Nana tahu jika Samuel pasti begitu kecewa atas perlakuannya. Meninggalkan pria itu di tengah-tengah puncak gairahnya tanpa menjelaskan alasan apa pun. Sungguh Nana tidak bermaksud begitu, tapi keadaan tidak memungkinkan. Saat Nana tengah larut dalam ciuman panas bersama Samuel, tiba-tiba Kai datang dan membisikkan padanya jika Amanda tengah mabuk berat.
Kini Nana tengah berkacak pinggang menatap seorang wanita yang kepalanya terkulai di atas meja bar. Supermodel itu berdecak kesal, pemandangan yang selalu ia dapatkan ketika mengajak sahabatnya satu ini ke kelab malam. Wanita kejam, ketus dan pemarah itu sama sekali bodoh mengenai minuman beralkohol. Nana mendesah pasrah, jika tadi sebelum ia turun berjoget Amanda yang menasihatinya agar berhati-hati, tapi Nana lupa untuk mengingatkan balik Amanda untuk tidak banyak minum.
“Amanda memaksaku untuk memberikannya sebotol whisky. Ia meneguknya langsung dari botol dan berakhir seperti ini. Maafkan aku,” jelas Kai pada Nana.
“Kau tidak salah, Kai. Bukankah dia memang selalu mabuk, berapa pun porsi alkohol yang diminumnya,” ucap Nana.
“Sepertinya Amanda memang melakukannya dengan sengaja, agar kau lebih memerhatikannya. Kau datang ke Indonesia bukannya seharusnya menghabiskan waktu bersamanya, tapi kenyataannya malah sibuk mencari mangsa,” sindir Kai.
“Really? OMG! I’m sorry, my Manda. Aku begitu tidak peka ternyata.” Nana membelai puncak kepala Amanda, memandangnya dengan rasa bersalah.
“Kalian terlihat seperti pasangan lesbian. Sungguh bulu kudukku meremang,” ejek Kai.
“Tutup mulutmu, Kai. Aku tidak ingin orang lain mendengarnya dan mereka percaya akan candaanmu itu. Orang sudah tahu reputasiku tentu tidak akan akan percaya dengan ucapanmu, tapi bagaimana dengan wanita mabuk ini? Dia bahkan tidak pernah dekat dengan pria mana pun. Orang tentu akan percaya dengan mudah, jika Amanda Altakendra adalah seorang lesbian,” ucap Nana dan kemudian keduanya tertawa terbahak bersama.
“Sudah, bawa clutch bag-nya. Aku akan mengantar kalian berdua ke mobil.” Kai mengangkat tubuh Amanda dan Nana mengekor di belakangnya menuju parkiran.
*****
Nana menyiapkan sarapan pagi berupa sandwich dan juga s**u putih hangat. Terdengar dari dalam kamar Amanda suara erangan kesakitan. Nana bergegas masuk dan berdecak kesal saat melihat Amanda sedang menekan-nekan kepalanya dengan kuat.
“Apa yang kau lakukan, wanita bodoh? Kau ingin membuat dirimu tambah bodoh?” sindir Nana dan Amanda melirik Nana tajam.
Amanda mengacuhkan sindiran yang diucapkan Nana padanya. Ia lebih memilih mengetuk-ngetuk kepalanya. Nana berjalan mendekati ranjang dan menyodorkan segelas air putih dan sebuah pil pereda sakit kepala yang sudah disiapkannya di atas nakas, di samping ranjang Amanda.
“Minum ini dan jangan membantah. Berhenti mengetuk kepalamu, otakmu akan semakin bodoh jika kau terus melakukannya.”
Amanda segera meneguk pil serta air putih yang disodorkan Nana padanya.
“Kepalaku rasanya mau pecah,” keluh Amanda sembari mengurut pelipisnya.
“Bukankah kau sendiri yang memilih untuk melakukan tindakan bodoh itu? Sudah tahu tidak bisa minum alkohol terlalu banyak, kau malah menghabiskan satu botol whisky. Oh, demi Tuhan, Manda. Untung kau tidak mati.” Nana mengomel mondar-mandir di depan Amanda.
“Seorang pria menantangku menghabiskan sebotol whisky.” Nana menyimak ucapan Amanda.
“Jika aku mampu menghabiskan minuman k*****t itu, dia akan pergi menjauh dariku. Tapi jika aku tidak bisa menghabiskan minuman itu, maka aku harus tidur dengannya. Tentu saja aku tidak akan mau berakhir di ranjang dengan pria licik sepertinya dan juga karena tantangan konyol itu. Lantas aku meneguk minuman itu hingga tandas dan berakhir seperti ini.” Cerita Amanda mengenai insiden meminum sebotol whisky semalam.
Nana penasaran dengan pria yang menantang Amanda itu. “Kau kenal dengan pria itu? Siapa dia?”
Amanda menyandarkan kepalanya di sandaran kasur. “Aku tidak mengenalnya begitu dekat, tapi wajah pria itu sering aku lihat di majalah bisnis dan fashion. Kalau tidak salah namanya, Sam ---, Sam ... entahlah, aku lupa.”
Nana berdecak saat mendengar penjelasan Amanda padanya. Ternyata tebakannya benar, jika Samuel pelakunya. Pria yang memiliki reputasi bad boy kelas atas. Dengan modal wajah tampan serta kekayaan yang dimilikinya, Samuel mampu membuat para wanita bertekuk lutut dan mengejarnya serta mengikuti setiap kemauannya. Tapi nyatanya, semua itu tidak berlaku pada Nana.
Semalam Nana memang sama sekali tidak berniat untuk menghabiskan malam panas bersama pria itu. Nana hanya menggodanya, ia tidak ingin Samuel merasa pongah saat sudah bisa tidur dengan Nana. Pria itu terkenal sering berkoar-koar mengenai siapa saja yang sudah bergulat di ranjang dengannya.
“Dia mencarimu sebelum menantangku, karena aku tidak memberi tahu keberadaanmu. Kau mengenal dia?” tanya Amanda penasaran.
“Aku hanya sering mendengar namanya dan melihat wajahnya di majalah atau televisi. Beberapa waktu terakhir ini memang ia sempat menghubungi managerku untuk bertemu denganku. Tapi aku mengabaikannya. Aku tidak menyangka akan bertemu dia di Indonesia. Aku tidak tertarik pada pria sepertinya,” jawab Nana.
“Berhentilah berganti pria seperti kau berganti celana dalam. Kau tidak ingin imej sebagai wanita kecebong terus melekat padamu bukan? Kau harus mencari pria yang tepat, Na.” Amanda memberikan nasihatnya pada Nana.
“Pergi bercermin saja sana! Bukankah nasihat itu juga pantasnya ditujukan untuk dirimu sendiri!”
“Lebih baik kau makan sarapanmu ini. Aku tidak perlu mendengar omong kosong ke luar dari mulutmu lagi. Istrirahatlah dan nanti siang temani aku jalan-jalan,” ucap Nana dan ditanggapi gelengan oleh Amanda.
*****
Nana dan Amanda kini berada di Avenue Restaurant. Setelah menghabiskan waktu setengah hari untuk berbelanja dan jalan-jalan mengelilingi mall besar itu, mereka memilih untuk mengisi tenaga sebelum mereka pulang ke apartemen. Kedatangan Nana ke Indonesia tentu untuk menghabiskan waktu berbincang dan bergosip dengan Amanda. Lantas wanita itu tidak akan menyia-nyiakan waktunya lagi.
“Bagaimana dengan proposal yang kau ajukan untuk pembangunan resort di Belanda? Apa sudah ada balasan dari pihak Archelaus Corp?” tanya Nana membuka obrolan sembari menunggu kedatangan pesanan mereka.
“Sepertinya belum. Aku juga tidak begitu memedulikkannya. Deadline pekerjaanku menumpuk. Beberapa perusahaan asing, memintaku untuk bekerja menetap di perusahaan mereka dan tentu saja aku harus dengan tegas menolaknya,” jawab Amanda.
“Aku sudah bisa menebaknya untuk hal yang terakhir itu. Perusahaan ayahmu di Korea saja sama sekali kau tak pedulikan. Bagaimana mungkin kau mau bekerja untuk perusahaan orang lain.”
Pelayan datang menghidangkan pesanan mereka berdua. Nana memesan Beef Tenderloin Steak, sedangkan Amanda memesan Rib-eye Steak. Punch Orange Mint menjadi minuman pilihan mereka berdua.
“Apa yang akan kau lakukan ketika pulang ke New York?” tanya Amanda sambil memotong daging steaknya.
“Aku hanya akan melakukan photoshoot untuk salah satu majalah dewasa terbitan Mexico dan beberapa fashion show. Tidak ada hal yang mengesankan,” jawab Nana.
“Kau sendiri bagaimana? Apa pekerjaanmu masih menumpuk?”
Amanda menggeleng, “tidak juga. Hanya tinggal beberapa deadline yang harus aku selesaikan. Aku bisa saja menyuruh asistenku, Karin beserta tim, tapi entah kenapa rasanya tidak memuaskan. Jadi, lebih baik aku sendiri yang mengerjakannya.” kata Amanda.
“Wanita gila kerja. Kau harus mencari kekasih, aku takut kau benar-benar menjadi lesbian,” ucap Nana.
“Sialan! Aku wanita normal. Aku masih menyukai lawan jenis,” kata Amanda membela diri.
“Ya, yah. Aku percaya saja apa katamu. Aku berharap pria yang kau temui kelak bisa tahan dengan sikap mengerikanmu ini,” ejek Nana dan Amanda hanya berdecak mendengarnya.
Mereka berdua menikmati makanannya dengan tenang. Nana selalu puas dengan steak yang dihidangkan resto itu. Salah satu restoran yang menjadi favoritnya ketika datang ke Indonesia. Keheningan di antara Nana dan Amanda terusik ketika ada suara berat menyapa Nana.
“Belina? Aku tidak mungkin salah orang, bukan?” sapa seorang pria yang membuat Nana mendongak untuk menatap wajahnya.
Nana sontak langsung berdiri, ekspresi shock tercetak jelas di wajah cantik wanita itu. Nana memandang lekat pria yang menyapanya. Pria dengan tampilan kasual, hanya T-shirt putih, jaket hijau tua serta dipadu dengan jeans belel dan sepatu sneakers putih, membuat pria itu terlihat begitu memesona. Wajahnya, tentu saja pria itu masuk dalam top five pria tampan versi Nana.
Pria itu melempar senyuman manis yang mampu membuat jantung Nana berdetak dua kali lipat dari biasanya. Pikiran Nana mendadak rumit seperti benang kusut. Nana sulit untuk berpikir jernih saat ini.
“Kau masih mengenalku, bukan?” tanya pria itu ragu. Amanda menatap pria itu dan Nana bergantian. Nana tersenyum kaku, begitu ketara jika terpaksa. “Oh, Ten---Tentu, aku masih mengenalmu.”
Amanda mengernyitkan dahi, sangat tidak biasanya Nana bersikap kikuk di hadapan seorang pria. Amanda begitu penasaran dengan sosok pria yang berada di depan mereka itu. “Kau sudah lama di Indonesia? Berapa lama kau akan menetap di sini? Oh, aku senang sekali akhirnya bisa bertemu. Setelah sekian lama kita tidak bertemu.” Pria itu terus menerus bertanya dan Nana sama sekali tidak fokus mendengarkannya.
“Besok hari terakhir Nana di Indonesia.” Amanda membantu menjawab pertanyaan yang diajukan pria itu, saat menyadari jika Nana masih diam kehilangan fokusnya.
“Oh iya, perkenalkan aku Amanda, sahabat baik Belina.” Amanda mendadak bertingkah ramah dan Nana melayangkan tatapan sinis pada Amanda.
Pria itu menyambut uluran tangan Amanda. “Ah- namaku Fabino Orlando. Aku rekan kerja Belina. Aku juga salah satu model di New York, dulu kami sering bekerja sama dan dekat. Sangat kebetulan sekali, besok aku juga akan pulang ke New York. Aku akan naik pesawat dengan penerbangan terakhir.”
“Aku juga di penerbangan terakhir,” jawab Nana seadanya.
“Wah, aku yakin kita akan satu pesawat. Itu menyenangkan sekali. Aku ingin bercerita banyak denganmu,” ucap Fabino antusias yang hanya ditanggapi dengan senyum tipis Nana.
“Apa kau sedang bekerja di sini, Fabino?” tanya Amanda mencoba mencairkan suasana di antara mereka bertiga.
Fabino mengangguk antusias. “Aku sedang melakukan pemotretan sejak satu minggu lalu. Menyenangkan sekali bisa bertemu dengan kalian di sini. Sayangnya, aku masih harus menyelesaikan pekerjaanku,” jelas Fabino dan Amanda tersenyum tipis menanggapinya.
“It’s okay. Silakan lanjutkan pekerjaanmu,” kata Amanda.
“Baiklah, kalau begitu, sampai jumpa besok malam di airport, Belina. Aku akan menunggumu.” Fabino mendekat dan mengecup sudut bibir kanan Nana dengan santai. Supermodel itu terpaku dengan mata terbelalak. Pria itu berpamitan dan melenggang pergi meninggalkan Nana dan juga Amanda dengan langkah santai.
Amanda mengalihkan pandangannya pada Nana. Ratusan pertanyaan bersarang di kepala Amanda yang ditujukan pada Nana. Sikap Nana kali ini begitu berbeda dari biasanya.