga memilih untuk menunggu Nana bercerita sendiri tentang pria yang ditemuinya tadi dibanding memaksanya untuk bercerita.
Namun, sudah lebih dari dua jam Amanda menunggu Nana membuka bibirnya untuk menceritakan alasan wanita itu bersikap aneh seperti saat itu membuat kesabaran Amanda lenyap begitu saja. Amanda bukanlah tipikal orang yang sabaran. Mau tak mau, Amanda harus mendesak Nana bercerita, ia tidak tahan melihat sikap Nana yang seperti sekarang.
"Sampai kapan kau mau menjadi patung begitu?" sindir Amanda. "Kau tidak mau memberitahuku siapa pria hot yang tadi mengecup sudut bibirmu?" Amanda menanyakan pertanyaan itu sambil memakan kentang goreng yang berada di hadapannya.
Nana masih diam dan kepalanya masih belum berfungsi dengan baik. Pikirannya kembali berputar pada ciuman singkat yang diberikan Fabino di sudut bibirnya. Ciuman singkat, tapi memberikan efek besar pada fungsi otak dan jantung Nana.
"Na ... are you okay?"
“Nana ... Hei, Belina Carmella Rose! Kau mendengarku, tidak? Nana, please say something! Apa kita perlu ke dokter sekarang?" Amanda terlihat panik saat Nana hanya bergeming di tempatnya.
Nana menatap Amanda dengan tatapan yang sulit diartikan. Amanda diam, menunggu Nana mengucapkan sesuatu padanya.
"Dia pria yang membuatku patah hati," lirih Nana. Amanda menatap Nana dengan tatapan tak percaya. Ia baru tahu, jika sahabatnya itu pernah merasakan patah hati. Amanda pikir, Nana satu-satunya wanita yang mati rasa terhadap hal mengecewakan dalam percintaan seperti itu. Ia merasa gagal menjadi seorang sahabat.
"Kau patah hati karena pria itu? Kau pernah jatuh cinta padanya?" Nana menjawab pertanyaan Amanda dengan anggukan pelan.
Amanda menarik tubuh Nana ke dalam pelukannya. Ia tidak menyangka jika sahabatnya yang ia beri julukan wanita kecebong itu pernah merasakan jatuh cinta pada seorang pria. Setahu Amanda selama mengenal Nana, wanita itu tidak pernah berucap pernah jatuh cinta pada seorang pria. Nana hanya selalu mengatakan jika cinta itu omong kosong, tanpa cinta semua akan tetap baik-baik saja.
"Bagaimana bisa Fabi mematahkan hatimu? Apa yang telah ia lakukan?" tanya Amanda penasaran.
Nana menggeleng.
"Dia tidak melakukan apa pun. Aku yang salah paham akan sikapnya. Bukankah tidak seharusnya kita mengharapkan seseorang yang sudah milik orang lain?"
‘Cinta sepihak?’ batin Amanda.
"Lagi pula, aku rasa, aku juga tidak cukup pantas bersanding dengannya. Aku hanya wanita jalang yang berganti pria setiap malam. Dia terlalu suci untukku." Air mata menetes begitu saja dari rongga mata Nana saat ia mengucapkan satu kenyataan pahit mengenai kisah cinta tak sampainya dan jatuh cinta pada orang salah.
Nana menarik napas panjang kemudian mengembuskannya dengan berat, “Fabi adalah salah satu teman satu profesiku, tapi kami berada di agensi yang berbeda. Beberapa kali saat aku memulai karirku, aku bekerja sama dengannya dan saat itu kami mulai dekat. Dia pria yang begitu perhatian juga baik. Fabi sering kali menemaniku ketika aku mengeluh kesepian bahkan rela meninggalkan pekerjaannya ketika aku sakit untuk merawatku.” Nana memandang lekat Amanda sebelum meneruskan ceritanya.
“Aku menganggap semua perhatian dan perlakuannya padaku karena dia tertarik denganku. Semua tindakannya membuatku merasakan jatuh cinta untuk pertama kalinya pada seorang pria. Aku bahagia berada di dekat Fabi dan aku akan merasa begitu kehilangan ketika Fabi tidak ada untukku,”
“Aku bertekad untuk mengungkapkan perasaanku padanya, tapi semua tekad itu lenyap ketika aku mengetahui jika sebenarnya Fabi memiliki seorang kekasih. Kabar yang aku pikir hanya gosip belaka, tapi lambat laun begitu terlihat jelas kebenarannya,” ucap Nana dengan lelehan air mata di pipinya.
"Kau tahu? Ia berpacaran dengan Gabi. Salah satu juniorku di agensiku yang lama. Dia wanita yang baik dan terbilang jauh dari kesan b***h, like me! Wajar saja jika Fabi tergila-gila padanya. Mereka berdua terlihat begitu serasi. Aku akan menjadi wanita yang sangat jahat jika hadir di tengah-tengah mereka. Aku lebih memilih membunuh perasaanku ketimbang menjadi orang ketiga di antara mereka."
Selama ini, Nana begitu pintar menutupi kekecewaan yang tengah ia rasakan dari Amanda. Ia selalu terlihat tegar dan baik-baik saja. Nana begitu pandai merahasiakan kerapuhannya. Amanda menarik tubuh Nana kembali lagi dalam pelukannya dan mengelus rambutnya. Nana menangis tersedu dalam dekapannya, Amanda tentu bisa merasakan apa yang tengah Nana rasakan, karena kisah cinta yang dilaluinya ternyata tidak begitu jauh berbeda dengan kisah Nana.
"Aku memilih untuk pindah agensi dan berusaha keras untuk mengenyahkan perasaanku untuk Fabi. Aku menghindarinya, mencari pelarian atas rasa sakit hatiku. Aku bahkan berharap tidak bertemu lagi dengannya karena aku yakin luka itu akan terbuka lagi,"
"Tapi sepertinya Tuhan tidak mendengar do’a ku. Aku bertemu dengannya lagi tanpa sengaja dan dia dengan beraninya menciumku. Demi Tuhan, dia menciumku dengan santai. Aku rasanya ingin mati saja." Nana kembali lagi tersedu.
"Amanda, bantu aku untuk menghindarinya. Aku tidak ingin bertemu dengannya lagi. Aku ingin mengubah jadwal pulangku," rengek Nana pada Amanda.
"Kau tenang saja. Aku akan mengurus tiketmu. Aku juga akan menemanimu pulang. Berhenti menangis, Nana yang kukenal adalah Nana yang tegar dan kuat. Bukankah kau sendiri yang sering mengingatkanku untuk tidak menyalahkan perasaan yang ada. Aku yakin, suatu saat nanti kau akan bertemu dengan orang yang tepat dan di waktu yang tepat pula." Amanda berusaha menenangkan Nana.
****
Dua hari, Nana berada di dalam apartemennya ditemani oleh Amanda. Keberadaan Amanda di New York sedikit banyak membawa perubahan pada Nana. Wanita itu sudah mulai beraktivitas seperti biasa. Amanda rela mengabaikan deadline pekerjaannya yang telah menumpuk di Indonesia demi mengawasi dan menenangkan Nana terlebih dahulu. Namun, Amanda tentu tidak mungkin bisa terlalu lama tinggal di New York.
Hari ini, Nana akan mengantarkan Amanda untuk pulang ke Indonesia. Nana tidak bisa membiarkan sahabatnya itu berlama-lama menemaninya di sana, meskipun ia senang. Namun, mengingat Amanda adalah wanita karir yang memiliki banyak pekerjaan yang harus diselesaikan tentu Nana membiarkan Amanda pulang dan kembali bekerja seperti biasa.
Pesawat telah membawa Amanda untuk pulang ke Indonesia. Lantas Nana bergegas pulang ke apartemennya, ia ingin segera merebahkan tubuhnya di atas kasur. Nana memarkirkan mobilnya di pelataran depan halaman apartemennya. Ia memilih lewat depan bukan lewat basement seperti biasanya karena Nana akan mampir ke kedai kopi terlebih dahulu.
Wanita itu berjalan santai dengan segelas kopi hitam di tangannya. Namun, langkahnya terhenti begitu saja. Kopi yang tadinya hangat kini mendadak dingin. Pria yang dihindarinya tiga hari yang lalu, tiba-tiba muncul di hadapannya. Fabino Orlando, pria itu sebelumnya sudah berdiri menyandar di depan mobilnya sambil memainkan ponsel. Akan tetapi, ketika melihat Nana hendak masuk ke dalam lobby apartemen, Fabino lantas bergegas menyimpan ponselnya dan berjalan mendekati Nana. Kini Fabino berdiri tepat di depan Nana, menatap lurus ke kedua bola mata Nana. Wanita itu meneguk salivanya susah payah. Tubuh Nana menegang dengan sendirinya. Sebenarnya apa yang diinginkan Fabino darinya?