"Liona udah balik?"
Aga mengerutkan dahi tidak menyangka mendengar penuturan Meylira. Padahal sebentar lagi Natal dan akan mereka rayakan. Aga ingat bahwa Liona bilang jika ia masih berada di Paris sampai tahun baru. Namun, tiga hari setelah ia berkunjung dengan Jessica, Liona ternyata sudah kembali ke Indonesia. Bahkan ia tidak tahu jika wanita itu pergi begitu saja.
"Dia nggak bilang ke kamu, Ga?" tanya Jessica yang ada di sampingnya.
Aga menggeleng dan raut wajaah itu benar-benar meyakinkan Jessica bahwa memang Aga tidak tahu apa pun.
"Liona sih bilang ada urusan mendadak gitu. Jadinya dia pulang, padahal sayang kan ya besok Natal. Waktu itu sih aku udah bilang suruh pamit ke kamu juga, tauk deh habis itu Evanders yang anter ke bandara. Aku lagi ribet sama anak-anak waktu itu."
"Enggak ada notif apa pun di hape Aga, ya kan ya?" Jessica ikut masuk ke dalam obrolan. "Padahal kita udah bawain sesuatu dadi Swiss." Wanita itu mulai menunjukkan beberapa paper bag dan menyerahkannya ke Meylira.
"Ya ampun repot-repot banget. Makasih ya .... mungkin nanti aja kali punya Liona di kasih waktu kalian pulang ke Indo. Kalian pasti ketemu kan? Punya nomernya kan?"
Aga mengangguk samar, walau tidak tahu aoakah mereka bisa bertemu lagi atau tidak. Setelah itu Aga dan Jessica pun tetap bertamu seperti biasa ke rumah Evanders. Dapat dilihat, Jessica dan Meylira sudah cukup akrab dan melakukan kegiatan bersama. Sementara Aga, ia justru memikirkan Liona.
Nalurinya merasa bahwa Liona tidak baik-baik saja atau semua ini hanya perasaannya saja? Aga terdiam dan lama-lama menepiskan semua perasaan itu. Tidak seharusnya malam yang membuat hatinya damai menjadi sedikit resah hanya karena memikirkan Liona? yang sialnya seakan menarik perhatian pria itu.
*********
Biasanya ia sudah berkumpul bersama keluarga, biasanya ia akan tersenyum dan berbgi canda tawa. Namun, hari ini semua tampak berbeda.
Ada ketakutan yang mulai menyergap, ada keresahan merasuk ke dalam jiwa. Liona mengeratkan genggaman pada jaket seorang pria saat langkahnya masuk perlahan ke sebuah gang-gamg jalan padat penduduk.
Matanya selalu awas namun terlihat sendu dan pasrah. Degup jantungnya jangan ditanya lagi, sudah berdetak dua kali lipat dari biasanya. Terik siang di Jakarta yang cukup menyengat membuat peluh itu bercucuran.
Liona tidak pernah menyangkan bahwa ia berada di titik ini. Titik di mana ia mencari Alvin dan kembali menjilat ludahnya. Bukan, bukan Liona ingin kembali dengan Alvin.
Namun, ada sesuatu yang mencoba mengikatnya dan Liona baru sadar itu. Hal yang saat ini justru akan menjadi perkara buruk seumur hidupnya saat pria itu, yang berjalan lebih dulu darinya mengatakan satu kalimat yang menyakitkan.
"Alvin ...." Liona yang waktu itu baru sampai di Indonesia langsung meluncur ke apartemen Alvin.
Kini ia berdiri di balik pintu unit apartemen pria itu dengan hati cemas. Andai ia tidak mampu menahan emosi,air mata itu sudah mengalir sejak tadi.
"Alvin ... Alvin ...."
Klik!
Sosok pria yang tampaknya baru bangun atau apa pun itu sudah berdiri di depannya. Alvin cukup terkejut melihat kehadiran Liona yang mendadak setelah satu minggu wanuta itu menghilang bak di telan bumi.
"Lo masih idup? Gue pikir udah mati? Mau apa lo ke sini?" Alvin yang mungkin tidak melupakan emosinya saat bertengkar dengan Liona masih terlihat angkuh.
Ia bahkan mengerutkan dahi saat melihat Liona membawa kopernya saat itu.
"Alvin, aku ... aku mau ngomong."
"Ngomong apaan?"
Liona masih terdiam, bibirnya seakan berbicara namun masih mengatup rapat. Ada kegelisahan di raut Liona yang akhirnya membuat Alvin sadar. Ia lantas menarik wanita itu untuk masuk ke dalam apartemnnya terlebih dahulu.
"Kenapa deh?"
Liona yang sudah masuk dan masih ada di sekitar ambang pintu itu mulai mengeluarkan sesuatu dari dalam tas kecilnya. Wanita yang sudah memucat itu menyerahkan dua benda ke arah Alvin yang masih, tetapi tetap menerimanya.
Alvin menatap dua benda kdcil itu di tangan. Berawal tidak sadar akan apa yang diserahkan berujung terkejut bukan main. Matanya melotot dan langsung menatap ke arah Liona yang menunduk.
"Lo hamil?"
Liona tidak bernai menjawab dan hanya emnganghuk berani. Hingga, sebuah genggaman erat berada tepat di bahunya dengan cukup erat.
"Lihat gue! Lo hamil? Hah? Ini apa? Lo beneran hamil? Liona!"
"Iya, aku hamil! Aku baru sadar itu!"
Kabar itu cukup mengejutkan Alvin dan bahkan tidak disangka-sangka. Ia masih menatap Liona dari atas hingga bawah. Alvin sadar dan mengakui jika itu hasil perbuatan mereka yang memang tidak hati-hati waktu itu.
Albin ingat saat tidak lagi memakai pengaman saat bermain dengan Liona. Namun, ia tidak menyangka bahwa semha ini dapat berimbas panjang.
"Terus lo nyari gue? Setelah satu minggu hilang nggak ada kabar? Bukannya kita udah putus? Lo mutusin gue kan? Terus ngapain lo di sini? Mau minta tanggung gitu? Lo pikir gue mau tanggung jawab?"
Deg!
Liona langsung menatap Alvin tidak percaya. Meskipun memang ia sudah menyangka akan seperti ini, tetapi cukup terdengar sakit saat bertatap langsung.
"Ini anak kamu, kamu harus tanggung jawab, Vin. Aku ...." Liona meggantungkan ucapannya seakan sulit untuk mengeluarkan kalimat lanjutan. Ada rasa sesak, kesal dan emosi tertahan. Namun, apa daya semua itu tidak mampu lagi ditepis sebab ada kehidupan yang berasal dari darah daging pria di hadapannya itu.
"Aku minta maaf, Vin, soal waktu itu. Aku minta maaf udah marah-marah ke kamu dan mutusin hubungan kita. Aku minta maaf, tapi ... kamu mau kan tanggung jawab? ini anak kamu, Vin."
Saat air mata itu akan jatuh, Liona justru melihat Alvin bersedekap dan menatalnya tanpa tau arti sorotan itu. Cukup lama tanpa teguran apa pun, hingga ia mendekatkan kepalanya ke sisi telinga Liona.
"Gugurin!"
Deg!
Jantung Liona terasa sudah lepas dari tempatnya. Aliran oksigen dalam tubuh juga seakam hilang dan membuat Liona kehabisan napas, sesak. Tangannya sudah dingin dan kepala itu terasa pusing.
"Gu--gugurin? Alvin kamu ... ini anak kamu. Vin, kita bisa lanjutkan pertunangan dan menikah kan? Kamu belum bilang orang tua kamu tentang pertengkaran kita kan? Aku yakin kamu belum bilang. Ya kan?"
"Gue memang belum bilang apa-apa sih sama keluarga. Tapi gue nggak mau anak itu sekarang! Terserah kalau lo mau mertahanin ya urus aja sendiri!"
Hati Liona semakin sakit saat pria itu berbalik meninggalkannya. Ia tanpa rasa malu dan mungkin harga diri yang terinjak langsung mengejar Alvin. Ia berlurut dan memegang kaki Alvin.
"Alvin, please, aku minta maaf soal waktu itu. Aku nggak mau gugurin anak ini. Please."
Alvin yang masih terdiam lantas mengeyahkan Liona dengan kasar.
"Lo kalau gini aja lariya ke gue. Coba satu minggu kemarin ke mana? Hilang tanpa jejak cuman gara-gara gue sama Grace! Sekarang udah begini aja lo minta tanggung jawabnya ke gue!"
"Aku mohon, Vin. Jangan gugurin, aku minta maaf."
Alvin yang jengah mendengar itu terus menerus akhirnya berjongkok dan menatap Liona yang sudah menangis sesegukan. Ia lantas meraih rahang Liona dengan tangan kekarnya dan sedikit menekan di bagian itu.
"Ck! Makanya jangan sok hebat deh lo mau pergi dari gue! Sekarang lo malah jilad ludah lo sendiri kan? Sok sih lo! Gue juga bilang apa!" Ada gelak tawa di sana seakan tidak sama sekali berdosa. Tulang rahang Liona sudah sakit saat semua berubah menjadi cengkeraman kuat.
"Dengerin gue! Gue tetep nggak mau anak itu. Kalau pun lo maksa lahirin, gue nggak akan pernah mau ngakuin kalau itu anak gue! Paham lo!"
Alvin kembali menghempaskan tubuh Liona dan meninggalkannya. Keputusan itu sudah bulat dan Liona tidak mampu berbuat apa pun.
Ingatan itu membuat ia hampir meneteskan air mata. Andai ia tidak memikirkan keluarganya, reputasi sebagai dosen, semua akan ia pertahankan.
Namun, ia tidak ingin menyushakan keluarganya saat tahu ia hamil di luar pernikahan. Ia tidam ingin semua itu sampai terdengar ke pihak kampus.
"Vin." Liona mulai berhenti mendadak saat langkah mereka hampir saja sampai.
"Kenapa? Ayo, udah deket tuh di depan, keburu malem."
"Aku takut, Vin. Pulang aja ya?'
Alvin yang sudah kepalang tanggung tidak menggubris ucapan Liona. Pria itu kembali menarik pergelangan tangan Loona dan kembali berjalan ke arah rumah yang di yakini biasa membuka jasa untuk menghilangkan janin itu.
Tidak ada rasa iba bahkan tidak peduli bahwa itu anak kandungnya, Alvin harus melenyapkan janin itu dari rahim Liona.
Sementata Liona tak berhenti menangis dan benar-benar takut saat ini. Namun, ia hanya bisa pasrah dan tidak mampu melawan Alvin seperti biasanya.