TAWARAN PERSAHABATAN

2167 Kata
Pukul delapan tepat, Aga berjalan sedikit cepat dari luar gedung Artha Group menuju ke dalam. Rasanya kepala itu kembali memberat saat permasalahan perusahaan hadir bersamaan dengan masalah pribadi yang benar-benar membingungkan. Mungkin selama ini, sejak Aga memimpin perusahaan, menurut semua karyawan yang mengenal, menganggap Aga adalah pimpinan yang super duper baik. Pria itu sering melebarkan senyumnya bahkan tidak segan menyapa karyawan. Namun, tampaknya hari ini tidak demikian, langkah cepat dan pikiran yang kalut membuat senyumnya lenyap. "Selamat pagi Pak Alex," sapa salah satu karyawan yang tepat berpapasan di lobi utama. Aga tidak lagi memedulikan sekitar, walau sedari tadi ada yang menyapa atau mungkin ia memang tidak mendengar karena pikiran itu tertuju pada permasalahan yang ada di depannya. Pria itu justru sesegera mungkin memencet tombol lift yang beruntung saja tidak serame biasanya. Hingga beberapa detik, pintu lift itu terbuka dan ia masuk begitu saja. Lantai sembilan tujuan utama. Jika biasanya ia akan memberikan kesan positif pada seluruh karyawannya, hari ini pengecualian. Andai ada yang membuat kesalahan di depan Aga saat itu juga, bisa saja luapan emosi itu akan keluar tanpa kendali. Derap langkah kaki yang baru saja menginjak lantai sembilan itu diketahui oleh Gerald, sang tangan kanan yang tengah berada di meja sekretaris sedari tadi. Ia yang menyadari langsung menegakkan badan dan ikut masuk ke ruangan Aga setelah pria itu masuk. "Apa yang bisa kamu jelaskan? Kenapa bisa seperti ini? Apa sistem keamanan lemah? Bukannya baru diperbarui?" Rentetan pertanyaan Aga itu telak membuat suasana di ruangan seluas empat belas meter persegi cukup menegangkan. Aga duduk di kursi kebesarannya dan menatap Gerald tanpa senyum sama sekali. Serius dan mencekam mungkin sekarang menjadi pemandangan baru Gerald. Tidak biasanya pimpinannya seperti ini meskipun ada masalah perusahaan. "Saya masih mencari sumbernya, Tuan. Kemungkinan ini disebabkan oleh humam error. Saya masih menyelidiki di mana yang menyebabkan semua ini terjadi." "Tunggu, ini data lackage atau data branch?" "Data lackage, Tuan." Aga mengangguk. Ia menimang dalam pikiran, jika terjadinya data lackage itu artinya adanya kebocoran data yang tidak sengaja bersumber dari data securty atau kelalaian pengguna. Namun, jika yang terjadi adalah data branch itu artinya ada yang memang sengaja membobol data keamanan perusahaan sehingga data sensitif bisa masuk. "Apa analisismu?" "Menurut penggambaran saya, ada dua kemungkinan. Yang pertama divisi IT yang lalai, bisa disebabkan mungkin dengan menggunakan jawaban otomatis untuk semua email yang masuk. Kedua, bisa juga ada karyawan lain yang menggunakan internet di luar keperluan pekerjaan dan tidak sengaja mengakses link yang mencurigakan." Aga mengangguk dan setuju untuk analisis Gerald. Ia pun juga memikirkan hal seperti itu. "Berapa data dan apa saja data yang bocor?" Gerald lantas memberikan ipad nya pada Aga dan pria itu meneliti apa pun informasi di depan layar terpanya. Ada rasa khawatir saat ia membaca setidaknya beberapa ratus data pelanggan pada aplikasi yang dikembangkan Artha Group bocor. Ia mendecak kesal. Hal ini bisa berdampak buruk bagi perusahaan jika sudah diketahui publik. Reputasi Artha Group akan menurun dan kepercayaan pada perusahaanya akan hancur. Belum lagi semua ini juga bisa digugat dengan hukum yang mengacu pada UU ITE tentang kebocoran data. Aga memijit pangkal hidungnya yang semakin memberat. Mencoba tenang untuk memikirkan solusi yang tepat. "Selesaikan sebelum berita ini menyebar. Pastikan data pelanggan masih aman. Lakukan cepat dan bekerja sama lah dengan divisi IT. Jika memungkinkan ubah kode atau sandi keamanan yang sudah ada. Mengerti?" Gerald mengangguk dna mengambil kembali ipadnya. Pria bertubuh tegap itu lantas berpamitan untuk menyelesaikan semua dan meninggalkan Aga di ruangannya. Sementara Aga langsung membuka laptop berlogo apel itu dan mencari tahu apa pun untuk mengatasi segala permasalahan yang ada di perusahaan. Ditepiskan dahulu urusan pribadinya dengan Liona yanh cukup menguras emosi. Citra perusahaan lah saat ini yang dipertaruhkan andai semua tidak cepat teratasi. **** Semua sudah bekerja keras guna mengembalikan apa yang hampir saja akan menjadi sebuah bencana bagi Artha Group. Aga sampai turut andil untuk mengontrol seluruh sistem yang memang butuh perubahan agar kembali memiliki tingkat keamanan tinggi. Bukan hanya sekadar menyuruh tanpa berbuat apa pun. Justru Aga lebih sering turun andil dan tidak hanya pada masalah seperti ini. Hal itu membuatnya menjadi pimpinan Artha Group yang sangat dihormati oleh karyawannya. Sikap supel dan benar-benar memotivasi membuat nama Aga juga sangat dikenal baik. Meskipun hari ini pria itu tidak seperti biasanya, semua memahami tidak mudah mengatasi masalah secepat mungkin dan sangat wajar jika pria itu dalam posisi benar-benar serius. "Gerald, Pak Anton, komputer ini amankan sesegera mungkin. Rekam semua aktivitas dari USB, wireles atau pun hard disk. Cek semuanya. Ini punya siapa?" "Sepertinya ini milik Pak Handi, Pak?" sahut Anton yang berada persis di sebelahnya. Aga langsung menegakkam tubuh dan mencari sosok pemilik bangku di mana saat ini tengah di selidiki. "Pak Handi belum datang?" "Saya rasa belum, Pak." Aga mengerutkan dahi dan melirik angkat digital pada arloji di tangannya. Waktu sudah menunjukkan jam kerja yang bahkan terlewat satu jam. Namun, pria yang diduga menjadi sumber kelalaian itu belum juga datang. Naluri selalu mampu bermanifestasi akan kecurigaan bahwa pria inilah sumber yang sengaja atau tidak sengaja mengakses hal yang mencurigakan. Namun, bukan menduduh sembarangan adalah sikap bijak Aga. Ia akan mencari tahu dulu sampai benar-benar yakin bahwa seseorang itu bermasalah. "Gerald, panggil semua kepala divisi. Kita rapatkan ini. Segera! lima menit saya tunggu di ruang rapat." Aga lanetas melangkahkan kakinya pergi ke arah ruangan meeting di lantai sembilan. Sedangkan Gerald, langsung beranjak untuk memanggil seluruh kepala divisi guna mengikuti acara meeting dadakan itu. "Jadi, ada human error di sini yang entah sengaja atau tidak sengaja melakukan kesalahan. Hal ini menyebabkan data dari pengguna aplikasi Artha Property mengalami kebocoran. Saya rasa kalian pasti paham apa dampak yang terjadi ketika berita ini didengar para investor dan pelanggan itu sendiri." "Saya minta untuk para kepala divisi segera komunikasikan pada karyawan yang ada di bawah kalian untuk hati-hati dalam menggunakan internet perusahaan. Sebisa mungkin kurangi mengakses hal di luar pekerjaan, apalagi sampai mencoba mencari tahu link mencurigakan. Hal ini bisa berdampak fatal. Saya tidak melarang semua karyawan open space, tetapi kalian masih menggunakan jaringan perusahaan yang bisa saja berakibat seperti ini." Aga terdiam sejenak dan mengatur emosi yang masih saja sedikit mempengaruhi suasana hati. "Jangan sampai karena satu orang mampu menghancurkan satu perusahaan. Saya percaya sama kalian dan karyawan yang lain, tetapi kalian juga jangan sampai menyepelekan kepercayaan saya." Sorot mata Aga kini menuju ke arah kepala divisi marketing. "Pak Ray, anda mengenal baik bawahan anda yang bernama Pak Hendi?" Raynand, kepala divisi marketing itu mengangguk. "Bagaimana kinerjanya?" "Maaf sebelumnya, sudah beberapa hari ini memang saya melihat Pak Hendi seperti kekurangan semangat untuk bekerja. Entah ada permasalahan apa, jika ditanya ia sekaan menyembunyikan semua. Saya sudah berusha mendekati dan bawahan saya lainnya juga sudah berupaya mencari tahu,tetapi Pak Hendi sepertinya menutup diri. Sampai hari ini ternyata dia tidak masuk kerja dan itu juga tanpa ijin ke saya." Aga mengangguk pelan dan kembali berpikir dengan segala opini yang ada. "Kalau Pak Hendi sudah masuk tolong sampaikan untuk menghadap saya." "Baik, Pak, saya akan sampaikan." Beberapa petuah dan kalimat Aga sampaikan. Hingga, beberapa menit kemudian meeting pun berakhir. Pria itu menyandarkan badannya ke badan kursi kulit dan memejamkan mata sejenak, setelah seluruh karyawan meninggaljan ruangan itu. Rasa pusing menjalar hingga membuat tengkuknya memberat. Dalam hati kecil, ia justru takut tidak mampu mempertahankan perusahaan dari hal-hal seperti ini. Nyatanya memang tidak mudah menjalani semua yang sudah menjadi takdir. Namun, pikiran putus asa itu selalu berhasil ia tepiskan dengan keteguhan hati dan janji pada mendiang orang tuanya untuk menjadi yang tebaik. Aga mengembuskan napas, sampai suara ketukan membuat atensi pria itu teralih. "Permisi, Pak Alex. Ada tamu yang ingin bertemu. Namanya Jessica." Aga langsung berdiri sebab sedikit terkejut dengan kedatangan Jessica. Bahkan mereka tidak berjanjian untuk bertemu hari ini. Pria itu langsung berjalan keluar ruangan meeting dan benar saja, sosok wanita itu berdiri di depan pintu ruangannya, menunggu. "Jess ...." Wanita berambut kucir kuda itu lantas menengok dan tersenyum saat Aga menyapanya. "Aku ganggu?" "No, ayo masuk," ajak Aga yang membuka pintu ruangannya. Kedatangan Jessica telak membuat beberapa pasang mata di lantai sembilan itu seketika mencuri pandang. Sebab memang selama Aga memimpin, belum ada wanita yang sesekali datang menemui sang pimpinan selain klien kerja. Namun, rasanya dengan style casual Jessica, wanita itu bisa dipastikan bukan klien perusahaan. Meskipun memang bisa saja, tetapi beberapa karyawan termasuk sekretaris Aga yang kini menatap lurus sampai pemandangan Jessica masuk ke dalam ruangan pun berasumsi lain. Tidak akan munafik, bahkan sekretaris Aga yang bernama Winda itu juga tertarik dengan sang atasan. Hanya saja sangat sulit untuk memasuki dunia Aga, meskipun ia sudah bekerja hampir tiga tahun di perusahaan ini. Kehadiran sosok wanita secara pribadi jelas menyita perhatiannya. "Gerald ...." Winda yang baru saja duduk di kursinya dengan Gerald yang memang berada di dekatnya--sebab tengah mengurus beberapa dokumen--langsung antusias untuk mengetahui siapa wanita yang bersama Aga. Ia pikir bukan tidak mungkin Gerald tidak tahu apa pun, sebab laki-laki itu hampir 24 jam bersama Aga untuk urusan apa pun. "Kamu tau yang barusan masuk itu siapa?" tanya Winda penasaran. Gerald yang berada di kursi seberang Winda hanya menatap wanita di depannya dengan datar. Lantas ia menggeleng. "Tidak." Gerald spontan menjawab dan seketika itu fokusnya kembali ke laptop di depannya. "Ya Tuhan, kaku banget sih. Kamu tuh bisa enggak sih kalo ngomong tuh agak panjang. Bukan kayak bahasa robot yang cuman bilang tidak, iya, baik, gitu doang. Enggak pernah kepo apa ya?" "Kenapa saya harus mencampuri urusan pribadi orang lain? Tidak ada gunanya untuk saya." Bukan rahasia umum lagi jika Gerald memang selalu bersikap kaku bahkan terbilang tertutup. Semua pun paham Gerald juga sososk pria yang jika bicara mampu menusuk hati orang lain. "Ya kali aja kan? Tugas kamu selain jadi wakilnya Pak Aga kan juga untuk ngelindungi dia? Bener kan? Kalo misal wanita itu ada niat buruk gimana?" "Tidak mungkin Tuan Aga menerima jika wanita itu ada niat buruk, Winda. Harusnya kamu sudah bisa melihat dari cara Tuan Aga menerima kehadiran wanita itu." Benar juga, Gerald memang cepat tanggap untuk mengetahui lingkungannya meskipun tidak pernah penasaran akan hal lain. Winda hanya mendengkus kesal dengan pemikirannya sendiri dan rasa penasaran yang tinggi. Apakah harapannya bisa berdekatam dengan sang atasan adalah memang mustahil? Winda masih penasaran dengan sosok Aga, sebab tidak semua ia ketahui dari pria itu. **** Di ruangan seluas empat meter persergi ini lah Jessica tengah duduk di sofa empuk sembari meneliti sekeliling. "Kamu ngapain ke sini, Jess?" Aga mulai membuka suara dan menyusul Jessica duduk di sofa seberangnya. "Ah, enggak, aku tadi kebetulan lewat sini. Tadi sih ada janji ketemu temen, eh dia tiba-tiba batalin. Nah, aku inget kamu bilang perusahaanmu di sini jadi aku mampir," jelas Jessica yang tetap mempertahankan senyumnya. "Kamu sibuk, ya?" lanjut wanita cantik itu. Aga menggeleng. "Enggak, kok. Kenapa, Jess?" Jessica menatap arloji di tangan kirinya dan kembali menatap Aga. "Udah mau jam makan siang. Mau makan siang bareng nggak?" Wanita ini, sangat berani untuk memulai sesuatu. Tidak ada rasa malu dan anggapan bahwa pria yang harus lebih dulu memulai. Aga akhirnya mampu tersenyum dengan kehadiran Jessica, seolah kedatangan wanita itu tepat pada waktunya. "Ayo, makan di luar apa di kantin kantor? Soalnya aku biasa cuman di sini aja." "Ya enggak kenapa-kenapa kalau di sini. Aku jadi penasaran makanan di sini. Ayok, Ga." Aga tersenyum lagi dan mulai bangkit dari kursinya. Diikuti oleh Jessica yang juga sudah berdiri dari tempatnya. Mereka berjalan berdua dan Aga mempersilakan Jessica untuk keluar terlebih dahulu dari ruangannya, berikut dirinya. "Bentar, Jess." Aga berbelok ke arah meja sekretaris yang tidak jauh dari ruangannya. "Win, apa saya ada acara setelah makan siang?" Winda langsung membuka jadwal harian sang atasan dan menggeleng. "Tidak ada, Pak. Jadwal Bapak hari ini kosong." Aga mengangguk. "Oke, makasih." Pria itu pun langsung berjalan mendampingi Jessica dan terlihat beberapa obrolan yang membuat suasana akrab terjalin begitu saja. Sepanjang perjalanan hingga akhirnya sampai di kantin kantor, beberapa pasang mata menyorot Aga. Sebab memang tidak biasanya sang atasan makan siang di dampingi siapa pun bahkan sekretarisnya sekali pun, kecuali jika ada meeting di luar dan kebetulan tepat jam makan siang. Namun, hari ini Aga menggandeng sosok yang memang bisa dikatakan cantik walau dengan pakaian casualnya itu. "Jess, di sini aja, ya ...." Jessica hanya mengangguk dan mulai duduk di sebuah sofa setengah melingkar dengan meja di depannya. Ia menatap kagum dengan desian interior kantin kantor Aga ini. Semua tampak bersih, mewah dan tertata dengan baik. Ruangan ini tidak bersekat kaca atau pun apa pun bahkan kini mereka benar-benar akan makan dengan beberapa karyawan lain. Tampaknya Aga juga tidak mempermasalahkan hal itu sebab dapat dilihat Jessica pada jarak sepuluh meter saja bangku-bangku itu sudah terisi beberapa karyawan. Jessica seketika melesungkan senyum saat mendapati kepribadian Aga. Entah, rasanya memang pria ntyang kini tengah berada di salah satu counter makanan itu benar-benar memiliki kehidupan yang sederhana dan membaur. Tidak seperti pria-pria yang beberapa kali mendekatinya. Mereka semua akan berbondong-bondong ke tempat mewah untuk mendapat perhatian lebih. Padahal justru Jesisca suka jika pria itu seperti Aga uang tidak meninggikan gengsi sama sekali. "Jess, kamu pesen apa? Mau makan apa? Aku mau pesenin takut salah," tanya Aga yang kembali dari salah satu counter makanan. Jessica menatap menu yang diberikan Aga. Ia langsung menunjuk salah satu makanan dan minuman di menu itu. Kemudian Aga kembali ke counter makanan guna memesankan makanan untuk Jessica, setelah itu barulah kembali dimana mereka dududk saat ini. "Kamu enggak risih ya makan sama karyawan begini?" tanya Jessica memancing. Aga yang tengah melepas jas kerjanya dan menaruhnya di sofa sampimg hanya menggeleng dan tersenyum. "Enggak. Justru atmosfer mereka yang membuat aku seneng. Ya kadang ngelihat mereka makan dan saling bercanda apa pun bikin aku ikut seneng. Enggak tau juga kenapa." "Kamu biasa sendiri apa ditemenin?" "Sendiri. Oh iya kamu mau ke mana kok bisa mampir ke sini?" tanya Aga balik pada Jessica agar obrolan merwka bertahan dua jalur. "Tadinya sih emang mau ke daerah sekitar sini. Kamu tau kan ada coffe shop deket kantor kamu. Eh ternyata temen aku batalin janji karena suatu hal. Dan aku langsung inget kamu deh, coba mampir aja sih ...." Aga mengangguk dan melesungkan senyum menanggapi Jessica. Obrolan pun terjalin begitu saja sembari menunggu pesanan mereka datang. Jessica terbilang aktif mengorek semua kehidupan Aga dengan rasa penasaran yang ia ungkapkan. Sedangkan Aga justru yang paling sulit untuk membuka obrolan sebab sudah lama ia tidak dekat dengan wanita mana pun. Bisa dibilang Aga lupa cara pendekatan dengan perempuan saat ini. "Permisi." Pelayan pun datang dan meletakkan beberapa pesanan di meja mereka. Hidangan yang dipesan pun sudah di depan mata, sesekali mereka mengobrol singkat dan akhirnya memutuskan untuk makan terlebih dahulu. Hingga beberapa menit berlalu hanya tersisa desert di meja itu. Kembali mereka terlibat obrolan seru yang tidak ada hentinya. Obrolan yang membuat Aga mengetahui lebih dalam siapa Jessica, begitupun sebaliknya. Di mata Aga, Jessica wanita yang mampu mencairkan suasana. Bahkan tidak seperti beberapa wanita yang ia temui karena permintaan sang Tante, Jessica bahkan tidak jaim menunjukkan siapa dirinya tanpa ada kesan berlebihan. Tingkah konyol dan ramainya lah yang cukup menarik perhatian Aga. Rasanya segala penat dan pusing sedari tadi mendadak hilang dengan kehadiran Jessica. "Kenapa liatin aku gitu?" tanya Jessica saat sadar Aga menatapnya sedari tadi. Aga yang memang sedari tadi menatap intens ke arah jessica mendadak salah tingkah. Ia mengalihkan pandangan dan hanya tertawa tipis mengurangi kegugupan yang tiba-tiba menyerang. "Kamu rame orangnya, ya suka aja lihatnya." "Aku berisik ya? Maaf ya?" "No ... no. Kamu enggak berisik, Jess. Aku suka aja kamu ceria banget orangnya. Enggak sok jaim dan apa adanya." Jessica tersenyum dan sesekali melahap dessert yang tersisa sedikit. "Aku ya begini, Ga. Enggak mau palsu di depan orang. Meskipun kadang kala ada yang enggak suka bahkan sampai merasa terganggu, tapi aku ya begini ini. Maunya cuman bikin seneng orang lain aja. Kalau berhasil kan juga enggak rugi." "True. Kamu udah bikin aku seneng." Kini, Jessica menatap Aga saat pernyataan itu terlontar. Membuat sendok yang tadinya digunakan untuk memasukan makanan ke mulut, berdiam sejenak di udara. "Tadinya aku bener-bener pusing sama masalah kantor, tapi pas kamu dateng dan kita ngobrol begini, aku ngerasa seneng aja. Makasih ya, Jess ...." Jessica yang sempat terkesima kembali melebarkan senyumnya. Bahkan kini tangan halus itu mendadak berada di atas tangan Aga. "Kamu kalau ada masalah cerita biar plong. Aku bisa kok jadi temen curhat kamu, janji deh nggak bakal bocor," ujar Jessica yang masih melebarkan senyumnya dan kini jari kelingking itu ditegakkan. "Sahabat?" Jessica mulai membuat penawaran agar hubungan mereka melebihi sekadar teman biasa. Aga yang selalu terkejut dengan segala tingkah laku Jessica masih menatap jari itu. Seakan semua ini menuntun pada sebuah janji. "Sahabat." Aga akhirnya membalas itu dan menautkan jari kelingkingnya pada Jessica. Aga benar-benar kembali merasakan damai saat masalah pribadi tadi pagi membuatnya hampir tidak melesungkan senyum sama sekali. Jessica juga bukan tipe yang langsumg menodongkan perasaan seperti yang lain saat kencan itu terjadi. Namun, wanita ini sepertinya ingin mengenal satu sama lain secara perlahan. Aga tahu semua perasaan itu memang dimulai dari sebuah jalinan pertemanan. Namun, yang pria itu suka saat ini semua tidak terkesan memaksa dan buru-buru. Ada ritme perkenalan yang terjadi dengan tahu kerpibadian masing-masing terlebih dahulu sebelum rasa itu berubah menjadi sebuah cinta untuk mungkin berlanjut ke jenjang yang lebih serius.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN