TAKDIR MEMPERTEMUKAN

2215 Kata
Pukul sembilan malam, Aga mulai memasuki sebuah kawasan bar and lounge yang terletak di bilangan Jakarta Selatan tepatnya di daerah Kemang. Suasana tempat itu cukup ramai sebab memang masih dalam suasana pembukaan awal. Biasanya harga yang tertera masih dibilang promo besar-besaran sebab masa perkenalan dengan tempat dan rasa. Exotic Bar and Lounge menjadi nama tempat ini. Kini Aga masih berada di depan dekat dengan security dan mengambil ponsel untuk mengabarkan kedatangannya pada James. "James, where are you? Saya di depan, dekat dengan security." "Oh, okay. Tunggu saya, I pick you up." Sebuah deheman mengakhiri panggilan singkat itu. Aga menunggu sembari menelusuri notifikasi ponselnya. Hingga, beberapa menit berlalu pria bertubuh tinggi itu menyapa Aga. "Hay, Bro. Lama tidak jumpa. Ayo ...." James lantas mengajak Aga untuk masuk ke dalam. Meskipun memang pria itu sedikit terlambat untuk datang, tetapi James cukup senang Aga menepati janjinya. "I thought you canceled to come here." "Saya sudah berjanji, James. Mana mungkin diingkari begitu saja. Hanya saja tadi sedikit ada kesibukan, so I'm late." "It's okay, Alex. No problem. Ayo saya tunjukkan bagaimana tempat ini." Hanya sebuah senyum yang diberikan Aga. Ia lantas meneliti seluruh bangunan baru ini. Gedung yang terdiri dari tiga lantai menyajikan hal baru di daerah ini. Di mana lantai dasar dikhususkan untuk kafe biasa tanpa adanya unsur alkohol yang menyertai dan tidak ada batasan usia untuk menikmati hidangan di lantai satu itu. Langkah kaki Aga berbelok agak sedikit ke ujung dan menaiki lantai dua, di tempat itu terdapat ruangan dengan beberapa sofa di tepi-tepi dan tengah ruangan. Di ujung terdapat stand bar dengan bartender profesional yang siap memanjakan pengunjung dengan berbagai racikan minuman beralkohol ataupun non alkohol. Di sisi kiri, ada stand khusus untuk live musik atau semisal jika ada yang menyewa untuk mengadakan acara. Harga yang tertera juga cukup terjangkau oleh kalangan menengah dan terbilang wajar. James menjelaskan semuanya pada Aga tentang bagaimana struktur bangunannya hingga bisnis yang dijalankan. Seolah Aga tengah melakukan tour untuk mengetahui seluk beluk usaha yang di dirikan James. Aga pikir mereka akan berhenti pada lantai dua saja. Namun, ternyata James mengajak Aga untuk naik lagi ke lantai tiga. Di lantai ini cukup mengagumkan mata Aga. Desain interior super mewah dengan stand di depan untuk para DJ cukup terasa exclusive. Warna ungu dipadukan hitam juga sangat elegan. Di ruangan ini bahkan tidak terdapat banyak sofa dan James juga menjelaskan bahwa di tempat ini memang dikhususkan untuk member VVIP, sebab harga masuk yang cukup tinggi dan beberapa makanan serta minuman yang juga memiliki harga selangit tidak mungkin untuk kalangan biasa. Tatanan tempatnya benar-benar sempurna. Suara dentuman Dj menggema di seluruh ruangan, tetapi cukup nyaman diterima. Bagusnya suara Dj ini terdengar samar jika dari lantai dua. Cahaya yang dipancarkan juga hanya berasal dari permainan lampu seiring permainan Dj dilantunkan ditambah beberapa penunjang pada dinding. "This room so wonderfull, James. Good job." "I've been thinking about this place and finally my wish has come true. I think you agree with this ...," ujar James bangga dengan hasil karyanya yang menjadi kenyataan. "Ya, I don't doubt your taste. Ini sangat menarik dan terlihat sangat exclusive." Setelah itu, James akhirnya mengajak Aga ke sebuah tempat di mana sudut itu memang cukup strategis. Terdapat tiga buah sofa super empuk dengan meja persegi di depannya. "Guys, this my bestfriend. His named Alex." James mulai memperkenalkan Aga pada teman-teman James yang berjumlah tiga orang dengan dua perempuan dan satu laki-laki. "Hay, Alex. Nice to meet you," sapa mereka kompak. Aga melesungkan senyum sembari mejabat setiap uluran tangan di depannya. Mereka semua tampaknya bukan berasal dari Indonesia atau mungkin warga negara asing yang sudah menetap di Indonesia. Sapaan ramah dan hangat menyambut Aga, bahkan perlakuan mereka membuat pria itu tidak merasa canggung. Jika diperhatikan, di lantai ini memang semua yang datang cukup memiliki penampilan rapi, lebih ke arah semi formal. Seperti dirinya saat ini yang mengenakan blazer dipadukan dengan kemeja dan bawahan jeans. Suasana yang tidak terlalu ramai dan cenderung tenang membuat Aga bisa memerhatikan setiap tingkah laku pengunjung yang datang. "This is spesial drink from this lounge. You must try," ujar James yang mengulurkan satu gelas cocktail pada Aga. "Thank you, James." Aga pun segera meneguknya sedikit demi sedikit. Rasa yang memang cocok di lidah. Sensasi asam dan manis yang bercampur menjadi satu melebur menciptakan rasa yang unik. Aga memperhatikan sekitar dan semakin lama terlarut dalam suasana di dalam lounge itu. Beberapa kali juga turut bergabung dalam perbincangan dengan teman James yang membuat Aga mengetahui latar belakang orang-orang di sekitarnya. Pantas saja lantai ini dikhususkan oleh para VVIP, sudah dikatakan bahwa harga yang tertera bukan main-main. Teman-teman James juga bukan pengangguran yang kebetulan mampir ke tempat ini. Mereka semua pengusaha yang cukup hebat di negara masing-masing dan kebetulan berada di Indonesia untuk berlibur. "More, masa hanya dua kali. Minum lagi, anggap saja semua ini perayaan untuk suksesnya pembukaan bisnis saya." "Saya sudah jarang minum, James. I'm not very comfortable if I drink more." "One more again, please." Aga menyerah dan akhirnya mengambil satu sloki lagi untuk menenggak wine yang tersedia di meja itu. Pria itu memang tidak terlalu biasa menenggak alkohol terlalu banyak, bahkan merokok mungkin sesekali jika pikirannya benar-benar kacau. Hingga beberapa waktu berlalu, waktu juga semakin malam, seketika itu mata cokelatnya menatap sosok yang ia kenal. Ia memicingkan pengelihatan saat cahaya temaram membuatnya sedikit berusaha keras. Itu Alvin Anggoro! Aga tidak salah lihat kali ini. Ia sekali lagi memicingkan mata guna meneliti agar tidak salah orang. Namun, hal lain cukup mengejutkannya lagi. Perempuan yang kini memeluknya bukan Liona. Aga yakin jika wanita dengan dress mini itu bukan lah Liona, sebab tidak mungkin Liona seperti itu. "Alex, what's wrong?" tanya James yang menyadari bahwa fokus Aga kini pada sosok yang berjarak sepuluh meter dengannya. "No, lanjutkan saja." Aga kembali memerhatikan sekitar setelah sebelum itu sempat kehilangan sosok Alvin. Tanpa basa-basi lagi ia berdiri dan mengikuti ke mana pria itu pergi. "James, saya keluar sebentar. Kalian lanjutkan saja." "Okay-okay." Rasa penasaran dan emosi menjadi satu. Bisa-bisanya sosok Alvin bertingkah seperti ini di belakang Liona. Bahkan dengan perempuan jalang yang entah apakah memang pria itu mengenalnya atau baru saja bertemu di tempat ini. Dengan sedikit memberi jarak, ia membuntuti Alvin sampai ke lantai dasar. Sial, rasa penasaran itu membuat ia melangkah terlalu jauh dengan bertingkah bodoh seperti ini. Seakan ikut campur dalam masalah yang harusnya bisa dihindari. Namun, apa pun yang berkaitan dengan Liona membuatnya tidak mampu berdiam diri. "b******k! Bisa-bisanya dia seperti ini!" umpat Aga geram. Hingga beberapa langkah mengikuti hingga di luar parkir, langkahnya terhenti mendadak. Bukan lagi karena ketahuan tengah mengikuti Alvin, tetapi justru ia menemukan Liona di tempat ini menatap ke arah Alvin yang mulai memasuki mobil bersama perempuan lain. Wanita itu hanya berdiri di tempatnya, di dekat trotoar yang berjarak kira-kira lima belas meter dari mobil sang tunangan. Harusnya ia tidak terlibat dalam permasalahan ini, tetapi melihat Liona yang tidak bergerak dari tempatnya-- padahal bisa saja ia melangkah dan meminta penjelasan Alvin--membuat Aga turut merasakan sakit hati. Hingga mobil Alvin pergi tanpa mengetahui bahwa Liona memerhatikan semua, barulah Aga berjalan ke arah wanita itu. "Liona," sapa Aga pelan. Wanita itu sontak terkejut mendapati seseorang di belakangnya. Ia lantas menoleh dan semakin tersentak saat lagi dan lagi menemukan Aga di hadapannya. Dengan cepat ia menyeka air mata dan menyiapkan segala alasan jika pria di depannya bertanya. "Ka--kamu di sini?" Aga masih diam, memerhatikan raut wajah Liona yang menahan kesedihan. Sungguh, Aga tidak tega mendapati wanita itu bersedih, bahkan sampai tidak bisa berbuat apa pun. Apakah memang tingkah laku pria yang menjadi calon suaminya itu sudah biasa dilakukan? Sehingga Liona hanya mampu berdiam diri bak patung tanpa melawan? Banyak pertanyaan di benak Aga kini yang hadir berkaitan dengan Liona. Sudah sejak awal, saat mereka bertemu tidak sengaja di pernikahan kakak Jessica, Aga merasakan ada yang tidak beres pada hubungan asmara Lioba. "Are you okay?" tanya Aga yang secara spontan melepas blazernya dan membuatnya berpindah kepemilikan. Cuaca yang dingin membuat pria itu berinisiatif memberi blazernya untuk Liona. Bukan tanpa sebab, pasalnya Liona hanya mengenakan dress selutut saja yang dapat dipastikan bahwa bahannya tidak terlalu tebal. Liona hanya terdiam mendapati perlakuan demikian. Ia dengan susah payah menahan air mata akhirnya tidak juga mampu dicegah. Air mata itu mengalir dengan sendirinya dan membuat pemiliknya terduduk di trotoar menelungkupkan kepala ke lutut. Aga belum bisa berbuat apa pun, bahkan tidak sampai hati untuk bertanya. Pria itu hanya ikut duduk di samping Liona hingga wanita itu menghabiskan air matanya, entah sampai kapan. Isakan tangis yang terdengar pilu membuat Aga benar-benar tidak tega. Andai gengsi itu sedikit menurun, mungkin ia akan memeluk Liona mencoba menenangkan. Namun, nyatanya ia berdiam diri tanpa melakukan apa pun. "Li--ona." "Kenapa sih? Kenapa aku yang harus ngalah?" Bingung, Aga cukup bingung ketika menghadapi perempuan dalam kondisi seperti ini. Sudah lama rasanya tidak mendapati situasi seperti yang terjadi pada Liona, hingga akhirnya dengan keberanian yang cukup, Aga hanya mengusap lembut punggung wanita itu. "Kalau kamu masih mau nangis, nangis aja enggak masalah. Puas-puasin aja malam ini, tapi besok jangan nangis lagi, ya. Meskipun mungkin masalah yang kamu hadapi berat atau bagaimana, tapi aku yakin kamu punya solusinya." Hanya petuah tanpa dasar itu lah yang mampu dilontarkan oleh Aga. Rasanya tidak ada lagi yang harus dikatakan, sebab Aga benar-benar dilanda kebingungan menghadapi Liona yang sedang tidak baik-baik saja. Wanita itu masih menangis untuk beberapa detik, hingga akhirnya ia menatap Aga dengan tiba-tiba. Air mata yang masih menggenang cukup jelas terlihat. Liona lantas memegang telapak tangan pria itu. "Bilang sama aku. Aku kurang apa? Aku enggak cantik ya? Aku jelek? Aku gemuk? Atau aku emang nggak menarik lagi?" Dicecar pertanyaan itu membuat otak Aga mendadak tumpul. Bak orang bodoh, ia hanya melongo mendapati semua pertanyaan dari Liona tentang pendapatnya. "Ka--kamu cantik. Iya kamu cantik, kok." Sudah, hanya itu yang mampu Aga ucapkan. Dirinya gugup berhadapan dengan Liona, bahkan seperti seorang remaja yang baru merasakan jatuh cinra, detak jantung Aga mulai berdetak dua kali lipat sekarang. Suasana yang terbilang tidak tepat, sebab Liona yang tengah bersedih atas kelakuan Alvin, tetapi justru Aga dilanda kegugupan luar biasa sampai tidak ada kosakata yang muncul dari bibirnya. Sementara itu, Liona mengembuskan napas berkali-kali, membuat dirinya rileks dengan sendirinya. Barulah setelah itu ia menyeka air mata dan melepas gengamannya dari tangan Aga. "Makasih kamu udah bilang aku cantik, meskipun mungkin bohong." "Loh, kok bohong? Enggak! Aku enggak bohong, kok. Kamu cantik, lebih dewasa terus juga makin anggun. Kata siapa kamu jelek? Cuman laki-laki bodoh yang bilang begitu," seloroh Aga, takut apabila Liona memang memikirkan bahwa dirinya hanya berbohong dalam memujinya. Mendengar ucapan Aga, entah rasanya cukup menenangkan. Bahkan Liona akhirnya mampu tertawa geli dengan balasan cepat Aga. "Kamu enggak berubah ya, Lex. Terlalu memuji," ujarnya lagi sambil tertawa tipis. Hatinya mulai tenang sedikit demi sedikit. Liona tidak tahu sejak kapan ia memiliki perubahan suasana hati yang begitu ceoat. Padahal tadi ia merasa sangat sakit hati hingga menangis bak anak kecil kehilangan ibunya. Namun, sekarang ia bahkan merasa biasa saja dengan kejadian yang baru saja ia alami. "Liona, kamu enggak kenapa-kenapa? Jam segini, kenapa kamu di luar?" tanya Aga yang melirik angka digital pada arloji dan telah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. "Aku dari tadi di sini. Udah dua jam yang lalu. Emang sengaja ngikutin Alvin. Perasaanku enggak enak dan ternyata bener. Dia begini lagi." "Lagi?" Aga mulai penasaean dengan oernyataan Liona. Liona mengembuskan napas perlahan dan mengangguk. Sesekai ia merenggangkan badan dengan mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, kemudian diturunkan lagi dan memeluk lututnya. Pandangan wanita itu masih lurus menapaki jalanan berpaving di depannya. Beberapa detik kemudian, ia menatap ke arah langit dan sejenak berdiam memerhatikan rembulan. "Maaf ya, Lex," desahnya. "Emm, kamu bawa mobil enggak, Lex?" "Bawa. Kenapa?" "Aku numpang ya, tadi aku ke sini pake taksi. Tapi kalau kamu keberatan ya enggak masalah. Aku cari tumpangan lain." "Jangan! Sama aku saja," seloroh Aga cepat. Liona hanya tersenyum dan kembali menatap ke arah bangunan lantai tiga di deoannya. "Maaf ya, Lex. Aku nyusahin kamu lagi. Dan makasih buat perhatian kecilnya." "Enggak masalah Liona. Mungkin emang kebetukan juga aku ada di sini. Tapi maaf, bukannya tadi siang kamu kayaknya baik-baik aja sama Alvin?" Liona kembali tersenyum. Banyak hal terjadi setelah mereka pulang. Lucunya Alvin yang memulai pertengkaran dengan melibatkan nama Aga. Meskipun Liona masih berbohing tentang mengenal sosok Aga, tetapi semua demi kebaikan hubungannya. Berbagai alasan sudah dilontarkan, bahkan peemintaan maaf yang mungkin bukan Liona yanb salah juga sudah tercetus. Namun, sifat tempramental Alvin sama sekali tidak luluh akan kata maaf. Ia meninggalkan Liona setelah mengantar pulang dan menghilang bak ditelan bumi. Beruntung, alamat email Alvin sempat ada dalam ponselnya. Sehingga ia tahu segala aktivitas pria itu termasuk saat ini di tempat ini, ia melakukan transaksi pembayaran untuk mereservasi tempat. Andai Aga tahu hal itu, mungkin bisa saja ia ditertawakan sebab menyeret namanya dalam hubunga pribadi. Namun, Liona memilih bungkam dan tidak menjawab pertanyaan Aga. "Kamu biasa ke tempat begini juga?" "Oh, ini ... enggak. Ini punya temen aku, kebetulan hari ini baru grand opening." Liona masih menatap lurus ke arah bar and lounge itu. Cukup intens hingga akhirnya kembali menatap Aga lagi. "Aku pengen coba masuk, kamu mau temenin aku enggak?" Aga hanya mengernyitkan dahi saat permintaan Liona terlihat serius. Hingga akhirnya wanita itu berdiri dan menunggu Aga juga berdiri. Tidak ada pilihan lain, Aga hanya ingin membantu meringankan beban yang mungkin masih bersarang di benak Liona.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN