“Oliv, pokoknya Mama nggak mau tahu ya? cepat hapus riasanmu itu sekarang juga? Terus, apa-apaan itu kacamata? Jelek banget tahu. Copot nggak sekarang?”
“No!” Olivia berusaha mempertahankan kacamata besar yang dikenakannya untuk penyamaran ini.
Catherine hanya menghela napas panjang menghadapi putrinya yang keras kepala. Ia mengambil tisu, Olivia menutupi wajahnya yang sudah ia rias sedemikian rupa agar ia terlihat jelek. Ia juga sudah memasang jerawat-jerawat palsu di pipinya.
“Olive!” Catherine menjerit frustrasi menghadapi kekeras-kepalaan putrinya yang mulai menjengkelkan. “Pokoknya cepat hapus riasan jelek itu. Bukannya kamu kursus rias wajah biar tambah cantik, tapi ini malah tambah jelek.”
“No problem, Mom. Cause I like it!” Seru Olivia—tak mempedulikan gerutuan Mamanya.
Dulu ia memang merengek minta diizinkan ikut kursus merias wajah. Awalnya Mamanya tak mengizinkannya dengan alasan wajah Olivia sudah cantik sejak lahir, jadi tidak perlu dirias lagi, hanya cukup dirawat dengan baik. Tapi karena Olivia terus merengek, akhirnya Catherine terpaksa mengizinkan putrinya ikut kursus kecantikan. Ia tak mengira, Olivia justru menggunakan bakatnya untuk mengubah wajahnya menjadi buruk rupa. Catherine menyesal telah mengizinkan putrinya kursus kecantikan dulu.
Olivia mengambil gaun model kuno, mengenakannya di depan Mamanya yang masih menggerutu di kamarnya.
Catherine memekik melihat penampilan putrinya ketika mengenakan gaun super jelek itu. “Ya Tuhan, apa lagi itu?” jantungnya nyaris copot ketika melihat putrinya tampak asing di matanya.
Olivia-putrinya semata wayang yang cantik jelita, berpenampilan seperti tante-tante girang yang menjajakan jasa seks komersial di pinggir jalan.
“Ganti bajumu sekarang!” sudah habis kesabaran Catherine menghadapi kekonyolan putrinya. Ia sungguh sangat tak mengerti, bagaimana bisa Olivia yang cantik, berpenampilan seperti itik buruk rupa. Apalagi pertemuan malam ini sungguh sangat penting bagi mereka. Catherine tak akan membiarkan putrinya mengacaukan rencana perjodohan ini.
“No, Mom. I really like this gown.” Gumam Olivia sambil memperhatikan penampilannya di depan cermin rias kamarnya. Gaun blink-blink itu sungguh sangat jelek, membuat pandangannya sendiri sakit melihat kerlap-kerlip manik-maniknya yang beraneka warna. Apalagi potongan bahunya yang kaku, membuat tubuh perfeksionisnya berubah seperti tubuh seorang ibu-ibu era tahun 70-an.
Catherine mendengus kesal melihat kelakuan putrinya. Ia sengaja memesan gaun-gaun rancangan desainer terkenal yang sangat modis untuk putrinya kenakan. Ia juga sering membelikan sepatu merk terkenal supaya Olivia memakainya. Kemana semua pakaian dan sepatu yang ia belikan itu? Kenapa justru gaun jelek yang membuat matanya terasa sakit yang malah dikenakan putrinya.
“Cepat copot gaun itu sekarang!” mata Catherine melebar oleh amarah, Olivia mulai menyadarai perubahan emosi Mamanya. Tapi ia mengacuhkannya. Ia malah mengenakan parfum murahan di gaun tersebut.
“OLIVIA LAURA ADRIENNA.” Mamanya menyebut nama lengkapnya dengan penuh emosi yang meluap-luap.
“No, I don’t want to take off all of this.”
Olivia bersikeras memakai baju yang sudah susah payah ia pesan melalui daring. Ia sengaja memesan gaun mengerikan itu untuk dikenakan di malam ini.
“Ganti pakaianmu, hapus riasan jelek itu, dan copot kacamata itu sekarang!” Catherine mulai mengancam.
Olivia mencoba menantang Mamanya. Ia akan tetap memakai semuanya tanpa terkecuali.
“Big No!”
“Aku akan buang semua kaset BTS dan poster-poster tanda tangan mereka.”
“NO, Mom! Please don’t do it!” kali ini ia menyerah. Ia lebih baik menuruti keinginan Mamanya dibanding ia harus kehilangan semua koleksi poster bertanda-tangan para member BTS. Ia sudah susah payah mengumpulkan semua koleksinya bertahun-tahun. Ia takkan membiarkan Mamanya membuang foto-foto kekasih imajinasinya. “You know, Mom? you really like Emak Lampir.” Ia mulai mengejek ibunya dalam Bahasa Indonesia yang mulai ia hapal.
“I don’t care!” Olivia hanya merengut ketika Catherine membalas ejekannya dalam bahasa Inggris. Padahal biasanya Mamanya selalu merespon bicaranya dalam bahasa Indonesia, Catherine bersikeras menggunakan bahasa Ibunya, karena rasa nasionalisme yang tinggi terhadap Bahasa Indonesia.
***
Catherine membawanya ke sebuah restoran jepang yang cukup mewah. Ia berjalan melintasi koridor restoran, menapaki lantai marmer putih yang berbunyi di setiap derap langkah yang dilakukannya.
Sepanjang perjalanan, ia berdoa semoga Alex tidak datang di pertemuan itu. Jadi rahasianya tetap aman. Ia tak mau Alex menyadari siapa gerangan dirinya. Mereka menyewa satu ruangan ekslusif untuk pertemuan perdana mereka.
Adeline sudah tiba lebih dulu bersama suaminya, sedangkan Olivia dan Catherine datang tak berselang lama dari waktu tiba mereka.
“Kate,” Adeline berdiri menyambut kedatangan sahabatnya. Ia langsung memeluk Catherine dengan erat. Dari sudut matanya butiran air bening menetes perlahan. “Aku kangen kamu, gimana kabarmu di sana, hah?”
Mereka sudah berpisah nyaris enam tahun, kerika Catherine terpaksa tinggal di Amerika untuk melanjutkan pengobatan tumor otak yang diidapnya.
Karena itulah mereka terpaksa tinggal di luar negeri hingga dokter menyatakan kalau Catherine berhasil melawan tumor tersebut. Akhirnya mereka kembali ke Indonesia, sedangkan Olivia terpaksa menunggu setahun lagi untuk melanjutkan studinya di sana, sebelum akhirnya ia pun pulang kembali ke Indonesia untuk menetap di tanah kelahirannya.
“Aku sudah sembuh sekarang. Jadi kondisinya mulai kembali normal. Kau lihat, rambutku sudah tumbuh seperti sedia kala.” Catherine mulai bercerita pada Sofia—sahabatnya.
“Syukurlah. Aku sungguh kaget mendengar berita tentang dirimu. Kau tidak mengabarkanku.”
“Maafkan aku, Adeline. Kala itu kondisiku sedang kalut. Aku tidak bisa berpikir apapun. Josh tanpa pikir panjang langsung membawaku berobat di luar negeri. Itupun kami pergi secara mendadak.”
“Tidak apa-apa, Kate. Aku mengerti, yang penting kondisimu saat ini sudah sehat kembali.”
“Terimakasih doa dan dukungan yang terus kau berikan untukku.” Ucap Catherine sambil memeluk Adeline kembali, kali ini dengan sangat erat. “Oh, iya. Ini perkenalkan putriku, Olivia.”
Adeline menatap Olivia dengan tatapan takjub. Sungguh, gadis yang berdiri di belakang sahabatnya luar biasa cantik. Kecantikan Olivia bersinar seperti mentari pagi.
“Hallo, Auntie.” Olivia berusaha menyapa calon mertua dengan gugup.
“Maafkan, aku. Putriku masih belum terbiasa bicara Bahasa Indonesia. Dia masih sedikit kaku, karena sudah enam tahun dia berbicara bahasa Inggris.”
“Tidak apa-apa, aku mengerti kok. Lagipula Alex juga pintar bahasa Inggris. Jadi tidak masalah bagi mereka untuk berkomunikasi, ‘kan?” ujar Adeline begitu memaklumi kekurangan Olivia dalam berbahasa. “Oh, iya, kamu sudah bertemu dengan Alex ‘kan?”
Olivia tampak bingung ingin menjawab. Ia ingin sekali berkata tentu saja ia sudah bertemu Alex, jauh dari pertemuan mereka kemarin. Tapi tentu saja, Olivia tidak akan menceritakannya.
“Yes, I did.”
Adeline tersenyum lembut sambil menggandeng Olivia di sisinya. Wanita cantik itu menggiring Catherine dan putrinya untuk duduk sebelum mereka membicarakan perjodohan ini lebih lanjut. “Kita duduk dulu ya? kalian juga baru saja tiba, belum pesan makanan. Kalian mau pesan apa?”
“Just a cup of tea, please.”
Tak berselang lama seorang pelayan muncul di ruangan mereka, mencatat semua pesanan, lalu mengambil buku menu yang tergeletak di atas meja.
Beberapa saat kemudian pesanan mereka tiba. Tanpa ragu, Catherine langsung menyantap makanan yang ia pesan, sedangkan Olivia hanya sibuk mengaduk-aduk sendok minuman.
“Diminum, Liv. Jangan dilihatin aja.”
Olivia pun mulai meminumnya. “Sebentar lagi, Alex tiba.”
Mendengar komentar dari calon ibu mertuanya, Olivia langsung tersedak minumannya. Ia terbatuk-batuk. Catherine sampai harus menepuk-nepuk punggungnya.
“Kau grogi ya mau ketemu Alex?” ledek Adeline, membuat Olivia salah tingkah dibuatnya.
***
[pokoknya, Mama nggak mau tahu. Kamu harus datang di pertemuan malam ini.] pesan itu muncul di layar notifikasi ponselnya. Alex hanya membacanya sekilas, lalu membalikkan layar ponselnya menghadap ke bawah, agar ia tidak bisa melihat pesan ancaman atau omelan yang dikirimkan ibunya karena ia sengaja tidak muncul di perjodohannya malam itu.
“Siapa? Nyokap?”
“Ho oh, siapa lagi yang bisa kirim teror malam-malam.”
“Kalo kirim telor mending bisa dimakan, ya nggak?” Dion mulai bercanda, berusaha mencairkan ketegangan sahabatnya yang sedang dirundung emosi.
“Nggak lucu, tau!” komentar Gerald.
“Ih, emangnya siapa yang bilang lucu. Lagian siapa juga yang mau jadi pelawak!” ujar Dion membalas komentar Gerald.
Gerald hanya menjulurkan lidahnya sambil memokuskan perhatiannya kembali ke game online di layar ponselnya. Sedangkan Alex terlihat galau karena sejak beberapa jam lalu, ia tak juga bertemu dengan gadis penyanyi yang ditemuinya kemarin.
“Ada yang lagi galau!”
“Hush, diam! nanti dipecat jadi temen Alex baru tahu rasa lho!” celetuk Gerald, ceplas-ceplos.
Ketiganya sudah saling mengenal sejak mereka bersekolah di tingkat pertama SMP. Semenjak itu, mereka menjadi teman baik, Alex selalu setia menolong sahabat-sahabatnya. Gerald maupun Dion juga bersyukur memiliki Alex yang begitu peduli pada mereka. Kalau bukan Alex, mungkin mereka akan terjebak dalam dunia hitam, obat-obatan terlarang.
“Udah, deh Lex. Nyerah aja. Sekarang mending temuin tuh calon bini. Terus kau bisa bawa dia ke dokter kecantikan terus operasi deh mukanya agar mirip siapa tuh namanya?” Gerald berusaha mengingat nama eksentrik yang dimiliki penyanyi kafe kemarin.
“Atun, namanya Atun.” Kata Dion menimpali.
“Iya, Atun, Zaitun. Udah lupain dia. Fokus sama yang di depan mata tuh sekarang. Lagi nunggu dipinang.” Ujar Gerald lagi.
“Akh, berisik kalian. Mending kalian pulang aja deh, daripada ganggu orang lagi ikhtiar.”
“Jiah, pake istilah ikhtiar segala, brother. Udah, anggap aja si Atun, Zaitun itu cuma cemilan sesaat, bukan menu makanan utama. Jadi nggak bakal bikin kenyang, perut, Bro.” Komentar Gerald, berusaha meyakinkan Alex untuk berhenti mengharapkan gadis penyanyi itu.
“Alah, berisik kalian semua. Udah sana pergi yang jauh. Ke antartika kek, panasin tuh gunung es. Atau ke gurun kek, coba bekuin itu padang pasir. Pokoknya kemana aja, yang penting jangan ganggu, titik!” gerutu Alex pada kedua sahabatnya.
“Ya udah Ger, kita pulang aja yuk. Darimana kita di sini lama-lama. Entar bakal hadi samsak tinju Alex lagi.” Dion pun menyerah. Ia memilih pulang dan mengajak Gerald ikut bersamanya.
“Alah, bilang aja kamu mau nebeng, ya ‘kan?”
Dion menyeringai sambil menggaruk kepalanyang yang tidak gatal. “Hehehe, tahu aja.”
“Kemana mobil babeh? dimaki-maki, baru tahu rasa?”
“Biasa, disekolahin dulu.” Ujar Dion.
“Lah, bukannya biasanya kalo yang disekolahin cuma BPKB? Kok ini sama mobil-mobilnya?”
“Iya, soalnya BPKB juga belum lunas, jadi mobilnya sekolah dulu sama orang, biar bisa cari duit sendiri.”
“Bilang aja disewa orang! Gitu aja kok ribet.” Gerald mengocehi Dion. “Ya udah, kita pulang duluan, Bro.” Kali ini gerald pamit pada Alex yang masih sibuk memperhatikan setiap tamu yang masuk ke dalam kafe.
“Udah, sana pulang! pulang! mau pulang aja berisik banget!”
“Assalamualaikum, bang Rolex.” Gerald senang sekali memanggil Alex dengan sebuat Rolex. Karena bagi dia, Alex seperti jam Rolex yang mahal, berharga bagi mereka berdua.
“Udah sana-sana, pergi!!!” Alex lantas mengusir dua sahabatnya yang menjengkelkan itu.
***