Atasan kemeja dengan dua kancing atas yang sengaja dibuka dipadukan dengan bawahan rok span ketat yang menjadi ciri khas Sophia, memperlihatkan lekuk tubuhnya. Sophia masih asyik menguji kesabaran seorang Omar Jones yang ingin marah-marah setengah mati. Akan tetapi, tidak ada waktu lagi untuk memarahi perempuan pembangkang seperti Sophia sebab dua tamu penting yang ditunggu-tunggunya sudah sampai.
"Kamu kalah, Om. Kamu gak bisa marah sama aku!" Ejek Sophia, memeletkan lidahnya ke Omar.
"Setelah rapat ini, jangan kabur. Kamu masih punya urusan denganku, terutama dengan rok span kurang ajar ini!" Tegas Omar.
"Entah mengapa aku ingin menggunting semua rok span milikmu!"
Bukan Brenda Lan Sophia namanya kalau tidak membuat Omar semakin marah. Dia hanya mengedik bahu tidak peduli, sengaja mengeluarkan gincu merah meronanya dan mengunakan benda itu. Menjilati bibirnya tuk menantang Omar yang semakin keki.
"Menggunting rok spanku hanya ada di mimpimu, Om. Itu tidak akan aku biarkan terjadi."
Keduanya masih ada di luar, bertengkar manja dengan kata-kata mengancam yang dilempar oleh masing-masing dari mereka. Sedangkan dua tamu penting tadi sudah memasuki ruangan.
"Hapus make-up nenek lampirmu itu, Sophia. Kamu terlihat seperti nenek-nenek kalau gincumu setebal dosamu padaku." Omar geram sekali, ingin menghapus make-up Sophia yang begitu berlebihan.
"Tidak baik melewatkan kesempatan, Om. Klienmu sangatlah tampan dan menarik perhatianku." Malah dia semakin mempertebal gincu merah darahnya.
"Mungkin setelah ini salah satu diantara keduanya bisa jadi gandenganku. Karena itu, kamu jangan pelit kasih kontak mereka atau nanti aku nekat resign dan pindah ke perusahaan mereka." Imbuhnya.
"Itupun kalau kamu berani." Tantang Omar tidak mau kalah.
Sophia sengaja berlagak membersihkan jas Omar, sembari terus tersenyum manis pada salah satu pria yang sudah ditandainya itu. Pria dengan lesung pipi yang membuatnya semakin terlihat manis ketika tersenyum.
"Lihatlah… senyumnya sangat manis, Om. Kalah jauh dengan senyummu yang setara dengan kopi pahit itu."
Menepuk bahu Omar sekali dan berkata, "kamu tidak terlihat sama sekali kalau ada di dekat pria itu. Dan ya, jangan marah kalau kamu mengaku sebagai pria sejati. Aku hanya mengatakan kebenaran yang pahit ini padamu supaya kamu siap menerima penolakan lain nantinya."
Sophia lebih dulu memasuki ruangan rapat, menyalami dua pria yang menjadi klien Omar. Gesture tubuh Sophia memang menunjukkan kalau dia tertarik dengan pria yang punya lesung pipi itu, ia bahkan sengaja cipika-cipiki dengannya dengan begitu mesra di depan Omar.
"Perkenalkan, saya Brenda Lan Sophia, sekretarisnya pak Omar Jones." Ujar Sophia memperkenalkan diri.
"Saya Arka Bagaskara."
"Alfarezi Fabian."
Diperhatikan penuh oleh Omar, rahangnya semakin mengetat tidak terkendali. "Aku laporkan kamu ke mama kalau sampai berani memacari salah satu diantara keduanya, Brandalan Sophia! Biar mama tahu kalau kamu lah yang harusnya dimarahi, bukan aku!"
"Oke, kita mulai saja rapatnya!" Seru Omar.
***
Beberapa kali Omar memperhatikan gelagat Sophia yang tampak tidak nyaman dengan duduknya. Beberapa kali juga Omar mendengar decakan darinya yang membuat mereka tak sengaja menoleh, namun ketika itu terjadi Sophia mengulas senyumnya kemudian melanjutkan pekerjaannya.
Hingga akhirnya ketika klien Omar—Alfarezi dan Arka—memakan jamuannya, baru akhirnya Sophia bisa mengutarakannya. Ia mendekati Omar dan berbisik, "Om, sepertinya aku datang bulan deh. Tapi, rasanya darahku sudah nempel di sofamu. Bagaimana ini?" Tanyanya kebingungan.
Ia mengulas senyumnya lagi pada dua klien Omar, "silakan dimakan dulu jamuannya. Saya meminta maaf apabila jamuan yang kami berikan masih kurang memuaskan." Kata Sophia bersikap sopan.
Meski sebelumnya dia sempat berlagak dekat dengan salah satu diantaranya, namun itu semua murni untuk memancing emosi Omar. Ini seringkali dilakukan oleh Sophia, akan tetapi tetap saja bahwa Nevan lah pemenangnya. Dia terlalu terobsesi dengan Nevan dan segala hal tentang pria itu.
"Perut kamu sakit, gak? Atau aku perlu ajak teman-temanku ke ruanganku?" Tanya Omar.
"Eee… mungkin kamu ajak mereka keliling aja. Stok pembalutku masih ada di ruanganmu. Aku juga mau ganti di kamar mandi ruanganmu aja soalnya toilet di samping suka mampet airnya." Balas Sophia, ia sedikit meringis menahan sakit perutnya.
"Perut kamu sakit banget?" Tanya Omar lagi. Dia sempat ingin menyentuh perut Sophia, tapi berhasil ditahan.
"Sedikit." Balasnya.
"Oke kalau begitu aku ajak mereka keluar, kamu ganti rok mu dengan celanaku, jangan pakai rok span lagi."
"Oke. Makasi, Om."
Omar bangun, membuat dua pria itu menatapnya. "Karena kita sudah sepakat untuk menjalin kerjasama, bagaimana kalau aku ajak kalian ke bawah? Aku akan kenalkan kalian dengan beberapa hal yang ada di kantorku atau mungkin juga nanti kalian akan menemui beberapa cewek cantik yang bisa kalian jadikan pacar atau semacamnya." Kata Omar, tersenyum begitu yakin.
Namun, karena hal itu lah Omar malah ditertawakan.
"Ada apa?" Tanya Omar.
"Sepertinya kamu lupa, Omar. Aku dan Arka sudah menikah. Kalau kami mau nambah istri lagi, bisa perang dunia ketiga kami sampai di rumah nanti." Ujar Alfarezi, lanjut menertawakan Omar.
"Kalian sudah menikah? Kapan? Kok aku gak tahu?!" Omar dan Sophia saling tatap, tapi tetap saja jawabannya hanyalah gelengan dan gedikan bahu.
Atau jawabanya mungkin saja lupa.
"Sudah. Kamu hadir, tapi sebentar aja." Jawab Alfarezi lagi, sedangkan pria yang satunya yang bernama Arka hanyalah diam tidak membalas dengan ucapan, melainkan anggukan.
Omar berusaha mengingat, tapi tidak bisa menemukan jawabannya. Pikirannya malah berputar pada perut Sophia yang sakit.
"Kalau begitu, kita cari cewek buatku saja. Ayo kita ke bawah!" Omar mendapatkan tepukan di bokongnya dari Sophia.
"Aku bilangin mama!"
***
Sophia sibuk mencari-cari keberadaan pembalutnya di ruangan istirahat Omar. Terakhir kali dia menaruhnya di laci dekat lemari, namun yang ia dapatkan hanyalah dasi-dasi milik pria itu.
"Jangan bilang kalau Omar yang pakai semua pembalutku, makanya gak ada di sini!" Kesalnya sampai menuduh Omar lah pelakunya.
Dia sudah mencari ke semua tempat yang ada di kamar itu, tapi tidak menemukannya sama sekali. Sedangkan keadaannya sekarang roknya sudah penuh dengan darah menstruasinya. Membuatnya sangat tidak nyaman.
"Sudah?" Tanya Omar.
Setelah sekian lama pria itu mengajak teman-temannya ke bawah, akhirnya dia balik lagi ke ruangannya. Hanya memunculkan kepalanya di sela pintu yang terbuka, tidak masuk begitu saja meski ruangan itu ialah miliknya pribadi.
"Aku gak nemuin pembalutku dimana, Om. Bulan lalu aku ingat banget naruhnya di laci dekat lemari, tapi sekarang udah gak ada, " ujar Sophia masih terlihat sibuk mencari dan mencari. "Kalau kamu gak keberatan, tolong beliin aku pembalut sebentar aja. Aku gak bisa keluar, rokku sudah penuh darah." Sambungnya begitu santai seakan-akan itu adalah hal yang biasa.
Omar masuk ke dalam ruangan itu. Dia menarik tangan Sophia untuk mengikutinya ke kamar mandi. "Sudah berapa kali aku katakan, Sophia. Pembalutmu ada di samping penyimpanan celana dalamku." Sembari menyerahkan satu pembalut ke Sophia.
"Kamu udah bawa celana ganti?" Tanya lagi.
Sophia menggeleng. "Belum sempat. Sibuk cari pembalut tadi."
"Ya udah. Tunggu sini aku ambilin."
Tidak lama dari itu, Omar balik lagi dengan membawakan celana untuk Sophia. "Ini celana yang agak ketat, kebiasaan kamu kalau lagi menstruasi."
Omar tahu segalanya tentang Sophia, tapi Sophia malas tahu semuanya tentang Omar. Sebab yang ada di pikiran Sophia hanyalah satu nama, NEVAN.
***
"Kok gini amat ya sakitnya? Tumben-tumbenan sakit banget." Gerutu Sophia yang memeras perutnya sendiri akibat sakit datang bulan.
Dia tidak fokus bekerja lagi, malah sekarang tubuhnya gemetaran tidak karuan akibat datang bulan. Kepalanya sudah bertumpu pada meja, menahan rasa sakit perutnya.
"Sophia, masuk sebentar ke dalam. Buatkan aku kopi." Perintah Omar melalui telepon konvensional di sampingnya.
"Maaf, Om. Aku kayaknya gak bisa. Perutku sakit banget." Tolak Sophia.
"Perlu ke rumah sakit?" Suara Omar seperti sedang khawatir.
"Kalau tidak merepotkanmu."
Tidak lama dari itu Omar keluar dari ruangannya. Ia menemukan Sophia yang tampak lemas, dipanggil pun tidak nyahut dan terus meremas perutnya.
"Sophia, ayo ke rumah sakit!"
"Astaga... kenapa kamu lemas gini? Tidak biasanya kamu seperti ini, Sophia." Omar pun jadi begitu khawatir melihatnya. Sophia terus meremas perutnya sedangkan tubuhnya lemas. Omar juga merasakan tubuh Sophia bergetar.
"Aku gak tahu...." Gumam Sophia lemah.
"Ini lah akibatnya kamu ngelawan sama aku. Kamu langsung dapat karma dari Tuhan!" Omar malah marah-marah.
Dengan cepat Omar membawa Sophia ke rumah sakit terdekat dari kantornya. Ketika ia tiba, sudah ada dokter cantik yang berlari menemuinya.
"Dia kenapa Omar?" Tanya dokter cantik dengan nametag Farahila.
"Dia lagi menstruasi, tapi tumben-tumbenan dia sampai selemas ini. Biasanya tidak seperti ini, biasanya dia marah-marah kayak cewek menstruasi biasanya." Ujar Omar memberitahukan sebab awal Sophia sampai seperti ini.
"Farah, tolong kamu tangani dia." Pinta Omar.
Tapi apa yang terjadi? Dokter Farahila itu malah mengkhawatirkan keadaan Omar. "Tapi kamu tidak apa-apa, kan? Kamu sering bilang sama aku kalau dia seringkali bikin tensi kamu naik."
"Tidak. Aku tidak kenapa-napa, kamu tangani dia saja. Aku takut dimarahin mama kalau sampai dia kenapa-napa." Ujar Omar.
Dokter Farahila ini memang memusatkan perhatiannya penuh pada Omar, bukan pada pasiennya. Sehingga apapun yang terjadi, dia malah lebih mengkhawatirkan dan peduli dengan Omar, dibandingkan dengan pasien yang sudah meringis kesakitan di depannya.
"Kamu udah minum vitamin mu belum?" Tanya Farah pada Omar lagi.
"Omar, aku mau pulang aja! Aku gak mau dirawat sama mantanmu!" Sahut Sophia penuh emosi.