Lamaran Bocah Kecil

1126 Kata
Olivia terbatuk-batuk karena tersedak minumannya. “Kau nggak pa-pa, Olive?” tanya Adeline dengan wajah khawatir. “It’s okay Auntie. I’m fine.” Ujarnya sambil berusaha menghentikan batuknya. “Makanya kalau minum tuh pelan-pelan,” Adeline mengomel sambil terus mengusap-usap punggungnya dan mengelap minuman yang menumpahi meja. Olivia tersedak minuman ketika menyadari Alex—calon suaminya akan muncul di hadapannya. Ia belum merias wajahnya dengan jerawat-jerawat palsu. Ia juga mengenakan pakaian modis hadiah ibunya. Olivia takut jika Alex melihatnya dengan penampilan ini, Alex akan menyadari siapa dirinya. Olivia tak mau itu terjadi. Pintu ruangan terbuka, aroma parfum maskulin yang khas tercium oleh inderanya. Jantung Olivia berdetak kencang, sambil berusaha menenangkan dirinya ia mulai menutupi wajahnya dengan rambutnya, berharap Alex tidak menyadari siapa dirinya. “Astaga...” terdengar pekik keras menggema dari Adeline yang terkejut melihat putranya muncul di sana. “Jonathan, apa yang kau lakukan di sini, hah?” ia terdengar marah pada putra bungsunya yang muncul tiba-tiba. Olivia beringsut dari kursinya, tak berani menatap pria yang berdiri tepat di belakangnya. Ia bisa merasakan keberadaannya. Bulu kuduknya yang berdiri sudah memperingatkan akan datangnya ancaman dari pria itu. “Kakak yang menyuruhku datang.” Suara itu terdengar tidak seperti suara Alex. Tapi, Olivia tak bisa memastikannya. Ia terus merunduk—menyembunyikan wajahnya. “Terus kemana Kakakmu sekarang?” Adeline mulai mengomeli putra bungsunya sekaligus memaki putra sulungnya yang membuatnya kesal karena tidak memenuhi panggilannya. “Dia pergi lagi.” Ujar Jonathan sambil merajuk karena ibunya justru malah mengomelinya. Padahal bukan salahnya jika ia terpaksa harus datang ke restoran ini. “Terus kamu ngapain di sini?” “Ya aku harus datang mewakili kakak melamar calon istrinya.” “Jangan macam-macam kau Jonathan. Usiamu baru lima belas tahun. Kau harusnya fokus pada nilaimu yang luar biasa bagus itu.” Sindir Adeline tentang nilai-nilai Jonathan yang selalu membuat kepalanya sakit. Jonathan bukan ahli matematika seperti kakaknya, tapi bocah laki-laki itu gemar sekali mengotak-atik otomotif. Di usia dia yang baru beranjak lima belas tahun, Jonathan berhasil merakit motor buatannya sendiri. “Apa tawaran yang kakakmu berikan?” “Sparepart motor terbaru.” Jawab Jonathan dengan suara riang. Menyadari kalau bukan Alex yang datang, Olivia pun akhrinya memberanikan menoleh ke arah Jonathan. Jonathan terperanjat melihat kecantikan Olivia. Mulutnya menganga lebar, nyaris saja liurnya menetes keluar ketika melihat wajah Olivia yang memukau. “Astaga, ya Tuhan... apa kau calon istri kakakku? apa aku akan punya kakak ipar secantik kau?” Jonathan mengedipkan matanya berkali-kali, nyaris tak mempercayai penglihatannya. Jonathan beranjak dari tempatnya berdiri, ia merunduk di hadapan Olivia. Seperti seorang pangeran yang sedang melamar sang putri, Jonathan mengecup punggung tangan Olivia. “Daripada menikah dengan kakakku yang menjengkelkan itu, lebih baik kau menikah denganku.” Mendengar lamaran yang dilakukan putra bungsunya, wajah Adeline seketika memerah menahan rasa malu. Ia melempar sendok ke arah putranya. Jonathan bersungut ketika benda pipih panjang itu mengenai kepalanya. “Aduh, sakit tahu, Ma...” ia mengeluh sambil mengusap kepalanya yang terasa nyeri. “Pulang nggak sekarang!” ancam Sofia. “Tapi... tapi...” “Nggak ada tapi... tapi... panggil kakakmu sekarang!” “Aku nggak tahu kakak ada di mana? dia langsung tancap gas tadi setelah aku turun dari mobil. Dia bahkan nggak kasih tahu aku ruangan berapa tempat pertemuannya?” “Ya sudah. Sekarang lebih baik kamu pulang sebelum Mami menjual motor kesayanganmu.” “Iya, iya.” sahut Jonathan, tapi sebelum itu ia bisa-bisanya menyempatkan diri mengecup punggung tangan Olivia sebelum akhirnya ia melambaikan tangan ke arahnya lalu pergi dengan tergesa-gesa. Seketika Olivia hanya tercekat melihat apa yang baru saja terjadi. “Dasar anak itu.” Kali ini Adeline merengut kesal melihat kelakuan putranya yang memalukan. Pintu terbuka lagi, kepala Jonathan menjulur masuk ke dalam. “Kalau kakak menolak perjodohan ini, aku ikhlas kok menggantikan posisi kakak.” “JONATHAN...” pekik Adeline frustasi. Lalu Jonathan memicingkan matanya, menggoda Olivia. Ia lari terbirit-b***t sebelum ibunya melemparkan semua perkakas ke tubuhnya. Catherine hanya tertawa melihat kelakuan lucu Jonathan yang menurutnya sangat menggemaskan. Olivia pun ikut tersenyum mengingat lamaran yang baru saja ia dapatkan dari seorang bocah berusia lima belas tahun. *** Alex pulang dengan perasaan kecewa karena malam itu ia tak bertemu dengan gadis penyanyi yang dimaksud. Sambil memarkirkan mobilnya dengan hati-hati agar tidak mengeluarkan suara bising yang bisa membangunkan macan yang sedang tertidur, alias ibunya yang ganas itu. Alex tahu mamanya pasti akan memarahinya sepanjang malam itu, ia dalam mendapati alunan ceramah tentang pernikahan dan bla bla bla, Alex muak mendengarnya. Laki-laki itu mematikan mesin mobil, lalu berjalan mengendap-endap ke dalam rumah. Ia sengaja pulang larut malam menghindari mamanya sekaligus ia harus menunggu kemunculan gadis itu sampai jam kafe tutup. Sayangnya ia harus kecewa karena ia tak bertemu gadis itu. “Apa yang kau lakukan?” Jonathan menangkapnya sedang berjalan seperti seorang pencuri di rumahnya sendiri. Alex terdiam ketika melihat adiknya berdiri di depan kulkas sambil memegang cangkir di tangannya. Ia menghela napas lega ketika mengetahui sosok itu adalah adiknya, bukan ibunya. “Kau baru pulang, Kak?” “Sssst, jangan berisik. Nanti Mami bangun.” Alex memberi isyarat agar Jonathan memelankan suaranya. Jonathan hanya mengangguk sambil meminum kembali minumannya. Alex menghampirinya sambil merengkuh adiknya, “gimana tadi hah?” “Apanya?” “Perjodohanku.” “Oh, kalau kau tidak mau menikahinya biar aku saja yang menikah dengannya. Sungguh, dia sangat luar biasa cantik, Kak. Aku sampai terpesona dibuatnya.” Ucapan Jonathan membuat alis Alex mengerut kebingungan. Bagaimana bisa wajah buruk rupa itu bisa disebut cantik oleh adiknya. Rendah sekali selera adiknya. Ia hanya menggelengkan kepala, tak setuju dengan pendapat adiknya tentang calon istrinya. “Apa kau yakin?” Alex mengulangi pertanyaannya. Sambil bertanya-tanya dalam hati, kok bisa Jonathan bilang calon istrinya luar biasa cantik. Padahal, Alex tahu perempuan itu amat jelek dan tidak menarik. “Halah, kau pasti disuruh Mami, ‘kan? Bilang kalau calon istriku cantik. Iya ‘kan?” “Idih, siapa juga yang nyuruh. Emang dia beneran cantik kok, kayak bidadari. Kalau kakak nggak mau, aku mau kok nikah sama dia.” “Halah, anak kecil tahu apa tentang pernikahan.” Celoteh Alex sambil menjitak kepala adiknya pelan. “Ih, sakit tahu.” Jonathan menggerutu. “Lagian kakak juga nggak cocok kok nikah sama dia.” “Tuh, kamu tahu. Dia cewek jelek ‘kan?” “Kayaknya kakak perlu kacamata kuda yang super gede deh. Cewek cantik kayak gitu dibilang jelek.” “Apaan sih, sok tahu kamu!” Alex menjitak kepala adiknya lagi. “Udah akh, malas ngomong sama kakak. Harusnya kakak bersyukur dijodohin sama kak Olivia.” Ucap Jonathan sambil berjalan kembali ke kamarnya. Apaan sih ucapan adiknya itu. Di mana letak rasa syukurnya jika ia harus terikat dengan wanita buruk rupa seumur hidupnya, sedangkan saat ini hanya hanya ada sosok Atun bersemayam dalam pikirannya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN