Bab 1. Brandalan Sophia

3057 Kata
"Omar, cepat datang ke kantorku! Sekretarismu jambak sekretarisku nih!" Pria dengan sorot mata tajam bak elang, alis yang tebal, hidung mancung dan bibir kissable itu menyeringai mendengar tuturan dari koleganya. Dua kancing kemeja teratas sudah terbuka, memperlihatkan sebuah ukiran tato elang di d**a samping kiri. Urat-urat tangannya tampak terlihat jelas, bersamaan dengan kepalan tangannya di atas meja. Dia adalah Omar Jones, seorang Chief Executive Officer dari perusahaan Jones's Hotel and Resort yang sangat terkenal, bintang lima dan punya banyak cabang, terutama di tempat-tempat wisata dan kota. Pria ini seringkali dipanggil Omar oleh rekan sejawatnya ataupun koleganya. Akan tetapi, ada satu perempuan tidak pernah memanggilnya demikian. Perempuan nakal yang selalu ada di samping Omar setiap harinya, selalu merecokinya, selaku melawannya, tapi tidak bisa berpisah dengan perempuan tersebut. Omar tampak sangat marah mendengar kronologi yang didengarnya dari koleganya, tapi tidak bisa dikatakan bahwa dia akan membabi buta mengikuti amarahnya. Sembari mendengarkan koleganya, sembari menyambar jas dan kunci mobilnya. Meninggalkan ruangan kerjanya. "Katakan padanya aku akan segera datang. Suruh dia diam sebentar atau aku robek rok span ketatnya itu!" Tut…. "Sampai kapan si Brandalan Sophia ini berhenti buat aku pusing?! Setiap hari kerjaannya bikin ribut aja." Kesalnya, memencet tombol lift ke basement. *** Sebuah mobil McLaren 720S Le Mans Edition berhenti di depan sebuah gedung berlantai 15 yang bergerak di bidang Property. Pemilik mobil mewah dengan harga fantastis itu tentu saja Omar Jones. Omar melempar kunci mobilnya kepada seorang pria yang menyambut kedatangannya yang biasa ia suruh untuk memarkirkan mobilnya di tempat parkir yang layak. Langkahnya begitu cepat memasuki lobi. Sepanjang memasuki lobi, semuanya menatapnya. Pria tampan dan wibawa, serta aura dominan yang ada pada dirinya, membuat mereka tidak bisa mengalihkan pandangan darinya, terlebih lagi untuk kaum perempuan. Omar sudah tidak asing lagi di gedung ini sebab pemilik dari gedung ini adalah sahabatnya sendiri. Dan setiap kali datang ke gedung ini, selalu mendapatkan respon yang sama. Kekaguman. "My future husband…." Tanpa sadar seorang karyawati menggumamkan hal yang demikian. Tatapannya hanya terfokus pada satu titik, pada Omar yang berjalan menuju lift sembari tersenyum sopan pada beberapa orang yang menyapanya. Tampak Omar menunggu lift terbuka. Sesekali menunduk, melihat jam tangannya. Sungguh, tidak ada yang berani berdiri di sampingnya, meski punya tujuan yang sama. Bahkan jika diibaratkan, posisi Omar sama dengan posisi pemilik gedung tempat mereka bekerja. Hingga akhirnya Omar bisa masuk ke lift, membawanya naik ke lantai yang dituju, baru semuanya bisa bernafas normal. Seringkali terjadi keributan setiap kali pria itu berkunjung, lebih-lebih para karyawati yang menjadikan Omar sebagai gambaran suami masa depannya. Di dalam lift, Omar terus berdecak sebal sebab lift yang dipakainya terasa lama sampai ke lantai tujuan. "Kalau sampai karena ini Nevan ganti sekretaris lagi, aku bakal skors kamu, Sophia." "Lama sekali lift ini!" Gerutunya kesal, tidak sabaran. Hingga akhirnya kesabarannya berbuah, ia sampai di lantai 7, lantai dimana khusus dijadikan sebagai tempat pertemuan apapun itu jenisnya. Di lantai ini, dibagi menjadi tiga bagian. Aula utama, ruang rapat, dan satunya lagi ialah ruang bebas yang hampir seperti kantin dengan banyak meja dan setiap sudutnya dihiasi oleh berbagai aksen-aksen yang membuat tempat tersebut menjadi nyaman. Tujuan Omar sudah pasti ke ruang bebas, sebab baru saja dia keluar dari lift, ia sudah mendengar keributan dari tempat itu. Langkahnya semakin dipercepat kala mendengar suara teriakan Sophia, sekretarisnya. "Nevan, lerai mereka!" Sorak Omar, jaraknya masih jauh dari posisi mereka berseteru. Pria yang berpakaian hampir sama dengan Omar pun mencoba melerai mereka. Dia adalah Nevan Culbert, pria berdarah Indonesia-Jerman yang menjadi CEO gedung ini. "Sophia, lepas tanganmu. Omar sudah datang, nanti telingamu ditarik sampai kantornya." Kata Nevan, menarik seorang perempuan yang dipanggilnya Sophia. Dia adalah Brenda Lan Sophia, sekretaris Omar yang paling setia. Perempuan cantik dengan body bak gitar spanyol. Dua tahun sudah ia menjadi sekretaris Omar, rekor paling lama di antara mantan sekretaris Omar yang terdahulu. Alasan kenapa Sophia masih menjadi sekretaris Omar karena dia bisa mengendalikan pria itu. Ia tegas, suka mempermainkan Omar, suka mengancam Omar dengan semua rahasia pria itu, terutama tentang banyaknya perempuan yang bersama Omar setiap harinya. Sophia juga dekat dengan keluarga Omar, terutama mamanya Omar yang selalu meminta laporan padanya. Laporan tentang kenakalan anak semata wayangnya. Sophia tidak menjadi salah satu diantara perempuan mainan Omar, sebab ia mengagumi sosok Nevan sejak pertama kali menjadi sekretaris Omar, sampai detik ini. Malah dengan Omar, Sophia selalu bertengkar dan beradu pendapat meski jabatannya sebagai sekretaris Omar. Setiap kali mengetahui Nevan dekat dengan perempuan lain, dia akan beraksi dan melakukan berbagai cara agar perempuan yang bersama Nevan menjadi tidak betah. Contohnya sekarang. Mengetahui kalau Nevan memiliki sekretaris baru, Sophia meninggalkan kantor Omar menuju kantor Nevan. Sophia menyerang sekretaris Nevan yang bernama Cindy hingga sampai saling jambak-jambakan seperti ini. "Sophia!" Omar menarik paksa Sophia hingga jambakannya pada Cindy terlepas. Sophia paling tidak suka dikekang, ingin kembali menyerang Cindy meski kondisinya sudah cukup kacau. Rambut dan baju atasannya sudah berantakan, bahkan satu kancingnya terbuka. Sophia menghempas tangan Omar di samping kedua bahunya. Menatap Omar dengan sorot mata kesal. Tanpa satu kata pun, Sophia memukul lengan Omar. "Apaan sih?!" Sophia memukul Omar lagi. Tapi apalah arti pukulan seorang wanita bagi Omar. Tidak terasa sedikitpun. "Kamu terus saja ganggu aku, Om!" "Aku kesal sama kamu yang terus-menerus muncul di hadapanku!" Tidak mendapat pukulan keras, Omar mendapatkan pukulan kecil dari Sophia entah di lengannya ataupun pukulan di dadanya. "Seharusnya kamu dukung aku, jangan lerai aku buat jambak cewek sialan itu!" Sudah menjadi hal yang biasa bagi Omar. Setiap kali Sophia seperti ini, dia lah yang menjadi samsak amarah Sophia. Entah dengan memukul, mencercanya dengan kata-kata kasar, dan yang lebih parahnya dia akan menyebarkan berita aib Omar. Namun, semakin disebar aibnya, Omar semakin meroket dalam kesuksesannya. "Berani-beraninya dia jadi sekretaris Nevan!" Nevan pun sebenarnya sudah paham sekali dengan Sophia. Ia tahu Sophia suka dengannya, tapi dia lah yang tidak suka dengan perempuan itu. Dia juga ingin menjadikan Sophia sebagai sekretarisnya, tapi Omar lah yang tidak mau melakukan hal itu. Bahkan dia sempat mentraktir Nevan voucher liburan ke luar negeri asal Nevan berhasil bujuk Sophia agar tidak berniat lagi menjadi sekretarisnya. Dan itu berhasil, Omar mengeluarkan banyak budget. "Sekarang aku gak mau tahu, aku mau resign jadi sekretarismu supaya bisa jadi sekretaris Nevan!" Mendengar itu, Omar langsung mengangkat dan memanggul tubuh Sophia seperti karung beras. Sophia terus memberontak, menendang, memukul, bahkan menggigit bahu Omar. "Nevan, ingat janjimu. Jangan sampai kamu lupa." Ucap Omar terakhir kali sebelum akhirnya benar-benar meninggalkan lantai 7 itu. "Turunin aku, Om! Aku mau jadi sekretaris Nevan aja!" *** "Mau sampai berapa jam kamu di dalam mobilku, Sophia?" Akhirnya Omar berani mengatakan hal itu setelah hampir satu jam berdiam di dalam mobil, padahal mereka berdua sudah sampai di depan bangunan apartemen Sophia. Omar beberapa kali curi pandang ke Sophia yang terus merengut kesal. Helaan nafas kasar terdengar dari Sophia. Tanpa menjawab Omar, Sophia keluar begitu saja dari mobil Omar. Melepas heelsnya kesal dan menjadikan ujungnya untuk menggores badan mobil Omar sampai lecet dengan santainya. "Aku benci kamu, Om!" Sophia melempar salah satu heelsnya dan berlari masuk ke gedung apartemen. Beruntungnya ujung heels tersebut tidak mengenai kaca depan mobil Omar, malah ke tengah jalan. Kini, giliran Omar yang merengut kesal, mengusap wajahnya kasar. Dengan berat hati dia keluar dari mobilnya, mengambil heels milik Sophia. Ia juga melihat mobilnya yang kena goresan ujung heels Sophia. "Hanya untuk membayar kemarahan yang belum tentu kamu maafkan, aku harus mengeluarkan banyak uang untuk itu, Sophia." Omar menyayangkan mobilnya yang lecet. Nasi sudah jadi bubur, Omar tidak bisa melakukan hal lain selain bersabar. Melunjak tidak akan membuat Sophia luluh, malah akan semakin berambisi untuk keluar dari pekerjaan sebagai sekretaris Omar. Omar memutuskan untuk pulang. Mobil mewahnya bertolak meninggalkan bangunan apartemen itu, menuju rumahnya. Di pertengahan jalan, dia mendapatkan panggilan dari kontak yang tidak dikenal. "Siapa ini?" Tanya Omar. "Nanti malam jam 10, di kamar nomor 304." Tut…. *** Baru saja Omar sampai di rumahnya, sudah mendapatkan lemparan tas dari mamanya, Jenny. Dia terlihat sangat kesal dengan putranya, sehingga melempari benda itu tidak hanya sekali melainkan berkali-kali. Entah dengan tasnya, ataupun heelsnya. Ia baru saja pulang dari Mall dan mendapatkan informasi dari Sophia kalau Omar telah membuatnya marah bahkan Sophia juga mengirimkan foto kalau dirinya menangis. Jenny begitu dekat dan sayang dengan Sophia, tidak hanya sekedar sebagai orang yang akan memberikannya informasi terkait apa saja yang dilakukan putranya di luar rumah, tapi juga karena menganggap Sophia seperti adiknya sendiri. Kelincahan dan keceriaan Sophia mengingatkannya pada adiknya yang sudah meninggal. "Kamu ngapain Sophia sampai dia nangis seperti itu?!" Teror Jenny, menatap tajam putranya. Omar tahu arah pembicaraan itu. Dia terlihat santai, duduk di samping Jenny dan menghidupkan televisi di depannya. "Sophia bilang apa sama mama? Perasaan dia ngadu terus deh!" Omar mengganti channel yang tadinya menampilkan acara shopping menjadi channel acara olahraga. Jenny menyerobot remote yang dipegang Omar, segera mengganti channel kembali ke acara shopping. Setelahnya, Jenny begitu tega memukul pelan kepala putranya dengan remote itu. "Jawab mama dengan jujur, Omar. Kamu ngapain Sophia sampai dia nangis seperti itu?! Mama gak mau terima alasan yang sama seperti dua hari yang lalu. Tidak mungkin Sophia menangis karena ingin resign darimu, sedangkan dia sudah cukup sabar menghadapi sikap kamu selama dua tahun ini." Dua hari yang lalu, Sophia memang pernah menangis dan Omar lah yang disalahkan. Kala itu, Sophia menangis karena ingin jadi sekretaris Nevan, bahkan sampai menaruh surat resign miliknya di atas meja Omar. Tentu saja langsung ditolak oleh Omar dan karena hal itu lah dia menangis. Dan hari ini, Sophia menangis lagi dengan alasan yang sama. Lalu Omar mau menjawabnya dengan apa lagi? Masa iya karena saling jambak-menjambak dengan Cindy, sekretaris Nevan. Omar menggedikkan bahu, "mama tanya aja kenapa dia nangis gitu. Setahu Omar dia nangis karena pengen jadi sekretaris Nevan lagi. Omar gak tahu ya alasan yang lain. Anak mama yang b******k ini sudah cukup lelah dengan sikap nakal si Brandalan Sophia itu." Bhuk! Omar kembali mendapatkan pukulan dari mamanya. "Sekali lagi mama dengar kamu panggil dia dengan panggilan seperti itu, mama ambil kunci mobil kamu ya, Omar!" Jenny seringkali kesal tiap kali Omar menyebut Sophia dengan panggilan yang demikian. Brandalan Sophia adalah plesetan nama lengkap dari Sophia, yaitu Brenda Lan Sophia. Nama panggilan itu selalu terucap tiap kali Omar marah dengan perilaku Sophia yang selalu membuatnya kesal. "Emang dia brandalan kok." Celetuk Omar lagi, cari masalah. Bhuk! Lagi-lagi dia mendapatkan pukulan dari Jenny, kali ini tepat pada mulut Omar. "Mama jahit mulut kamu, Omar!" Jenny tampak serius menempelkan ponselnya di telinga sebelah kanan. Dia benar-benar menelpon Sophia. Dan tidak lama dari itu panggilannya diterima. "Halo, sayang. Kamu masih nangis?" Tanya Jenny langsung. Nada bicaranya pun berubah jadi lembut, padahal tadi dengan Omar begitu kasar. Sudah tidak lagi menjadi hal yang mengherankan. Omar sampai menggerakkan bibirnya kesal, komat-kamit setiap kali mamanya bicara. "Giliran sama Sophia jadi lembut gitu, padahal anaknya kan aku. Hhh… entahlah! Kayaknya aku emang anak pungut." Batin Omar. "Kamu nangis karena apa, sayang? Tidak mungkin karena mau jadi sekretaris Nevan lagi, kan?" Tanya Jenny, mengaktifkan mode speaker agar Omar juga bisa mendengar. "Jangan lah kayak gitu lagi, sayang. Kalau kamu gak jadi sekretaris Omar lagi, mama gak bisa tahu kenakalan apa yang dia perbuat di luar rumah. Mama juga gak rela lho kalau kamu jadi sekretarisnya Nevan." Tanpa sadar Omar menganggukkan kepalanya. "Sama, aku juga gak rela." Sahut Omar ikut-ikutan. "Sssstttt! Kamu jangan ikutan! Nanti Sophia nangis lagi dengar suara kamu," ucap Jenny pada Omar. Dia juga menaruh jari telunjuknya di depan bibirnya Omar. "Fix, aku anak pungut." Omar membatin lagi. "Bukan, ma. Sophia nangis karena si Cindy alias si sekretaris Nevan itu menjelek-jelekkan Sophia sama Omar. Sophia tidak masalah kalau dia jelek-jelekin aku, tapi dia juga ngejatuhin Omar. " Aku Sophia. Mendengarkan pengakuan Sophia, Omar membatu. "Karena aku ternyata. Aku pikir karena Nevan lagi." "Ngejelekinnya kayak gimana, sayang?" Ulik Jenny. Tidak bisa dipungkiri dia ikutan kesal. Dua orang tersayangnya dijelek-jelekkan oleh orang lain yang sama sekali tidak dikenalnya. "Cindy itu bilang kalau Sophia suka nge-goda Nevan, meski Sophia akui memang seperti itu. Kurang ajarnya dia bilang kalau Sophia tugasnya hanya memanfaatkan dan menyusahkan Omar saja, bukan menjadi sekretarisnya." Ujar Sophia. "Cindy sangat jujur." Gumam Omar pelan. "Padahal kan Sophia cuma sedikit merecoki hidup Omar aja, bukan mau menyusahkan. Aku akan berhenti merecoki hidup Omar kalau dia sudah menikah." Sophia melanjutkan. Omar kembali menyambung, "berarti itu adalah hal yang mustahil. Setiap kali aku dekat dengan perempuan lain, kamu selalu ganggu hubunganku dengannya, Berandalan Sophia." Ujar Omar, pasrah. Sorot matanya pun kosong. Ia menghela nafas panjang, menerima nasibnya. Mendengar itu, Jenny menyambung lagi. "Itu karena mama yang suruh dia supaya ganggu kamu dengan perempuan itu, bila perlu jangan ketemu lagi. Mama gak mau kamu sama cewek yang gak benar." Ujar Jenny pada Omar. "Aku tahu…." Omar benar-benar sudah pasrah. Sophia kembali melanjutkan ceritanya tentang apa saja yang Cindy katakan padanya di gedung kantor milik Nevan. Terus fokus mendengarkan, Jenny dan Omar ikut kesal mendengarnya. Bahkan Omar sampai mengepalkan tangannya. "Dan karena dia meng-email punya foto Omar bermesraan dengan perempuan lain, Sophia langsung ke sana. Juga karena Sophia tahu Nevan punya sekretaris baru juga sih. Tapi Sophia gak tahu kalau sampai saling jambak-jambakan di sana. Benar-benar di luar kuasa Sophia." Tentang kenakalan Omar yang sering gonta-ganti pacar memang sudah diketahui oleh Jenny. Dia mendapatkan semua informasi itu dari Sophia. Dan sejauh ini, hanya Sophia lah satu-satunya perempuan yang belum terpincut oleh pesona kenakalan Omar. Akan tetapi, sejauh Sophia bercerita, tidak satupun diantaranya yang membuat sedih, malah terkesan kesal sampai Jenny sendiri ingin ikut menjambak Cindy. Lalu letak kesedihan Sophia dimana sampai dia menangis? "Maaf, sayang. Tapi kamu beneran nangis karena dia menjelekkan Omar? Jujur, mama gak sedih, malah ikut marah." Kata Jenny. "Sophia menangis karena heelsku yang sebelahnya dibawa pulang Omar! Itu pemberian Nevan, dibeli dari Paris!" Sophia histeris, kembali menangis heels yang tadi dilemparnya sebelum berlari masuk ke apartemen. Seketika Jenny langsung menoleh ke Omar. Menatap tajam putranya sendiri. "Mama sunat kamu ya, Omar!" "Bukan salah aku! Dia sendiri yang lempar heelsnya ke jalanan. Dia juga menggores badan mobilku. Seharusnya aku dong yang marah, tapi kok dia yang nangis? Aku rugi banyak lho, ma." "Dimana heels itu sekarang?" "Di mobil." "Antar sekarang juga!" *** "Nih! Jangan sedih lagi, aku gak mau jadi samsak kemarahan mama di rumah!" Omar menyerahkan sebuah paper bag itu kepada Sophia yang sedikit membukakan pintu apartemennya untuk Omar, sekitar tiga kepal. Omar baru bisa mengantarnya jam 9 malam karena dia punya keperluan dengan temannya sebelum akhirnya mengantarkan heelsnya Sophia. Dengan cepat Sophia menyambar paper bag itu dan menutup pintu apartemennya tanpa kata. Tapi, tidak lebih dari satu menit, pintu kembali terbuka. "Jangan masuk. Aku belum bersih-bersih apartemen. Sampaikan salamku saja sama mama dan papa, weekend aku ke rumah." Brak! Sophia menutup pintu apartemennya lagi, lebih keras dari sebelumnya. Bukan hal yang mengherankan bagi Omar, itu terjadi setiap kali dia mendatangi apartemen perempuan itu. Entah dengan tujuan mengantarkan titipan Jenny ataupun menjemput Sophia ketika weekend. Sophia tidak akan mengizinkannya masuk dan membiarkannya menunggu berjam-jam di luar pintu. Bahkan pernah Omar menunggu lama dengan alasan bahwa perempuan itu sedang make-up, tapi kenyataannya malah ketiduran. "Sabar, Omar. Dia kesayangan mama kamu, sedangkan kamu adalah anak pungutnya." Gumamnya, meninggalkan bangunan apartemen itu. Dia lanjut berkelana menuju sebuah hotel yang tidak jauh dari apartemen Sophia, untuk sebuah pertemuan rahasia. *** Hampir mau jam 12, Sophia keluar dari apartemennya untuk membeli makanan instan di supermarket dekat apartemennya. Ia sering lupa makan dan satu-satunya jalan ninja yang dia lakukan adalah membeli makanan instan, entah itu roti ataupun makanan penjanggal perut yang lainnya. "Berapa?" Tanya Sophia pada kasir itu. "Tujuh puluh lima ribu, kak." "Ini." Sophia menyerahkan uang lembaran warna merah muda dan menunggu menerima kembaliannya. Sembari menunggu, tanpa sengaja mata Sophia tertuju pada hotel di depan supermarket tempatnya belanja. Ia melihat mobil yang familiar dan tidak lama dari itu keluar pria yang sangat dikenalnya. Pria itu adalah Omar Jones. "Aku aduin ke mama, mampus kamu Omar!" Sophia segera mengeluarkan ponselnya dan mengambil gambar ke arah mobil itu. Tersenyum licik, ia sudah mendapat bukti dan besoknya Omar tidak akan mengelak lagi. "Ini kak kembaliannya." Ucap kasir itu lagi, memberikan kembalian belanjaan kepada Sophia. "Terimakasih." Bertepatan dengannya keluar dari supermarket itu, bertepatan dengan mobil Omar yang pergi dari hotel itu. "Mampus kamu, Omar. Mobil kamu disita setelah ini." Seharusnya setelah balik dari supermarket, dia akan makan dan lanjut tidur karena besok dia harus bekerja lagi. Tapi, Sophia malah berkhianat dengan jadwal sehari-harinya. Malah ia membuka laptopnya untuk menonton drama Korea yang baru saja update sesuai dari notifikasi yang masuk ke ponselnya. Sambil makan, sambil nonton. Habis satu episode, Sophia kepincut ingin menonton drama Korea yang lain. Hingga akhirnya dia kebablasan nonton sampai jam 3 dini hari, itu pun dia sendiri lah yang ditonton oleh drama Korea itu. Alhasil, Sophia terlambat bangun. Dia yang biasanya bangun jam 6 pagi, malah molor hingga jam 8 pagi. Belum lagi bersiap-siap. Sejak jam 7 pagi, Omar sudah menelponnya, menyuruhnya untuk segera datang ke kantor sebab Omar memerlukan data yang dipegang oleh Sophia. Setelah bersiap ini, bersiap itu, Sophia sampai di kantor jam 10 pagi jelang siang. Dengan santainya Sophia tersenyum manis pada Omar yang sudah lelah memendam amarahnya sejak 3 jam yang lalu. "Hai, Om!" Sapanya. Tidak hanya karena Sophia terlambat masuk kerja, tapi pakaian yang dipakai Sophia hari ini membuat Omar semakin marah. "Apa kamu tidak punya cermin di kamarmu? Tidak punya baju yang lebih layak dipakai?!" Rahang Omar sampai mengetat mengatakan hal itu, saking geramnya. Tetap santai, Sophia menjawab, "tentu saja aku punya cermin, Om. Memangnya kenapa? Cermin di kamarmu hilang? Kasihan sekali, tapi aku tidak peduli." Sophia beranjak ke meja kerjanya dan duduk. Tapi, ia teringat kalau belum menjawab satu pertanyaan Omar, membuatnya bangkit lagi. "Dan terkait baju yang aku pakai, bukannya aku biasa pakai gini? Atau kamu mau aku pakai yang lebih ketat?" Tanya Sophia, pintar memancing amarah Omar. "Sebentar lagi ada tamu yang datang ke sini. Sebelum dia datang, cepat ganti baju kamu!" Perintah Omar. "Aku gak bawa baju ganti, Om—" "Jangan ngeyel! Baju gantimu banyak di ruanganku, Brandalan Sophia!" Bentak Omar dan masuk ke ruangannya dengan penuh amarah. Masih santai, masih dengan senyuman cantiknya, Sophia beranjak masuk ke ruangan Omar. Baru saja dia masuk, lagi-lagi memancing emosi Omar. "Aku ganti di sini atau di mana?" "Di luar!" Jawab Omar ketus. Setelah membawa baju gantinya dari ruangan pribadi Omar yang tersambung dengan ruangan kerjanya, Sophia kembali bertanya. "Omar, aku gantinya di mana?" "Di lobi!" Sahut Omar, kesabarannya sudah hampir habis. "Oke!" "Brandalan Sophia!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN