“Terima kasih sudah menyelamatkan aku,” ujar Irza setelah napasnya mulai teratur. “Bisa tolong berhenti di persimpangan depan,” imbuhnya, merogoh tas untuk mencari uang yang hendak diberikan pada pengemudi mobil yang telah memberinya tumpangan sukarela.
Namun tidak ada jawaban dari pengemudi mobil, bahkan mobil terus melaju melewati persimpangan yang ditunjuk oleh Irza. Perasaan Irza kembali kacau setelah menyadari mobil memasuki gerbang tol yang semakin menjauhi jalanan menuju tempat kosnya. Laju mobil pun terasa semakin kencang membuat Irza harus berpegangan dengan jantung yang mulai bergemuruh lagi.
Irza tidak banyak bicara. Dia merapalkan doa dan memikirkan strategi melarikan diri paling jitu karena merasa nyawanya sedang terancam kali ini. Kalau begini kondisinya lepas dari mulut harimau masuk kandang buaya namanya. Benar dia berhasil melepaskan diri dari kejaran debt collector, tapi kini nyawanya sedang terancam di dalam mobil asing. Segala pikiran buruk memenuhi kepala Irza. Dia merogoh tasnya, mencari apa saja yang bisa dijadikan senjata keselamatan kalau-kalau pengemudi mobil berniat buruk padanya.
Tiba-tiba mobil bergerak pelan dan berhenti di tepi jalan layang. Sang pengemudi berdeham pelan lalu berkata, “keluar dari mobil sekarang!” Suara dalam dan terdengar dingin itu membuat bulu kuduk Irza berdiri.
“Tapi di sini sepi. Kamu manusia kan? Aku juga manusia. Sebagai sesama manusia harus saling memanusiakan,” ucap Irza. Omong kosong apa ini? Maki hati kecilnya detik itu juga.
“Kamu saya antar ke tempat yang lebih sepi?”
“Setidaknya antar aku ke rest area terdekat atau keluar dari tol.”
“Kasih saya alasan kenapa kamu tadi seenaknya memasuki mobil saya?”
“Tadi aku sudah jelasin kalau mereka orang jahat.”
“Kamu pikir saya percaya?”
“Dengan kamu membukakan pintu mobil dan menjalankan mobil sesuai dengan permintaanku, itu sudah bentuk rasa percaya kamu terhadap penjelasanku.”
"Kalau gitu keluar dari mobil ini, sebelum saya bertindak kasar!"
Irza kemudian berpura-pura menangis tersedu. Berharap mendapat belas kasih dari pengemudi mobil yang belum dia ketahui wajahnya, karena Irza duduk di bangku penumpang belakang. Irza tidak punya waktu untuk sekadar memerhatikan wajah pengemudi saat memasuki mobil beberapa saat yang lalu.
“Minimal antar ke tempat yang agak ramean dikit gitu. Tega amat jadi orang. Kalau nanti aku dijahatin di tempat sepi gini gimana?” rengek Irza.
Sang pengemudi menoleh dan menatap jengah pada Irza. “Itu bukan urusan saya! Keluar sekarang juga!” bentaknya tanpa ampun.
Bukannya takut, Irza justru gagal fokus pada pria di depannya ini. Ketampanan pria itu seolah menghipnotis dan mengambil separuh kesadaran Irza. Selama beberapa detik Irza hanya diam tanpa kata. Menatap kagum pada wajah tanpa cela sedikitpun. Gambarannya sangat sempurna dan tidak layak disematkan karakter buruk untuk wajah setampan itu. Detik berikutnya Irza merasa pernah melihat wajah itu, tapi entah di mana. Bentakan pria itu untuk yang kesekian kalinya membuat rasa kagum yang tadi sempat tercipta menguap begitu saja.
“Nggak mau. Meski hutang-hutangku segunung, tapi aku belum bosan hidup. Aku mohon jalankan lagi mobilnya dan antar aku ke tempat yang lebih ramai dan mudah menjangkau kendaraan umum. Aku janji akan melakukan apa pun kalau Tuan, Om, Bapak, Abang, atau Mas ini mau membantuku sekali lagi. Pleaseee…!”
Pria tadi tersenyum sinis mendengar penuturan Irza. Seolah tidak tertarik pada omong kosong yang disampaikan oleh Irza, pria tersebut keluar dari mobil lalu membuka pintu mobil penumpang dan menarik paksa tangan Irza supaya segera keluar dari mobilnya.
“Apa salahnya sih, cuma minta tumpangan? Aku bersedia bayar ongkosnya kok. Aku juga akan diam dan nggak akan mengganggu kamu.”
Setelah berhasil memaksa Irza keluar dari dalam mobil, pria tadi kembali masuk mobil dan hendak menjalankan kembali mobilnya. Irza menggedor kaca jendela mobil dan terus mengejar laju mobil tersebut sambil berteriak semampunya.
Tak lama kemudian mobil tadi tiba-tiba berhenti dan melaju mundur. “Kamu yakin mau melakukan apa pun kalau saya membantu sekali lagi?” tanya pria tersebut sesaat setelah menghentikan laju mobil tepat di samping Irza yang sedang mengatur pernapasannya.
“Iya, aku janji.”
“Baiklah kalau begitu,” jawab pria asing tadi kemudian mempersilakan Irza kembali masuk ke mobilnya.
Di jalan pria itu meminta Irza untuk menjelaskan dengan jujur dan detail persoalan yang membuatnya berakhir dikejar oleh dua laki-laki beberapa saat yang lalu. Irza tidak punya pilihan lain. Dia lalu menceritakan persoalan hutang yang tengah menimpanya pada orang asing yang telah membantunya sesaat yang lalu.
Mobil berhenti tepat di depan gang tempat kos Irza. Sebelum Irza keluar dari mobil, pria asing tadi memberikan sebuah kartu nama pada Irza.
“Saya tunggu besok jam sebelas siang di kantor. Kamu harus datang. Kalau tidak datang saya akan membuat hidupmu lebih sulit,” ancam pria tersebut setelah menyerahkan kartu namanya pada Irza.
Setelah mobil melaju kembali Irza membaca nama di kartu nama yang baru saja diterimanya. “Jerome Orlando?” ucap Irza menyebutkan sebuah nama.
“Dari tampang sih, oke. Tapi gue nggak yakin kalau dia pemilik mobil tadi. Lagian mana ada orang kaya nyetir mobil sendiri. Palingan juga dia sopir pribadi yang punya perusahaan Orland’s Group,” gerutu Irza sepanjang jalan menuju tempat kosnya.
***
Keesokan siangnya Irza mendatangi alamat perusahaan yang tertera di kartu nama dari pria yang membantunya semalam. Sebenarnya Irza malas berhubungan dengan orang asing yang tidak jelas menurutnya. Namun karena dia merasa berhutang budi maka dari itu di sinilah Irza berada kini. Di sebuah gedung berlantai 23 yang belum pernah dia datangi sebelumnya. Irza sengaja datang tepat waktu karena tidak ingin menimbulkan masalah baru dengan orang asing.
Irza masuk ke dalam gedung dengan perasaan tak menentu tapi berusaha untuk tenang. Dia menoleh ke sana kemari, membuang napas lega saat melihat lobi dalam keadaan sepi. Artinya dia tidak perlu takut bertemu dengan orang yang mengenalnya, terlebih lagi debt collector yang kemarin mengejarnya.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya seorang perempuan muda yang berjaga di meja resepsionis.
Irza mengangguk. Dia lalu menyerahkan kartu nama yang diterimanya semalam. “Saya ada janji jam sebelas siang,” ucapnya sopan.
“Oh, iya. Mari saya antar ke ruangan Pak Jerome,” jawab resepsionis tadi seolah mengerti siapa yang hendak ditemui Irza hanya melalui kartu nama yang diperlihatkan oleh Irza.
Irza kemudian mengikuti langkah resepsionis tadi sambil memerhatikan kartu nama yang tidak ada istimewa-istimewanya menurut Irza. Cuma sekadar kartu nama biasa. Ada nama terang, nama perusahaan, dan alamat perusahaan tapi tanpa nomer telepon. Irza memasukkan kembali kartu nama tadi ke dalam tas saat memasuki sebuah lift. Irza berjalan di belakang mengikuti langkah resepsionis yang mengantarnya. Kepalanya celangak celinguk melihat sekitarnya. “Sepi amat? Kantor apa kuburan?” gumamnya dalam hati.
Kedua bola mata Irza hampir terlepas dari tempatnya saat tatapannya menangkap papan nama yang berada di pintu berbahan baja yang berdiri kokoh di hadapannya. President Director. Irza mengeja dua kata yang ada di papan nama itu dalam hatinya.
“Di dalam ada sekretaris. Tunjukkan saja kartu nama yang tadi dan sampaikan saja kalau sudah ada janji.”
Irza mengangguk paham dan memasuki ruangan yang masih membuatnya bertanya-tanya dalam hati. Siapa sebenarnya orang yang akan ditemuinya siang ini? Dia berusaha meyakinkan hatinya dulu sebelum benar-benar memasuki ruang President Director.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya perempuan muda yang membukakan pintu untuk Irza.
Irza kemudian menunjukkan kartu nama yang tadi sudah disimpan di dalam tas. “Saya ada janji jam sebelas,” ujar Irza tenang.
“Silakan masuk. Mohon ditunggu sebentar ya, karena Pak Jerome sedang menerima tamu di ruang meeting.”
Irza duduk di sebuah sofa yang telah ditunjukkan oleh perempuan tadi. Melihat ke sekitar dan menangkap dengan jelas bahwa ruangan ini jelas menggambarkan tidak sembarang orang bisa masuk ke ruangan ini.
Ketika Irza sedang asyik melihat-lihat isi ruangan yang mampu memanjakan matanya terdengar suara gagang pintu ditekan dari arah luar dan suara derit pintu dibuka. Irza tidak berani menoleh sampai terdengar dentuman pelan suara pintu ditutup.
“Saya kira kamu tidak akan datang.”
Tubuh Irza nyaris membeku, suara dalam yang sangat khas itu membuatnya harus kesulitan menelan ludah. Irza memberanikan diri untuk menoleh. Seorang pria berpostur tinggi dan atletis sedang berdiri menatapnya tanpa ekspresi. Irza nyaris lupa caranya bernapas saat melihat pria yang sedang berdiri di hadapannya. Sebuah pertanyaan bodoh lewat di pikirannya, apa pria ini yang semalam membantunya? Apa dia bertransformasi hanya dalam waktu semalam? Perasaan Irza mengatakan pria yang membantunya memang tampan tapi tidak setampan pria yang kini sedang berdeham karena Irza terus menatap ke arahnya.
“Ha? Oh, iya. Tentu saja aku datang. Aku orang yang nggak suka ingkar janji,” jawab Irza sekenanya.
Pria itu tersenyum meremehkan. Dia melangkah ke tempat Irza dan dalam hitungan detik kini pria tersebut sudah duduk dengan penuh pesona di hadapan Irza.
“Saya Jerome,” ujar pria tersebut memperkenalkan diri.
“Irza,” jawab Irza kikuk menerima uluran tangan dari Jerome.
“Mau minum apa?”
Irza terkesiap, mendongak memberanikan diri menatap ke arah Jerome. “Apa aja boleh,” jawabnya gugup.
Jerome menghubungi sekretarisnya untuk memesan dua cangkir teh untuk tamu dan dirinya sendiri. Irza memutar otak. Dia penasaran, mencoba mencari tahu sesuatu yang daritadi berputar di kepalanya.
“Kalau boleh tahu, kenapa Pak Jerome meminta saya untuk datang ke sini?” tanya Irza sopan. Nada bicaranya tidak setinggi saat memerintah Jerome semalam.
“Saya akan menawarkan kerja sama yang menguntungkan untuk kamu. Anggap saja sebagai cara membalas budi karena saya sudah membantu kamu.”
Satu alis Irza terangkat, perasaannya mengatakan pria di hadapannya ini pasti punya rencana buruk untuk membalasnya. “Kerja sama gimana?” tanya Irza ragu.
“Kerja sama yang cukup mudah. Saya akan membantu kamu melewati masalah pelik soal hutang piutangmu di manapun, dengan satu syarat.”
“Apa syaratnya?”
“Jadi istri saya dan mengandung keturunan saya.”
“Gila!” Irza mengumpat pelan.
“Saya akan memberi waktu selama 2x24 jam padamu untuk memikirkan tawaran ini. Tapi satu hal yang perlu kamu ketahui, saya tipe orang yang tidak bisa menerima penolakan.”
What the f**k!!! Irza benar-benar mengumpat kali ini. Dia merasa sedang dijebak oleh pria bernama Jerome ini. Sedangkan Jerome seolah tidak memedulikan umpatan dan perubahan ekspresi Irza, melangkah menuju meja kerjanya. Dia mengambil sesuatu dari dalam laci meja kerjanya. Irza menatap was-was pada pergerakan tangan Jerome. Jantungnya berdebar tak karuan. Tiba-tiba saja sebuah pikiran buruk melintas di benaknya bahwa Jerome akan melakukan perbuatan kriminal padanya.
~~~
^vee^