Di dalam ruangan Cedric.
Cedric memutar bola matanya dari arah kiri ke kanan, dengan segala kata maupun kalimat, yang disusun dengan sedemikian rupa. Tidak salah. Tidak juga benar seratus persen. Maka, Cedric lemparkan berkas itu lagi ke hadapan orang, yang sedang berdiri di depan mejanya.
"Perbaiki. Saya tunggu hari ini juga!" perintah Cedric dengan tatapan mata yang tajam pada lelaki di depannya, yang tidak lain adalah Felix.
"Apa sudah diperiksa dengan seksama, Pak??" ucap Felix dengan begitu berani. Karena rasa-rasanya, ia sudah mulai muak dengan hal ini. Selalu dicari-cari kesalahan dan langsung dibombardir di tempat.
Cedric menatap Felix tanpa berkedip sampai beberapa saat. "Kamu meragukan kinerja saya??" ucap Cedric dengan nada menantang.
"Bukan begitu, Pak. Tapi, alangkah baiknya, bila masalah pribadi tidak disangkut-pautkan dengan pekerjaan. Bapak pasti mengerti maksud saya."
"Apa kita punya masalah??" tanya Cedric ngotot.
"Tidak, Pak."
"Lantas, kenapa kamu mengatakan hal itu hm?? Seolah-olah, bila kita memiliki masalah."
Felix geram karena dibuat mati kutu. Ingin melawan. Takut bila pekerjaannya terancam. Bukan karena takut dengan orangnya, tapi ia lebih takut, karena perusahaan ini milik ayahnya dan ia bisa saja melakukan hal, yang bisa menghancurkan kelangsungan masa depan pekerjaannya.
Hembusan napas panjang Felix lakukan. Ia ambil berkas yang di depannya tersebut dan mengangkat serta membawanya kembali.
"Baik, Pak. Akan saya kerjakan," ucap Felix sembari berbalik dan pergi dari ruangan Cedric.
Setelah Felix pergi. Tidak lama setelahnya, Valerie masuk ke dalam ruangan. Ia menunjukkan jadwal yang harus Cedric jalani hari ini. Membosankan. Akan tetapi, bila ada Valerie semua tidak lagi terasa demikian.
"Nanti sore, kita pergi kencan lagi ya?" ajak Cedric dan tentunya membuat Valerie senang dan mengangguk penuh semangat.
"Iya boleh."
"Ya sudah, ayo, kita bereskan semuanya," ucap Cedric dengan semangat yang tinggi, agar semua pekerjaan yang menumpuk ini selesai dan ia bisa pergi berkencan bersama Valerie.
Pekerjaan dilakukan dengan serius dan fokus. Agar tidak ada kesalahan dan agar tidak harus sampai mengulang pekerjaan yang sama. Ketika sore hari pun tiba, Cedric sudah bisa bangkit dari kursi dan berdiri tegak, untuk meregangkan otot-otot tubuh. Kedua tangan diangkat ke atas dan diregangkan. Setelah itu, ia bertolak pinggang dan juga bergerak ke kiri dan kanan.
Lumayan, sudah lebih baik. Sekarang, tinggal menggaet wanita, yang masih sibuk merapikan berkas di atas mejanya. Cedric berjalan memutar dan mendekap tubuh Valerie dari arah belakang, sambil meletakkan dagunya di bahu kanan Valerie.
"Ayo, kenapa masih sibuk sendiri? Tinggalkan saja dulu," ucap Cedric.
"Iya. Tapi tanggung tinggal sedikit lagi."
"Baiklah. Aku tunggu," ucap Cedric yang tidak melepaskan dekapannya sama sekali dan malah mengendus aroma tubuh Valerie.
Suara ketukan pintu terdengar. Cedric melepaskan lingkaran tangannya dari tubuh Valerie dan berbalik. Valerie sendiri pun ikut menoleh ke arah pintu ruangan, yang sudah kembali diketuk.
"Siapa??" tanya Cedric dari dalam.
"Dani, Pak! Satpam depan!" sahut orang di luar ruangan.
"Ya, masuk!" perintah Cedric.
Pintu dibuka dan orang yang menjawab tadi, kini terlihat dari balik pintu.
"Permisi, Pak. Ada yang mencari Bapak," ujarnya.
"Siapa??" tanya Cedric.
Satpam menyingkir dan seorang wanita terlihat berlari kecil ke arah Cedric, lalu melingkarkan kedua tangannya di lengan Cedric. Cedric membuka kelopak matanya lebar-lebar. Sementara Valerie yang melihat hal tersebut, langsung merasakan denyutan yang agak nyeri di dalam dadanya.
"Saya permisi dulu, Pak," ucap satpam pergi meninggalkan situasi pelik, yang sedang Cedric hadapi.
"Kenapa teleponku tidak pernah diangkat?? Pesan juga, tidak pernah dibaca. Kamu sesibuk itu ya??" ucap wanita, yang sedang bergelayut di tangan Cedric dan itu adalah Lucy, wanita yang beberapa hari lalu ia temui bersama keluarganya.
Cedric bungkam. Ia menelan salivanya sendiri, sambil melirik pelan-pelan kepada Valerie, yang terlihat memalingkan wajahnya. Cepat-cepat Cedric singkirkan lingkaran tangan Lucy di lengannya. Sementara Valerie menumpuk berkas menjadi satu di atas meja dengan terburu-buru.
"Pak, pekerjaan saya sudah selesai. Saya permisi pulang dulu," ucap Valerie yang kini berjalan ke arah pintu ruangan.
Tidak dicegah dan tidak dapat Cedric halangi sama sekali. Karena Lucy yang kembali menggaet lengan Cedric.
"Kenapa kamu ke sini?? Kamu datang bersama siapa ke sini??" tanya Cedric.
"Sendiri. Oh tapi diantar supir juga tadi. Udah izin Papa dan Mama juga. Orang tua kamu juga, malahan mereka yang suruh dan kasih alamat perusahaan ini."
Cedric menghela napas panjang. Sudah merasa tenang, hanya bertunangan dan setelah itu bisa ia tinggalkan. Kenapa orang tuanya sendiri, malah menyuruh Lucy datang ke sini?
"Ayo, kita pergi ke tempat kamu. Koperku masih ada di mobil."
"Ha?? Untuk apa ke tempatku??" ucap Cedric dengan nada tidak suka.
"Ya mau taruh koper. Katanya, tidak apa-apa aku tinggal di tempat kamu. Toh kita sudah tunangan juga."
Tangan Cedric mengepal. Mengesalkan sekali, harus ada hal semacam ini. Tapi agar cepat selesai. Ia bawa juga Lucy bersamanya.
Sudah sampai ke apartemen. Sudah disimpan semua barang bawaan Lucy, beserta orangnya juga di dalam kamar apartemen.
"Tunggu di sini, aku mau beli makanan dulu di bawah!" cetus Cedric.
"Ok. Aku juga mau mandi dulu," ucap Lucy.
Cedric tidak peduli lagi dan cepat-cepat keluar sambil menutup pintu, lalu bergegas menghubungi sang ibu.
"Mom???" ucap Cedric gemas, saat sambungan telepon terhubung.
"Ya? What's going on honey?? Oh iya, apa Lucy sudah sampai di sana??" tanya Carolyn.
"What is this, Mom?? Why did you send her here? Why Mom??"
"I think you will be enjoy the company of your fiancé."
"Oh My goodness! Mom, Cedric sedang bekerja di sini. Bukan sedang main-main. Kenapa malah kirimkan dia ke sini?? Bagaimana kalau urusan perusahaan malah jadi berantakan??"
"Calm down, baby. Kamu tidak perlu khawatir. Mommy akan kirim tenaga bantuan. Untuk membantu pekerjaan kamu. Ya tidak apa-apalah. Yang penting, kamu tidak berada jauh dari Lucy. Lucy ingin sekali berdekatan dengan kamu. Dia ingin membangun chemistry, supaya jadi lebih dekat, sebelum kalian menikah nantinya."
'Oh s**t!' batin Cedric.
"Tolong jaga Lucy ya sayang?? Pastikan, kamu berikan dia semua hal yang dia butuhkan. Ya sudah. Mommy mau siap-siap dulu. Ada pertemuan nanti malam, dengan rekan bisnis."
Panggilan diakhiri sepihak, dengan Cedric yang masih belum bisa menerima, hal yang sang ibu putuskan dengan seenaknya. Cedric membeliak tiba-tiba. Jadi teringat, dengan wanita yang sudah ia janjikan untuk berkencan. Cepat-cepat Cedric hubungi wanita tersebut. Namun dahinya malah mengerut.
"Di-reject! Ah benar-benar! Dia pasti marah," gumam Cedric.
Cedric memasukkan kembali ponsel ke saku celananya dan pergi ke lantai bawah, untuk meneruskan niat awalnya tadi. Membeli makanan dan memberikannya kepada Lucy dan setelah itu, baru ia bisa meninggalkannya, untuk pergi menyusul Valerie ke rumahnya.
Beberapa puluh menit berlalu.
Cedric sudah datang kembali ke dalam kamar apartemen. Ia letakkan makanan, di hadapan wanita yang sedang menggosok rambut basahnya dengan handuk.
"Ini, makanlah! Aku harus pergi dulu!" seru Cedric yang hendak berbalik. Tapi cepat-cepat Lucy cegah kepergiannya itu, dengan menghadang di depan pintu.
"Kamu mau pergi kemana??" tanya Lucy.
"Menyingkir lah! Aku ada urusan penting!" seru Cedric.
"Urusan apa?? Aku ikut!!" seru Lucy cepat.
"Astaga!! Untuk apa?? Kenapa harus ikut juga??"
"Aku baru di sini. Aku tidak mau sendirian. Aku mau ditemani!"
Cedric mengatur napasnya yang menggebu. Ingin menindak tegas dan melakukan hal yang kasar. Tapi masih memandang kepada kedua orang tuanya. Tidak ikut membesarkan anak mereka. Tapi malah berlaku kasar. Rasanya sangatlah tidak etis.
"Baiklah. Cepat habiskan makananmu!" cetus Cedric mau tidak mau. Ia akan temani Lucy dulu dan saat wanita itu terlelap, ia akan kabur dan menemui Valerie.
Sudah malam dan sudah puas makan serta mengoceh tidak keruan. Wanita yang mengganggu ketenangannya itupun akhirnya terlelap juga. Cedric mengendap-endap dan keluar dari dalam apartemen, lalu berjalan cepat selanjutnya, saat sudah berada di luarnya.
Langkah kaki Cedric membawanya ke mobil dan mobil pun ia kemudikan, hingga mencapai tempat tujuan.
Cedric turun dari dalam mobil. Ia bergegas menuju pintu rumah dan mengetuk sambil berusaha memutar pegangan pintunya.
"Valerie!??" panggil Cedric dan orang yang dipanggil pun mendengar hal tersebut. Tapi memilih untuk acuh tak acuh dan naik ke lantai atas.
Pintu diketuk dengan sangat bengis oleh Cedric, yang sudah kalang kabut. Tidak dibuka juga. Ia berusaha menghubungi ponselnya pun malah tidak aktif.
Cedric mengembuskan napas kasar dari mulutnya dan mengetuk kencang pintu rumah Valerie. Masih tidak ada respon juga. Cedric pun berhenti dengan sendirinya.
Cedric mendongak dan mundur perlahan, sambil melihat jendela kamar di lantai atas. Lampu masih menyala. Itu artinya, Valerie belum tidur. Tapi, ia malah tidak diberikan kesempatan untuk masuk sama sekali.
Hampir kehabisan akal. Cedric menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia bergeming dulu, sambil berpikir keras. Sampai sebuah ide yang cukup konyol juga, malah melintas di dalam kepalanya.
Cedric melihat sebuah tangga lipat di samping rumah dan meletakkan di sisi tembok, yang dekat dengan jendela. Kemudian, ia pun naik dan berusaha untuk berpegangan kemanapun sebisanya. Merayap bak seekor cicak dan sampai di dekat jendela, kemudian mengetuk jendela kaca tersebut.
Valerie yang sedang duduk di kursi melonjak kaget. Ia menoleh ke arah jendela dan bangkit, sambil mengecek ada hal apa di sana.
Gorden disibakkan ke samping. Valerie membuka pengunci jendela dan membuka jendela tersebut. Tiba-tiba saja, dari arah luar muncul sepasang kaki yang diikuti tubuh serta tangan.
"Akhirnya dibuka juga," ucap Cedric dengan napas terengah.
Ekspresi wajah yang datar Valerie perlihatkan. Bahkan, ia juga membuang muka, saat Cedric yang malah tersenyum kepadanya seperti tanpa rasa bersalah.
Tangan kanannya Cedric ulurkan dan coba untuk menyentuh bahu Valerie. Tetapi, malah Valerie tepis dengan kasar tangan Cedric di bahunya tersebut.