"Hidup itu memang lebih banyak nggak adilnya apalagi untuk manusia tertindas sepertiku."
Arsen menoleh ke wanita cantik yang berjalan sambil memeluk sebelah lengannya di sepanjang pinggiran pantai Ancol. Rambut coklatnya yang berpotongan pendek bergerak-gerak tertiup angin. Dia hanya tersenyum dan kembali menatap ke depan. Belum jatahnya untuk menjawab karena setelah ini Shine yang bawel akan mencurahkan semua kekesalannya itu sampai tuntas.
"Tapi PHK modelan begini benar-benar sangat diskriminatif untuk orang-orang kecil sepertiku yang mungkin hanya mereka anggap sebagai remahan kerupuk yang bebas mereka injak sesuka hati dan tidak punya pilihan selain menerima. Menggunakan alasan yang sama sekali tidak masuk akal dan anehnya otak mereka yang pintar itu seakan-akan pindah ke lutut kalau sudah berurusan dengan hal begini. Jadi bego banget dan nggak bisa membedakan mana pegawai yang berpotensi menghasilkan laba perusahaan dan mana yang akan merusak nantinya. Mereka i***t!!!" Arsen terkekeh mendengarnya diikuti anggukan kepala setuju.
"Di mana-mana ya kalau seseorang sedang dicurigai melakukan kesalahan yang merugikan perusahaan maka mereka berhak melakukan tindak pengusutan dan mencari kebenarannya bukannya malah main hakim sendiri dan sok tahu sampai salah pecat seperti ini." Shine menoleh ke Arsen. "Apa kamu tahu berapa banyak kontrak iklan yang aku dapatkan selama sebulan ini murni dari usahaku sendiri tanpa harus melebarkan paha?"
Arsen tertawa mendengarnya dan semakin geli saat melihat kekesalan Shine. "Aku bisa menyumbangkan banyak keuntungan perusahaan di bandingkan wanita-wanita sialan itu!" Shine mendengus, melepaskan lengannya dan berdiri memotong jalan di depannya. "Tapi apa yang aku dapatkan?" ucapnya kesal. "PHK!! Sialan benget nggak sih!"
"Yeah, sialan memang mereka."
"THIS'S JOKE. BULLSHIT!!" umpat Shine tiba-tiba dengan kerasnya dan tangan terkepal membuat Arsen kaget dan untuk sesaat mereka menjadi pusat perhatian. Mungkin dikiranya, Arsen melakukan tindakan asusila sampai wanita di depannya ini mengumpat sepenuh tenaga. "DASAR ASOL--Hmmmmpp!!"
"Slow down, babe. Don't make me shy," bisik Arsen di telinga Shine yang dia bekap mulutnya agar berhenti mengumpat yang diangguki oleh wanita itu.
"Oke, maaf. Aku lagi emosi." Shine nyengir ke arahnya.
"Dimaafkan." Arsen mengacak rambutnya gemas.
"Boleh aku lanjutkan?" tanyanya kemudian. Arsen tertawa mendengarnya. See, Shine-nya yang sejak dulu bawel.
"Sure, asal tidak memakai umpatan kasar." Shine menganggukkan kepalanya kencang tanda setuju. Arsen melipat lengannya di d**a memandanginya lekat. "Hmm, aku hanya berpikir apa ini kebetulan atau memang aku punya firasat tidak enak sebelumnya karena kedatanganku kali ini jauh-jauh dari Inggris ternyata malah mendapati kenyataan kalau kamu baru saja terkena PHK. Yah, maybe, aku memang diutus untuk menjadi tempat sampahmu kali ini."
"HAHAHAHHAHA," Shine terbahak-bahak seraya memegangi perutnya. Arsen terkesima.
Selama ini Arsen tidak pernah memiliki masalah dalam hal pergaulan karena dia sosok yang welcome, penebar senyum yang bagi banyak wanita sebagai bentuk godaan manis, ramah dan friendly. Wajahnya tampan khas lelaki Asia dengan kulit kuning langsat yang diberkahi juga dengan bodi proposional, punggung lebar dan d**a sandarable. Tidak ada yang bisa menolak pesona seorang Arsen Marvello.
Dari sekian juta orang yang dikenalnya, Shine masuk dalam jajaran orang terdekat dan terpenting yang selalu dirindukannya karena memang mereka tidak menjalin hubungan lebih seperti kekasih. Tidak ada yang mencoba memulai karena mungkin terlalu nyaman berada dalam zona friendzone. Karena senyuman Shine selalu mampu menghadirkan sebentuk senyuman lebar di wajah Arsen setiap melihatnya. Wanita dihadapannya ini punya aura menghipnotis dan juga menular.
Salah satu wanita cantik memukau yang tawanya tidak ada anggun-anggunnya sama sekali dan hebatnya dia sama sekali tidak peduli dengan hal itu. Wanita yang bisa berubah selembut anak kucing tapi diwaktu yang lain bisa segarang macan betina. Arsen masih saja kagum dengan kekuatan tidak terduga seorang Shine Aurora.
"Sasha akan sangat senang mendengarnya. Setidaknya kedatanganmu akan mengurangi bibirnya yang menggerutu karena meladeni omelanku."
Gantian Arsen yang tertawa. "Oke, lanjutkan omelanmu tadi."
Shine malah menggelengkan kepalanya. "Tiba-tiba aku capek. Aku sadar mengomel panjang lebar seperti tadi tetap tidak akan membuat semua ini terasa seperti mimpi semalam. Besok toh aku akan tetap mendapati kenyataan kalau aku sudah dipecat. Menyebalkan, bukan?"
"Yeah. Bagaimana kalau es krim?" tunjuk Arsen ke arah salah satu penjual es krim tidak jauh dari mereka dengan alis terangkat. Shine menoleh ke belakang lalu kembali menatapnya dengan senyuman lebar dan tanpa terduga langsung menarik lengannya agar mengikutinya mendekati penjual es krim yang sibuk melayani anak-anak kecil pecinta es krim.
Yeah, Shine seorang es creamlovers.
"Lumayanlah habis di pecat dapat es krim gratisan," desah Shine saat mereka sudah mendapatkan pesanan es krim masing-masing dan memilih duduk di salah satu bangku kosong menghadap ke arah cakrawala. Shine menjilati es krim coklat versi jumbo di tangannya dan bersemangat menunggu momen matahari terbenam.
Sudah setahun mereka tidak pernah bertemu karena Arsen sibuk menyelesaikan kuliahnya di Oxford University.
"Itu terdengar mengenaskan bagi telingaku, Shine." Gantian Shine yang tertawa. "Apa kamu juga butuh balon?" Tanyanya seraya terkekeh.
"Tidak. Aku lebih tergiur melihatmu menari ballet di sini." Tawa Arsen pecah membuat senyuman Shine semakin lebar lagi.
Shine senang ada seorang Arsen di sisinya saat ini. Setidaknya saat cobaan hidup sedang melandanya, dia ditemani oleh seseorang yang sudah lama dirindukan kepulangannya. Hidup sebatang kara satu tahunan ini setelah kepergian Abi membuat Shine kesepian. Di rumah, dia hanya ditemani oleh Minnie, kucing kesayangannya. Setelah tidak berhasil menemukan Abi di Jerman seperti informasi yang dia dapatkan, Shine pasrah. Tabungannya sudah terkuras banyak untuk membiayai perjalananya dan Sasha ke luar Negeri itu setelah menolak bantuan dari Arsen. Tentu saja Shine tidak mau merepotkan walaupun lelaki itu memiliki uang yang berlimpah.
"Aku akan mencarikan lowongan pekerjaan untukmu selama di sini."
Shine mengerutkan alis. "Aku yakin kepulanganmu ke Indonesia untuk berlibur bukannya malah merepotkan diri mencarikan wanita kesepian ini pekerjaan baru."
"Aku tidak mau dibantah terus Shine," ucap Arsen tegas.
"Kamu memang pemaksa yang menyebalkan," gerutunya. Arsen tersenyum mendengarnya dan melihat Shine meluruskan kakinya dan menatap jauh ke depan masih sambil menikmati esnya. "Untuk sementara aku akan merecoki Sasha di cafenya. Kamu tenang saja."
Arsen tertawa. "Oke, baiklah. Aku akan menunggu momen saat akhirnya Sasha mendepakmu keluar dari cafenya karena terlalu bar-bar dalam melayani pengunjung yang lebih banyak menggodamu."
"Ah sial." Shine merengut. "Aku selalu benci lelaki perayu bermental buaya." Shine menoleh. "Kamu benar. Aku tidak akan tahan di sana tanpa melempar wajah seseorang dengan barang pecah belah."
"Kamu menakutkan," Arsen bergidik.
Shine menyeringai dan memeletkan lidahnya. "Itu hanya berlaku untuk lelaki buaya, sayang."
"Makanya cari pacar sana supaya kelakuanmu sedikit lebih elegan."
Senyuman di wajah Shine memudar. Mencari kekasih belum ada dalam daftar impiannya saat ini karena yang terpenting baginya adalah menemukan Abi bagaimanapun caranya.
"Jangan bersedih seperti itu." Arsen menoyor jidatnya. "Jelek!"
"Ah resek!!" umpat Shine dan menarik telinga Arsen.
Lalu mereka tertawa bersama, mengobrol lagi panjang lebar dan menghabiskan es krim mereka sambil memandangi matahari terbenam di kejauhan. Arsen membiarkan saja ketika akhirnya kepala Shine terkulai ke bahunya dan tertidur di sana. Arsen menghela napas, menarik Shine dalam pelukannya lalu diam memandangi bintang yang perlahan muncul di langit.
Shine dan kebiasaan buruknya. Tidur sembarangan tidak peduli dengan siapa yang ada di sekitarnya. Untung saja selama ini Arsen yang selalu setia meminjamkan bahunya. Dalam sekejap, dia mulai mengenang semua hal yang dulu pernah mereka lakukan.
Tapi pada satu nama yang saat ini menghilang begitu saja entah ke mana tanpa kabar, senyumannya menghilang. Shine sama sekali tidak tahu kalau Arsen juga berusaha keras untuk mencari Abi selama masa kuliahnya.
Lalu desahan panjangnya terdengar bersamaan dengan ungkapan kerinduannya yang diucapkan dengan lirih seraya memeluk erat Shine dan meletakkan kepalanya di atas kepala wanita itu.
"Abi, pulanglah. Kami merindukanmu."
***
Flashback On
Zafier tidak mempedulikan wanita-wanita di sekitarnya yang mencoba untuk menarik perhatiannya karena tatapannya saat ini terkunci pada seorang wanita bergaun merah seksi yang duduk di salah satu sofa tidak jauh darinya dengan gaya congkak sadar kalau hampir semua lelaki menatapnya lapar. Dia menonjolkan belahan dadanya yang padat berisi yang begitu menggairahkan bahkan saat dilihat dari jauh sekalipun dan perlahan manik matanya turun menyusuri kaki jenjangnya yang terekspos jelas.
Sangat cantik dan sexy.
Zafier turun dari duduknya di depan meja bar dan dengan langkah mantap berjalan mendatanginya bersamaan dengan seorang lelaki yang tidak jauh berbeda dengannya juga berjalan ke arah yang sama.
Sampai akhirnya mereka berdua berdiri bersisian di depan wanita itu yang nampak kaget dengan kedatangannya.
"Siapa kau?" Lelaki itu nampak tidak senang dengan keberadaannya.
Zafier dengan gaya santai, memasukkan kedua telapak tangannya ke saku celananya mengedip genit ke wanita seksi itu yang langsung tersipu sebelum menjawab. "Aku? Apa itu penting bagimu?"
Lelaki itu mendengus, "Tidak ada yang boleh memiliki Helena selain aku."
Zafier terbahak mendengarnya membuat lelaki itu menyimpitkan mata. "Really? Aku melihatnya sejak tadi sendirian di sini dan kau datang-datang mengaku sebagai pemiliknya. Oh lihatlah, dia burung yang bebas di sini." Zafier tersenyum menggoda ke Helena. "Iya kan sayang?"
Helena berdiri dari duduknya merasa di atas angin karena diperebutkan dua lelaki tampan. "Oh boys, kalian berdua manis sekali." Lalu berjalan mengelilingi mereka dan dengan sengaja mengelus d**a mereka bergantian dengan gaya sensual. "Tapi malam ini aku hanya ingin bersama satu laki-laki bukannya dua."
Zafier tersenyum smirk dan berdiri menantang saat laki-laki itu mendekatinya dengan tatapan tajam.
"Kau seharusnya mundur sekarang juga sebelum aku melakukan sesuatu yang akan membuatmu menyesal nantinya. Seorang Martin Allison tidak pernah mendapatkan penolakan. Menjauhlah karena Helena akan berada di atas ranjangku malam ini." Lalu tangannya menarik lengan wanita cantik itu untuk merapat ke tubuhnya.
Zafier menaikkan alisnya dan menyadari dengan siapa dia sedang berhadapan. Dalam dunia bisnis, nama Allison memang tidak asing karena merupakan salah satu perusahaan teknologi yang sudah tenar. Secara tidak langsung Martin adalah rivalnya dalam berbisnis dan ironisnya mereka malah bertemu dan saling bertatapan tajam saat memperebutkan wanita malam yang akan diajak bergelut semalaman.
Zafier ingin sekali tertawa tapi tidak dia lakukan karena tahu hal itu hanya akan membuat seorang Martin merasa dipermalukan dan semakin marah.
"Ah, terhormat sekali bisa bertemu dengan pemilik Allison Coorporation di club malam seperti ini bukannya di dalam salah satu ruangan tertutup dengan pakaian formal dan membicarakan bisnis. Kalau begitu perkenalkan, aku Zafier Gaster. Mungkin kau pernah mendengarnya di suatu tempat."
"Zafier," ucap wanita itu dengan tatapan binar yang dibalas Zafier dengan memberikan kiss jauhnya. Tentu saja hal itu membuat Martin geram.
"Pemiliki perusahaan Gaster yang baru merintis usahanya di Indonesia." Martin terlihat memperhatikan penampilan Zafier secara keseluruhan dengan tatapan sinis mungkin sedang menilai lawannya. "Kalau begitu, kau termasuk pendatang baru di sini. Jadi lebih baik menyingkirlah dari hadapanku karena ini wilayahku."
Zafier sama sekali tidak bergerak dari tempatnya dan balik menatap tajam. "Sangat arogan sekali. Tidak ada peraturan yang menjelaskan hal itu. Ini bisa diibaratkan seperti berbisnis. Mungkin perusahaanku masih merangkak pelan-pelan tapi bisa jadi suatu saat nanti kita akan berdiri sejajar. Lagipula, perusahaanku sudah lebih dulu besar namanya di luar Asia sedangkan perusahaanmu masih mencoba pasar luar. Jadi-'' Zaf menarik lengan Helena untuk merapat ke tubuhnya. "Siapa bilang aku tidak punya hak yang sama denganmu dalam memiliki kehangatan wanita ini?"
Tidak peduli kalau banyak yang memperhatikan mereka dan hingar bingar suara musik yang menggema di kejauhan karena posisi mereka yang memang berada di area lebih privasi dan pastinya wilayah kalangan kelas atas.
Martin menahan satu lengan Helena begitu juga Zafier dan mereka saling berlemparkan aura permusuhan.
"Aku yakin kau hanya pecundang, Zafier. Saat ini Tender milik perusahaan Franklin yang sedang berlangsung pasti akan dimenangkan oleh perusahaanku dan kau bersiaplah untuk kalah. Begitu juga dengan malam ini karena Helena akan bersamaku."
Zaf terdiam, memperhatikan seringaian meremehkan Martin hingga membuat egonya seketika terusik. Lelaki arogan seperti dia memang harus di lawan.
"Kalau aku menang maka bersiaplah untuk mengakui kekalahanmu sendiri, Tuan Martin Allison."
"Yeah, seandainya saja bisa," sindirnya.
"Kita lihat saja nanti," Zafier balas menantang. Sementara sejak tadi, Helena hanya diam mendengarkan dua lelaki di masing sisinya bedebat.
"Oke, kalau begitu aku akan memilih," ucapnya akhirnya membuat keduanya sontak menoleh ke arahnya.
"Oke sweety," ucap Zafier sementara Martin diam dengan geram. Helena menarik lepas cekalan tangan mereka dan mundur lalu memandangi keduanya dengan senyuman menggoda.
"Aku akan mencium lelaki yang akan membawaku pulang." Helena berputar-putar di sekitar Martin dan Zaf yang menunggu lalu tanpa terduga Helena mengalungkan lengannya di leher Zaf dan menempelkan bibirnya yang langsung saja dibalas Zaf dengan agresif seraya menarik tubuhnya semakin rapat.
"Kalian akan menyesal," geram Martin penuh amarah kemudian berlalu pergi dari sana. Zaf menatap punggungnya yang berjalan menjauh masih sambil membalas pagutan bibir Helena.
Flashback Off
***