Satu minggu berlalu, tampaknya Aga kembali disibukkan dengan berbagai rutinitas pekerjaan, sehingga membuat rencana dengan sang Tante sedikit terlupakan. Hari ini ia kembali memimpin sebuah meeting proyek pembangunan hotel. Tidak ada yang spesial, hanya pengecekan kinerja dan progress pengerjaan.
Semua sempurna, sejauh ini belum ada kegagalan yang signifikan. Perkembangan pembangunan hotel yang berjalan delapan bulan cukup baik dan membuat Aga mampu sedikit lega.
"Gerald, tolong ini kamu cek lagi, apa sudah sesuai dengan yang ada atau bagaimana? Saya akan cek di lapangan," ujar Aga yang memberikan sebuah dokumen tentang progres pembangunan hotel.
"Baik, Tuan."
Aga mengangguk dan segera berlalu meninggalkan Artha Group. Pria itu memang lebih suka terjun langsung ke lapang untuk memastikan beberapa proyek pembangunan yang berjalan. Semua ia lakukan agar bisa mengetahui kondisi lapang dan mencocokan dengan hasil laporan para kepala proyek.
Mobil SUV itu melesat meninggalkan jalanan padat pusat Kota Jakarta menuju ke pinggiran kota. Namun, jarak beberapa meter dari kantor membuat matanya memicing. Sebuah mobil yang dirasa tidak asing mengusik ingatan dan membuatnya menghentikan kendaraan di bahu jalan.
Pria itu turun dari mobil dan berjalan menuju ke arah sosok wanita yang terlihat kebingungan dengan mobilnya.
"Liona ...."
Wanita yang tengah menunduk itu tiba-tiba terkejut dan kepalanya membentur kap mobil yang terbuka, lantas menoleh.
"Eh, maaf-maaf. Aku mengejutkanmu?"
Liona hanya tersenyum canggung dan mengusuk pucuk kepalanya. "Enggak kenapa-kenapa, kok. Aku kaget aja ada orang, soalnya jalanan ini kan nggak begitu ramai."
"Kenapa? Mobilnya mogok?" tanya Aga.
Kembali, sebuah senyum canggung membuat Aga paham dengan permasalahan mobil itu. Lagi dan lagi, seolah memutar ingatan masa lalu, mereka dipertemukan persis seperti saat awal bertemu sepuluh tahun lalu.
Aga melingkis kemeja panjangnya setelah melepas jas kerja. Ia berjalan ke arah kap mobil yang terbuka dan berusaha menemukan jawabannya.
"Kamu beneran masih make mobil ini? Udah sepuluh tahun loh," ucap Aga di sela-sela ia mengotak-atik mobil itu.
"Emm, ya aku ada sih mobil lagi. Cuman masih sayang banget sama ini. Aku lebih suka sih pakai ini, simple aja gitu. Lagian juga kenang-kenangan dari Papa."
Aga mengangguk, kemudian ia kembali menegakkan badan dan menatap Liona. "Ini sih butuh ke bengkel. Agak rumit soalnya dan butuh montir. Aku panggilin montir langgananku ya? Atau kamu punya langganan di sini?"
Liona menggeleng. Jelas ia tidak memiliki langganan seperti itu, sebab ia juga baru saja bertandang ke Jakarta beberapa bulan lalu.
"Ya udah aku telepon dulu montirnya, ya ...," ucap Aga yang kembali ke arah mobilnya dan terlihat menghubungi seseorang melalui ponsel.
Liona menatap pria itu dengan lekat. Nyatanya sikap Aga masih sama. Tetap baik dan tidak pernah berubah sama sekali.
Ada sebuah lesung di bibirnya kala mendapati sosok Aga yang justru dari segi penampilan sangat berubah. Pria itu terlihat lebih dewasa dengan setelan kemeja putih dan bawahan gelap, belum lagi sepatu kulit yang dipakai, membuatnya sadar bahwa memang Aga sudah menjelma menjadi seseorang yang sukses.
Namun, seketika Liona sadar diri, bukan saatnya memikirkan Aga sebab antara dirinya dan pria itu sudah terbentang jarak yang cukup jauh.
"Liona, kamu tunggu sebentar, montirnya udah jalan. Kamu buru-buru?"
"Enggak sih, aku habis dari kampus dan mau pulang, tapi ternyata mogok di tengah jalan. Ah, bentar, tangan kamu masih kotor. Aku ada tissue, tunggu ...."
Liona beranjak cepat ke arah dalam mobilnya dan mengambil tissue basah di sana. Padahal Aga tidak meminta Liona untuk melakukannya. Namun, ia tetap menunggu apa pun yang akan dilakukan wanita itu.
Tanpa menunggu persetujuan Aga, Liona menarik tangan pria itu dan membersihkannya. Sikap spontan yang membuat Aga menarik seulas senyum samar dari bibir.
Namun, tunggu! Apa ia tidak salah lihat kali ini? Ada sebuah benda logam mulia tersemat manis di jari Liona. Aga menafsir bahwa itu bukan cincin sembarangan.
Seketika senyum Aga luntur dan pikiran itu berspeskulasi macam-macam. Hingga, Liona mengakhiri acara membersihkan tangan Aga, barulah pria itu tersadar dari lamunan.
"Maaf ya, gara-gara aku tangan kamu kotor. Oh iya, kalau kamu sibuk, nggak kenapa-kemapa kok kalau mau jalan duluan. Aku bisa nunggu di sini. Makasih sebelumnya, Lex. Aku ngerepotin kamu lagi."
"It's okay, Liona. Enggak masalah aku bisa nemenin kamu dulu."
Tidak ada sanggahan lagi. Liona hanya bisa mengangguk tanpa membuat perdebatan. Jujur saja ada rasa senang dalam hati kecilnya dapat bertemu lagi.
"Kamu kerja di Jakarta? Sejak kapan?" tanya Aga memecah keheningan beberapa menit yang lalu.
"Baru lima bulan. Aku baru keterima jadi dosen di salah satu kampus. Ya mau nggak mau balik lagi ke Jakarta."
"Wah hebat ya jadi dosen sekarang, di kampus mana? Sama siapa di Jakarta?"
Ah, mulut Aga tidak tahan untuk bertanya apa pun pada Liona. Ia mendecak pelan saat dengan lancarnya kosakata pertanyaan itu meluncur begitu saja. Seolah, ia memang penasaran dengan kehidupan Liona.
"Di kampus Veteran Jakarta, tapi kontrak rumah di dekat jalanan ini, di ujung itu kan ada perumahan. Nah di situ. Ya tinggal sendiri karena Ibu juga masih nyaman banget di Bogor."
Ada keheningan saat Liona bercerita tentang sang Ibu.
"Padahal aku udah bujuk biar Ibu mau ke Jakarta. Tapi Ibu milih di rumah Bogor karena kenangan sama Papa ada di sana. Ibu nggak mau aja ninggalin Papa, padahal Papa udah duluan ninggalin Ibu," ujar Liona yang tersenyum tipis, tetapi pandangannya menunduk.
Aga teringat sesuatu. Papa Liona meninggal beberapa tahun lalu. Hal itu diketahuinya dari Evanders. Namun, ia sama sekali tidak tahu penyebab apa yang menimpa pria bernama Dimas itu hingga akhir hayatnya.
"Ah iya, aku mendengar itu dari Evanders. Aku turut berduka cita ya, maaf waktu itu aku tidak bisa berkunjung ke Bogor. Aku masih sibuk di luar negeri."
"It's okay, Lex. Enggak masalah, kok. Aku mengerti kesibukanmu."
Keheningan terjadi lagi. Aga bingung harus menanyakan apa untuk membuka obrolan. Rasanya keberaniannya dulu, ketengilan yang ia pernah lakukan semua menghilang. Kini, ia menjadi sedikit ragu dan penuh pertimbangan untuk menanyakan hal yang ingin diketahuinya.
Kilatan sinar matahari yang menyorot dari balik pohon pada cincin itu benar-benar menarik perhatian. Mengusik hati terkecil untuk bisa mengetahui arti apa yang tengah mengikat Liona. Walau sejujurnya ada rasa sesak kala kenyataan menghantamnya.
"Liona ...."
"Hemm?"
Aga menatap Liona lekat. Ragu untuk melanjutkan pertanyaan, tetapi rasa penasaran itu lebih mendominasi. Tatapan yang bertemu itu cukup lama tertahan di udara.
"Kamu sudah ... menikah?"
********
Sore menjelang malam, pintu gerbang kediaman Aga terbuka dan pria itu segera melanjukan mobilnya ke dalam. Setelah beberapa waktu lalu harus mengunjungi proyek yang berjalan. Namun, pertemuan dengan Liona lagi lagi mengusik pikiran.
Jawaban yang dilontarkan wanita itu cukup membuat hati sedikit lega walau sebenarnya juga turut menciptakan rasa sesak. Padahal tidak seharusnya ia memiliki perasaan ini lagi sebab pada kenyataannya dulu ia yang melepas Liona dengan ucapan menyakitkan.
Liona menggeleng saat pertanyaan itu terlontar dari bibir Aga. Ia lantas menyadari sesuatu dan memegang cincin di jemari manisnya.
"Lalu, cincin itu? Maaf, aku banyak bertanya. Hanya ingin tau kabar kamu saja."
"Oh ini ... ini cincin tunanganku," jawab Liona lirih sembari memegang jemarinya.
Ada perasaan aneh ketika kalimat itu dilontarkan oleh Liona. Aga tahu ini bukan saatnya untuk mengusik kisah masa lalu yang sudah terkubur. Namun, hatinya benar-benar belum mampu mengenyahkan nama Liona sampai detik ini.
"Ah, kamu sudah tunangan. Selamat ya, Liona. Aku senang mendengarnya."
"Makasih, Lex. Doain semuanya lancar ya .... Kamu sendiri udah ada pasangan? Pasti udah kan?"
Aga terdiam cukup lama demi menjawab pertanyaan itu. Jika menuruti ego, bibirnya bahkan mampu berucap bahwa ia masih memikirkan Liona. Namun, naluri dan kewarasan logika membuat pria itu melesungkan senyum.
"Belum. Belum ada yang tepat."
Ingatan obrolan tadi membuat Aga harusnya sadar diri bahwa Liona memang berhak mendapatkan pria yang mencintainya. Mungkin pria itu memang sudah berhasil mengambil hati Liona.
Aga mengembuskan napas perlahan, setelah berdiam diri cukup lama di dalam mobil, sebab pikrian terpusat pada Liona, kini ia turun dan mulai memasuki pintu kediamannya. Namun, belum sempat pintu itu tertutup suara panggilan namanya terdengar begitu saja.
"Pas banget kamu sudah pulang, Ga."
"Loh, Tante? Rapi banget, mau ke mana? Anak-anak mana?"
"Anak-anak di rumah. Tante ada undnagan ke acara nikahan sebentar lagi. Om kamu kan lagi di luar negeri, kamu temenin Tante ya ... sekalian yang waktu minggu lalu itu, Tante mau kenalin kamu ke anak temen Tante ...."
Ada sebuah kernyitan di dahi Aga. Ia pikir rencana sang Tante minggu lalu hanya sebuah wacana. Mendadak suasana hati Aga mulai kembali tidak b*******h. Kencan buta sampai perjodohan langsung yang dicanangkan adik papanya itu selalu tidak berhasil membuat Aga memilih sosok pendamping masa depan.
"Hari ini banget, Tante?"
"Iya bentar lagi. Sudah, kamu beberes sana. Tante tunggu di sini."
Hanya anggukan lemah yang Aga tunjukkan dan lagi-lagi terjebak dalam rencana konyol sang tante.
"Ya udah kalau gitu Aga mandi dulu, Tan."
Silvi mengangguk dan masih tersenyum antusias dengan rencananya. Berharap dari acara perkenalan itu membuat sang keponakan mendapatkan pasangan yang tepat. Walau memang hak Aga untuk memilih siapa pendamping masa depan, tetapi Silvi juga tidak bisa diam jika sang keponakan masih saja melajang tanpa usaha. Apalagi usia Aga sudah terlalu matang untuk membina rumah tangga.
Tiga puluh menit berlalu, Aga turun dari tangga menuju ke arah sang Tante yang berada di ruang tengah. Penampilannya sederhana, hanya memakai celana jeans berwarna gelap dengan kemeja hitam serta blazzer berwarna abu.
Sepatu kulit berwarna cokelat juga sangat cocok dikenakannya. Pria itu menghampiri sang Tante yang tengah sibuk dengan ponselnya.
"Tan, ayo ...."
"Eh udah?" tanya Silvi yang menatap Aga dari atas hingga bawah. "Perfect," cetusnya lagi.
Wanita itu langsung bangun dengan antusias dan melangkah keluar kediaman Aga. Sedangkan sang keponakan hanya menggeleng dan tersenyum dengan tingkah sang Tante yang benar-benar masih bersemangat tak lekang oleh usia.
*******
Suasana gedung yang disewa terlihat ramai dengan tamu undangan yang berdatangan. Aga memerhatikan semua selama mengantre masuk ke dalam halaman gedung. Mobil-mobil yang berada di depan dan belakangnya cukup mewah, bisa dipastikan pemilik acara bukan orang sembarangan. Namun Aga belum sama sekali mengetahui siapa penyelenggara acara ini.
"Ga, buka kacanya," ujar Silvi yang tengah mencari sesuatu dalam tas kecilnya.
Aga hanya mengangguk dan membuka kaca mobil di sisinya. Hingga benar saja, mobil itu diberhentikan oleh seseorang berpakaian cukup rapi dengan setelan kemeja hitam, celana kain berwarna gelap dan sepatu pantofel mengkilat.
"Permisi, maaf mengganggu. Undangannya?"
Silvi langsung mengangkat sebuah kartu berbentuk persegi panjang kecil dan menunjukkan pada penjaga itu. Seketika mobil Aga pun dipersilakan masuk ke dalamnya.
"Tan, ini acara pernikahan siapa?"
"Anak pertama dari keluarga Sukmajaya. Pengusaha tekstil, Ga. Yang punya Sinar Jaya Textile."
Aga menyerap informasi itu sejenak. Mengingat barangkali ia pernah mengenal salah satunya. Namun, setelah dipikir cukup lama, ia akhirnya mengingat siapa Sukmajaya terlebih pimpinan perusahaan itu yang tak lain adalah Andalas Sukmajaya.
"Oh jadi ini temen Tante?"
"Ya rekan bisnis kakek kamu dulu. Terus kan usaha itu yang megang Tante jadinya kenal sama mereka dan sekarang masih jadi temen bisnis."
Aga mengangguk saja mendapati informasi itu. Fokusnya memang hanya meliputi usaha di bidang yang sama dengan usaha mendiang sang ayah. Aga tidak memusatkan perhatian lain selain sosok-sosok yang bekerja sama dengan perusahaannya saja, sehingga ia tidak tahu seluk beluk keluarga Sukmajaya.
"Ayo masuk," ajak Silvi yang turun dari mobil Aga sesaat setelah sedan itu terparkir rapi.
Aga hanya mengikuti setelah keluar dari mobil. Sejenak ia merapikan diri dan berjalan di samping sang Tante. Hingga beberapa langkah menuju ke pintu masuk gedung, seseorang menabrak Aga cukup keras. Bahkan pria itu spontan menangkap sosok yang akan terjatuh jika ia tidak cepat merespon kondisi sekitar.
Namun, seketika semuanya hening. Sosok yang ditangkap tangan Aga tidak lain adalah Liona. Iya, wanita itu menjadi tamu undangan pada pesta pernikahan keluarga Sukmajaya.
"Astaga, Sayang ... are you okay? Kenapa bisa sampai jatuh?" tanya Alvin--tunangan Liona.
Mendengar itu Aga segera menarik diri ke kenyataan. Begitupun Liona yang langsung beridri merapikan dirinya lagi. Beruntung tidak terjadi hal memalukan lainnya yang menimpa wanita itu.
"Ma--maf, Vin. Aku nggak sengaja. Maaf ya ...."
"Untung kamu nggak jatuh, bisa malu aku kalau kamu sampai jatuh. Ya udah yang penting kamu nggak kenapa-kenapa," ujar pria itu yang menatap penampilan Liona. "Mas, terima kasih, maaf tunangan saya hampir mencelakai Mas," lanjut pria itu pada Aga yang diangguki saja tanpa banyak bertanya.
Aga masih memerhatikan pria yang terlihat sangat memerhatikan Liona. Namun, ia sedikit tidak suka mendengar nada permintaan maaf itu dan sedikit tersentak saat ungkapan kalimat hardikan pada Liona.
Dugaan Aga bahwa pria ini adalah tunangan wanita itu. Tidak ada tegur sapa yang terjadi antara Liona dan Aga walau tatapan mereka selalh bertemu, hingga wanita itu mendahului bersama Alvin. Membuat Aga memerhatikan lekat bagaimana pria itu memperlakukan Liona.
"Aga ...."
"Ha?"
"Ayo masuk, kamu kenapa? Kenal sama perempuan tadi?"
Aga menatap sang Tante sejenak lantas menggeleng pelan. Bukan saatnya ia bernostalgia dengan masa lalu. Bahkan Liona sendiri saja bungkam seolah tidak pernah mengenalnya.
Aga sadar mungkin itu bentuk untuk menghargai sang tunangan. Namun, Aga juga menangkap sekilas sorot mata berbeda dari Liona selama bersama pria itu. Berbeda dari saat mereka bertemu tadi siang.
Entah, ada rasa mengganjal dalam hati Aga saat ini. Namun semua akhirnya tertepis begitu saja saat sang Tante mengajak Aga untuk menemui seseorang.
Silvi mengajak sang keponakan untuk menemui sosok wanita yang berada di dekat pintu keluar gedung, dekat dengan para wedding singer.
"Jessica?"
Wanita yang merasa terpanggil itu menoleh dan langsung tersenyum pada Silvi. Gaun sepanjang mata kaki dengan sentuhan brokat di d**a itu tampak mempesona pada lekuk tubuhnya. Tinggi semampai, kulit ivory, dan rambut tegelung rapi membuat wanita itu sangat anggun di mata Aga.
"Tante Silviii. Akhirnya Tante dateng juga. Thank you very much ya, Tan, udah dateng. Emm, but Mommy masih urusin tamu, Tan. Mau dipanggilin?"
"Ah, santai aja, Jess. Oh iya, kenalin nih ponakan Tante, namanya Alexrado tapi biasanya dipanggil Aga kalo di rumah," ujar Silvi dengan kekehan kecil. "Aga, ini Jeasica, anak kedua keluarga Sukmajaya."
Jessica langsung mengulurkan tangan dengan melempar senyum manisnya. Sedangkan Aga masih terdiam beberapa detik hingga disadarkan oleh senggolan sang Tante pada lengannya.
"Aga ..." ujar Aga spontan dan menjabat tangan halus Jessica.
"Jessica, just call me Jess. Salam kenal ya Aga."
Suara lembut itu mengalun manis di telinga Aga. Tampaknya wanita kali ini yang dikenalkan sang Tante cukup memiliki attitude baik dan sopan. Berbeda dengan beberapa sebelumnya yang di luar dugaan.
"Kalau gitu, Tante mau icip-icip dulu ya Jess. Nitip ponakan Tante, dadaahh."
Ungkapan dan bergeraknya langkah Silvi membuat Aga sedikit mendadak salah tingkah, tidak ingin ditinggalkan. Baru sekarang ia segugup ini berkenalan dengan seorang wanita. Apalagi kali ini mendengar namanya saja belum tahu seluk beluk siapa sosok di hadapannya.
"Aku nggak pernah tau kamu. Kamu keponakan Tante Silvi yang mana? Dua bulan lalu itu pernah ada acara keluarga kan, nah keluargaku di undang sama Tante Silvi. Tapi aku nggak tau kamu."
"Oh itu, Papa aku kakaknya Tante Silvi. Ya, mungkin waktu itu lagi ada kesibukan, jadi ya enggak bisa ikut gabung."
"Oh gitu ... pantas aja ya nggak ada. Senang bertemu dengan kamu."
Aga hanya melesungkan senyumnya saja. Hingga beberapa menit berlalu, obrolan demi obrolan terjadi karena Jessica yang terus memancing. Tampaknya wanita itu memang tipikal yang mudah bergaul dengan siapa pun, membuat Aga juga cukup nyaman bertukar obrolan dengan Jessica.
"Jadi kamu baru saja tinggal di Indonesia?"
"Iya begitulah, selama ini sih kuliah di Perancis dan baru satu tahun lalu lulus. Jadinya balik deh ke Indonesia."
"Jurusan apa?"
"Aku ambil Fashion Designer."
"Wah, good job. Mau nerusin usaha keluarga berarti."
Jessica kembali melesungkan senyumnya. Keakraban itu pun berlangsung begitu saja. Ada sebuah senyum dan tawa tercetak di antara kedua insan itu. Sudah tidak ada lagi kecanggungan yang menghampiri saat semua konteks pembicaraan cocok satu sama lain.
Namun, ada yang berbeda. Di sisi lain, ketimpangan terjadi. Sorot mata yang memancar sedari tadi terlihat sendu saat menatap pemandangan itu. Liona, sama sekali tidak mampu tersenyum saat menatap Aga dan wanita entah siapa saling bercengkerama dengan hangatnya.
Walau Liona sadar bahwa memang tidak ada lagi yang diharapkan dalam pertemuan mereka tadi siang. Namun, mengapa hatinya sakit menatap semua itu?