Sebanyak apapun bibirmu mengucapkan kebohongan, itu tidak akan berarti apa-apa karena matamu, matamu akan selalu jujur.
***
Kau tak tau betapa rapuhnya aku …
Masih terasa luka di masa lalu …
Kupernah mencintai setulus hati …
Dan ku terluka, luka membekas …
Bekas membuat, buat selamanya …
Selamanya ku, ku kan selalu …
Ku ‘kan selalu rapuh ….
Rapuh - Joeniar Arief
Jessy mengerang kesal karena sudah lebih dari tiga kali lagu itu terdengar berulang-ulang. Lirik itu benar-benar membuat mood gadis itu jatuh ke dasar jurang dan pasti sulit untuk menaikannya kembali.
"Evan b******k! Apa-apaan dia pagi-pagi sekali sudah memutar lagu itu. Ingatkan aku untuk mencakar wajahnya hingga jelek nanti. Aku benar-benar tersinggung dengan lirik sialan itu.” Jessy menggerutu sendirian.
Sudah seminggu sejak acara amal yang mengingatkan wanita itu pada seseorang di masa lalu. Mulai saat itu hatinya kembali tak tenang, selalu uring-uringan dengan pikiran melayang-layang. Sungguh, ia tak ingin kembali mengingat tentang pria b******k yang begitu dibencinya itu, tapi otak bodohnya tak bisa berkompromi dan terus saja menduga-duga bahwa pria di kampusnya itu adalah orang yang sama. Jessy menjambak rambutnya kesal, lama-lama ia bisa gila jika seperti ini terus.
Suara ketukan pintu membuat wanita itu menoleh.
“Princess, apa kau di dalam?" Ah, ternyata si i***t itu, Jessy menggerutu sambil membuka pintu.
"Ada apa Evan? Aku sedang sibuk, jika tidak ada yang terlalu penting maka enyahlah dari pintu kamarku." Jessy menjawab dengan keras agar si i***t itu mendengarkan. Wanita itu menduga, Evan pasti ingin berbicara yang tidak penting, membuat telinga rusak saja.
"Ini sangat penting, bahkan sangat-sangat penting, Jessy Mahera!" ucap pria itu tegas.
Oke, jika dia sudah memanggil nama selengkap itu berarti memang ada yang penting. "Baiklah, cepat katakan hal penting apa yang ingin kau sampaikan padaku!" Jessy berkacak pinggang menunggu jawaban dari Evan. Tapi dasar pria si menyebalkan, dia malah berjalan melewati Jessy dan menghempaskan diri terduduk di pinggir kasur wanita itu.
"Kemarilah, Princess!" ucapnya sambil menepuk kasur di sebelahnya.
"Ada apa?" jawab Jessy malas sambil mendekat ke arahnya.
"Apa kau sibuk nanti malam?"
"Sangat, bahkan sangat-sangat sibuk, Evan!"
Evan mendengus pelan. "Ayolah, Princess, kau bahkan tidak punya kegiatan lain selain membaca n****+ tebalmu itu, belajar saja kau sangat malas," ucapnya sambil menatap remeh ke arah wanita itu.
Jessy melotot kesal, terlihat ingin sekali mencabik-cabik wajah pria itu. Kalau saja tak mengingat mereka bersahabat, wanita itu pasti sudah menendangnya dari gedung tertinggi di kota ini.
"Apa maumu?" Jessy segera menuju inti pembicaraan sebelum kesabarannya benar-benar terkuras habis.
"Makan malam di luar denganku. Berdua," ucapnya menyeringai.
Jessy membulatkan mata sempurna. Hei, kalian jangan berfikir yang aneh-aneh dulu, seperti Evan menyukai sahabatnya itu misalnya. Pria itu tidak akan tertarik dengan Jessy karena sama sekali bukan tipenya, tipe si playboy itu adalah wanita yang bahkan membeli pakaian saja tidak sanggup sehingga mereka memakai pakaian kurang bahan.
"Tidak mau," balas Jessy sengit.
"Aku akan membayar semua makanan yang ingin kau makan, bahkan jika kau ingin menambah porsi pun aku tidak akan keberatan," rayu Evan penuh senyuman.
"Kau ingin mencampakkan siapa lagi?" tanya wanitu itu tajam.
"Ah, kau sangat mengerti aku, Princess!" sahutnya senang.
Jessy berpikir sejenak, membayangkan makanan gratis yang bisa ia coba sepuasnya. "Baiklah, jam berapa?" tanyanya rendah.
Evan melompat girang. “Kau memang yang terbaik, Princess! Kita berangkat jam tujuh malam,” ucapnya sumringah, melompat seperti anak kecil sambil meninggalkan kamar. Sementara Jessy mendengus samar melihat kelakuan sahabat brengseknya itu.
Ini bukanlah yang pertama kali pria itu memanfaatkan dirinya ataupun Dawa dan Vinze untuk berpura-pura menjadi pasangan kencan si b******k itu agar bisa mencampakkan wanita malang yang sudah membuatnya bosan. Meski sebagai wanita, mereka begitu membenci kelakuan tak beperasaan Evan, tapi tetap saja segala rayuan dan tipu daya pria itu mampu meluluhkan ketiganya.
***
Brakkk ....
Pintu ruangan itu terbuka dengan kasarnya, seorang pria tampan dengan setelan jas hitam pekat masuk ke dalam ruangan itu, sementara sang pemilik ruangan tak mempedulikan kehadiran sosok pria tampan yang baru saja membuat keributan di ruang kerja miliknya.
"Hello, Dude, lama tak melihat wajah brengsekmu." Pria tampan yang baru saja mendobrak pintu itu memulai pembicaraan.
"Mau apa kau kemari, Aiden?" Tanya sang pemilik ruangan tanpa mengalihkan fokus dari laptop di hadapannya.
"Ck! Kau benar-benar b******k Liam, kembali setelah menghilang bertahun-tahun dan sekarang kau bertanya mauku apa?" tanya Aiden jengkel.
"Lalu kau mau aku menyambutmu seperti apa? Dan satu lagi, aku tidak menghilang seperti tuduhanmu. Aku sibuk mengurus cabang perusahaanku di London." Liam menjawab santai, mengacuhkan tatapan kesal temannya itu.
"Mencari alasan, eh?” ejek pria itu.
"Kenapa kau sekarang jadi cerewet sekali?"
"Katakan padaku, kau masih belum bisa melupakan gadis itu ‘kan? Bahkan setelah bertahun-tahun kau melarikan diri ke London pun hasilnya nihil." Aiden tersenyum mencemooh sambil bersandar pada sofa di ruangan milik Liam.
"Omong kosong apa itu?" Liam bertanya seolah-olah hal itu tidak masuk akal baginya.
"Jangan mengelak lagi, sudah tertulis jelas di wajah brengsekmu itu!"
Liam menghela napas panjang, menyandarkan punggung pada kursi kebesarannya. "pergilah jika kau hanya ingin mengatakan hal yang tidak penting," usirnya.
"Aku dengar dia kembali," ucap Aiden, mengabaikan usiran dari pria yang kini menatapnya tajam dengan tubuh menegeng.
"Bukan urusanku," sahutnya sinis.
"Sure? Aku sangat yakin alasan terkuatmu menginjakkan kaki kembali di New York tidak lain karena kabar itu.” Aiden menyeringai lebar.
Liam hanya diam, tidak mengakui tapi juga tidak menyangkal.
"Segeralah perbaiki semuanya, sebelum kau menyesal karena waktu terus berputar." Aiden melihat ke arah Liam, ada perasaan tak tega menggelitik di hati melihat sahabatnya sulit sekali berdamai dengan hatinya sendiri.
Liam masih tetap bungkam, enggan mengeluarkan suara, ia kembali memokuskan diri pada pekerjaannya. Ah, pura-pura fokus lebih tepatnya.
"Pikirkan kembali kata-kataku." Aiden melangkah menuju pintu keluar, meninggalkan pria keras kepala yang sedang merasakan perasaan berkecamuk di sudut hati terdalam.
Setelah Aiden benar-benar pergi, barulah Liam mengangkat kepala, kembali menyandarkan punggung di kursi kebesarannya sambil berputar sehingga dirinya kini sedang menghadap dinding kaca yangg menampilkan pemandangan kota New York yang selalu sibuk. Pandangannya memang ke depan, tapi pikirannya melayang jauh menembus waktu ke beberapa tahun yang lalu.
Flashback
"Apa yang kau lakukan, hah? Kau melukainya!" Pria itu meluapkan kemarahan pada seorang gadis yang menunduk ketakutan, air mata mengalir deras melewati pipi mulusnya.
"Ak … aku …." Lidah gadis itu terasa kelu, bahkan untuk membalas perkataan pria itu pun ia tak mampu.
"Jelaskan padaku kenapa kau melakukannya?" tanya pria itu geram.
"Sudahlah, kita bisa diusir dari rumah sakit ini jika kau terus saja ribut begini." Lelaki yang sedari tadi hanya menonton mencoba untuk menengahi.
"Ya, dia benar, tidak ada gunanya kemarahanmu saat ini, yang harus kita perhatikan adalah kondisi Kate." Kali ini wanita berambut pirang yang duduk di kursi lorong rumah sakit angkat bicara.
Pria itu menghela napas panjang, memejamkan mata untuk mengurangi sedikit emosi, lalu kembali membuka mata dan berjalan meninggalkan gadis itu.
"Tingkahmu sungguh memuakkan!" Itu kalimat terakhir pria itu sebelum benar-benar pergi.
"Seharusnya kau berpikir dulu dengan otakmu sebelum melakukan kelicikan!" Kali ini wanita berambut pirang yang melangkah pergi.
"Kami kecewa padamu, Ra, sangat kecewa!"
Gadis itu tak mampu lagi menopang berat badannya, dia jatuh terduduk di lantai lorong rumah sakit yang dingin, menangis setelah semua orang pergi meninggalkan dirinya sendiri, menyalahkannya.
Flashback off
Kembali ke masa kini, Liam menghela napas kasar, berharap bebannya akan sedikit terangkat berkat hembusan napas yang dilakukannya. Setelah itu dia bangkit berdiri, merapikan sedikit setelannya lalu melangkah keluar dari ruangan besar itu untuk menghadiri rapat penting. Ya, begitulah dia selalu larut dalam pekerjaan, cara ampuh untuk mengenyahkan segala baying-bayang menyakitkan.
***
"Kau mau makan apa, Jessy Sayang?”
"Gado-gado."
"Hey, kau pikir kita sedang makan di warteg?" Evan mendengus sebal.
"Kau bertanya aku mau makan apa! Saat ini aku sedang rindu makanan itu," sahut Jessy tak mau kalah.
"Astaga, jika kau mau gado-gado maka akan lebih baik terbang sana ke Indonesia,” jawab pria itu jengkel.
Ya, kali ini Jessy sedang menemani Evan makan malam sesuai janjinya, mereka hanya berdua, tanpa Dawa dan Vinze ikut serta.
"Okay, terserah kau saja."
Setelahnya, Evan tak berkomentar apa-apa lagi, dia tahu wanita di hadapannya ini akan semakin menyebalkan jika sedang berdebat. Saat ini Evan sedang menyampaikan pesanan mereka pada pelayan yang sekarang tengah berdiri di samping meja mereka.
Sementara Jessy asyik memperhatikan sekeliling ruangan ini, tempatnya sangat menyenangkan, banyak pasangangan yang sedang makan malam bersama di sini, kebanyakan pasangan kekasih atau suami istri.
Pandangan matanya jatuh pada punggung atletis seorang pria di meja tak jauh darinya, dia tak dapat melihat wajah pria itu karena memang mereka tidak sedang berhadapan, Jessy merasa aneh, hatinya terasa berdesir.
"Hei, Evan Sayang, sedang apa kau di sini? aku merindukanmu, Honey!" Seorang wanita berambut merah tiba-tiba datang dan bergelanyut manja di lengan pria itu.
Jessy yang sedari tadi memperhatikan seseorang di ujung sana tersentak kaget, ekor matanya melirik ke arah Evan dan wanita itu. "Nah, inilah wanita malang berikutnya, dan aku pasti jadi tumbal lagi kali ini," gerutunya pelan.
"Ekhem ...." Evan berdehem sejenak, "Jauhkan tanganmu dari tubuhku, Ren, kekasihku bisa salah paham." Ia melanjutkan ucapannya kembali.
Sejenak wanita itu terdiam, lalu memandang ke arah tempat Jessy berada. "Siapa dia?" tanya wanita itu, matanya kini menyipit tajam, siap memangsa kapan saja.
"Kekasihku." Evan tersenyum ke arah Jessy yang membuat wanita itu ingin mendengus saking jengahnya. See? Pria i***t ini memang benar berengsek ‘kan? Dia ingin mencampakan salah satu wanitanya dengan wanita lain sebagai perisainya.
"Tidak mungkin! dia bahkan tidak ada apa-apanya denganku."
Jessy menatap wanita itu jengkel, memangnya seberapa hebat dia sehingga berani menyombongkan diri seperti itu?
"Aku menyayanginya." Evan menggenggam tangan Jessy yang mulai gatal ingin mencopoti bulu mata palsu kekasih sahabatnya itu.
Sementara itu, sang wanita sepertinya sangat terluka karena ucapan Evan, matanya berkaca-kaca siap mengalirkan buliran bening yang sudah pasti akan merusak riasan tebalnya. Jessy heran kenapa wanita itu tidak meledak-ledak, seperti menampar Evan misalnya, atau menumpahkan minuman pada wajah si pria seperti di film-film yang sering ditontonnya bersama Vinze dan Dawa. Padahal, jika hal itu terjadi, ia akan dengan senang hati mengabadikannya lewat ponsel dan memamerkannya pada sahabatnya di rumah.
Wanita itu menangis dan merengek sambil bergelayut di lengan Evan, Sungguh Jessy merasa ia mulai masuk dalam bagian inti drama, benar-benar membuatnya gerah.
"Aku mau ke toilet," potong Jessy kalem di tengah drama di antara mereka.
Evan menatap tajam ke arah sahabatnya itu, seperti tatapan memperingatkan. Mungkin dia takut Jessy kabur dan menggagalkan rencananya.
Jessy yang enggan membuang-buang waktu segera mengambil tindakan. "Aku baik-baik saja, Sayang," ucapnya sambil mengulas senyum semanis mungkin. Evan mengulum bibir, ada kilatan geli di matanya karena panggilan sayang dari mulut judes wanita itu.
"Aku permisi sebentar, Nona." Jessy berdiri dan melepaskan genggaman tangan Evan sambil tersenyum pada wanita itu, lalu berjalan santai meninggalkan keduanya.
Toilet terlihat sepi saat Jessy memasuki tempat favorit para wanita untuk bergosip atau sekedar berselfie ria itu, ia membenarkan sedikit riasan dan memcuci tangan setelahnya.
“Akhh ….” Tiba-tiba ada yang menarik keras lengan wanita itu dan menghempaskan tubuh mungilnya di dinding. Spontan Jessy memejamkan mata kaku, tubuhnya bergetar dengan jantung berdebar-debar. Tapi anehnya, ia tak kunjung merasakan ada pergerakan apapun, wanita itu mencoba tenang dan perlahan membuka mata.
DEG!
Jessy merasakan jantungnya yang tadi berdetak kuat tiba-tiba berhenti berfungsi dengan semestinya, tubuhnya kaku tak bisa digerakkan, pikiran wanita itu kosong, dunia seakan berputar seribu kali lebih cepat. Mata itu ....