Cara terbaik untuk membalas dendam pada mereka yang telah menyakitimu adalah dengan cara tetap kuat dan menjadikan hidupmu jauh lebih baik lagi.
***
Jessy menatap pantulan wajahnya di depan cermin, rambut hitam kecoklatannya tergerai indah melewati bahu, hidung mancung serta bola mata bulatnya semakin menambah kesan ayu. Gadis itu menarik napas dalam, menyambar tas punggungnya lalu keluar dari kamar.
"Jess, apa kau melihat jam tanganku?" Seseorang bermata sipit bertanya dengan wajah cemberut. Vinze namanya, gadis berkulit pucat keturunan China yang berkebangsaan Indonesia.
"Princess, di mana tugas jurnalku?" Kali ini seorang pria dengan kaos berantakan yang melemparkan pertanyaan.
"Jess, apa kita punya sarapan?" Gadis manis berdarah Jawa campuran India itu muncul dari balik pintu kamarnya dengan terburu-buru.
Jessy memutar bola mata jengah, mengabaikan rentetan pertanyaan dari sahabatnya dan memilih menyambar roti tawar di atas meja makan.
“Tuhan menghadiahi kalian mata, telinga, dan kaki. Jadi, kenapa tidak digunakan?” sindirnya pedas.
"Oh, came on, Princces, aku terburu-buru, pagi ini aku ada kelas dengan Mr. Smith." Evan masih sibuk membongkar majalah serta buku-buku yang bertumpuk di atas meja.
"Aku tidak peduli, salah kalian yang tidak tidur sampai pagi," sahut Jessy lagi.
“Uhh, kau ini kejam sekali,” keluh pria itu.
“Bukan aku yang kejam, tapi kalian yang malas berusaha.”
"Tenang, Jess, kau akan cepat tua kalau terus mengomel seperti itu." Dawa terkikik geli.
"Diamlah, Wa, cepat habiskan sarapanmu atau kau akan terlambat," ucap Jessy datar.
"Baik, Kanjeng Ratu," ucap gadis itu sambil menyatukan kedua telapak tangan seolah memberi hormat pada petinggi kerajaaaan.
Jessy hanya mendengus sebal dengan tingkah sahabatnya itu. Sedangkan Vinze yang sedari tadi memperhatikan perdebatan mereka hanya terkikik geli, bersyukur memiliki sahabat seperti mereka. Sejak enam bulan yang lalu, mereka tinggal bersama, keributan di pagi hari seperti ini adalah rutinitas mereka. Pagi yang penuh dengan perdebatan kecil karena tingkah konyol masing-masing.
***
"Selamat pagi, Sir."
"Selamat pagi, Tuan."
"Selamat pagi, Mr. Peterson."
Itulah kalimat yang pria itu dengar sepanjang perjalanan menuju ruangannya di lantai dua puluh tujuh gedung ini, dan sapaan itu hanya dibalas dengan tatapan dingin dan mengintimidasi milik pria bertubuh tegap yang pagi ini mengenakan stelan berwarna navy itu. Meskipun auranya menyeramkan, tapi tetap saja ketampanan yang dimiliki pria angkuh itu membuat para gadis bahkan ibu-ibu terpesona karenanya.
"Bacakan agendaku hari ini Selena!" titahnya datar setelah ia sampai di ruangan besar yang didominasi warna hitam dan abu-abu dengan kesan mewah yang mematikan.
"Baik, Sir. Pagi ini anda terjadwal rapat dengan Kowalski Group, lalu setelah jam makan siang anda harus menghadiri undangan dari Prime University untuk memberikan pidato singkat dalam acara amal yang mereka selenggarakan selaku anda sebagai lulusan terbaik dan penyumbang dana terbesar dalam acara tersebut."
Liam memejamkan mata sejenak. "Kembali ke mejamu," ucapnya datar.
Pria itu menarik napas panjang, bersandar pada kursi kebesarannya sambil menengadahkan kepala. Hatinya berdetak dua kali lipat lebih cepat dari biasa. Akhirnya, hari di mana ia akan bertemu dengan gadisnya lagi telah tiba. Ahh, apa masih pantas dia menyebut gadis itu sebagai miliknya? Entahlah. Yang jelas, Liam harus segera menuntaskan gejolak rasa yang menggebu di dalam dirinya.
***
Suasana di kantin pagi ini sedikit lengang, hanya terdapat beberapa orang saja yang duduk menikmati makanan mereka di kantin hari ini. Di sudut ruangan itu terdapat empat orang yang sedang duduk santai sambil mengobrol bersama.
"Aku tidak tahu jika kampus kita mengadakan acara amal hari ini." Evan bergumam sambil memperhatikan orang berlalu lalang di kejauhan.
"Tentu saja, yang kahu tau hanya kencan, kencan dan kencan.”
"Oh, ayolah Vinze, kau jangan terlalu kaku hidup di kota ini, santai dan nikmati saja," ucap pria itu seraya kembali menyesap pelan minumannya.
Akhir-akhir ini dia memang jarang berkumpul dengan para gadis cerewet ini, dia terlalu sibuk dengan perempuan-perempuan cantk di luaran sana. Yah, karena itulah dia menyandang predikat playboy di mata sahabat-sahabatnya ini.
"Jangan berdebat dengan pria i***t ini Vinze, membuang-buang waktumu saja." kali ini Dawa yang angkat bicara karena sudah jengah dengan tingkah Evan.
Evan memutar bola matanya malas, "Dengar, Girls, pria yang kalian sebut i***t ini adalah pria yang selalu ada saat kalian menangis karena dicampakkan oleh pria b******k, yang akan mengantar atau menjemput kalian, jika kalian ketinggalan bus atau hampir terlambat, dan juga, pria yang akan selalu menjaga kalian selama di kota ini, dan selamat pria itu adalah aku." Evan berkata panjang kali lebar sehingga membuat ketiga gadis di depannya jengah setengah mati.
Namun, memang harus mereka akui bahwa Evan termasuk dalam orang yang paling melindungi mereka selama di kota ini.
"Aku dengar acara amal kali ini akan dihadiri oleh alumni terbaik kampus ini," ucap Dawa mengabaikan ocehan Evan.
"Dari gosip yang kudengar dari mahasiswi di sini, dia sudah bertunangan setahun yang lalu." Jessy berbicara setelah menyeruput milkshake miliknya.
"Itu bukan masalah, Jess, yang terpenting wajah tampannya masih tetap bisa kita nikmati," ucap Dawa sambil terkekeh geli.
"Benar sekali, dan kau tau ketampanannya itu melebihi seorang malaikat." Vinze menjawab dengan antusias.
Evan memutar bola matanya dengan malas, para gadis ini memang selalu berisik jika menyangkut dengan pria tampan. "Memangnya kau sudah pernah bertemu malaikat, eh? Kalau sudah, berarti kau sudah mati," cibirnya.
"Kau memang benar-benar kurang ajar, Van, aku heran kenapa para wanita itu tertarik dengan pria b******k sepertimu," ucap Vinze jengkel.
"Kau benar, Ze, dia bahkan tidak tampan sama sekali." Dawa ikut menertawakan Evan.
"Ahh, Princess, bantu aku dari kedua nenek sihir ini." Evan menatap Jessy sambil merengek.
"Nikmati saja penderitaanmu, Van,” sahut gadis itu sambil terkikik geli.
Evan hanya menghela napas pasrah sambil memasang wajah seolah teraniaya, membuat mereka semua kembali tertawa.
***
Dalam ruangan ini terdapat banyak kursi di susun berbaris, semakin ke belakang maka ketinggian kursi akan semakin bertambah. Ruangan ini juga begitu luas, hingga mampu menampung ribuan jiwa sekaligus. Ah, ini seperti menonton pertandingan bola saja.
Jessy menyikut lengan Dawa yang sedang memainkan ponsel. “Lihat, acara yang ditunggu-tunggu para gadis di kampus ini akan segera dimulai,” bisiknya.
“Termasuk dirimu, ‘kan?” sahut gadis itu geli.
Jessy mendengus dan kembali menghadap ke depan di mana seorang wanita cantik yang bertugas membawakan acara berjalan ke tengah panggung.
"Mari kita sambut seorang alumni terbaik kampus kita sekaligus donator terbesar dalam acara ini yang sekarang telah menjadi pengusaha besar yang sangat sukses, Mr. Peterson, silahkan." Wanita itu tersenyum sambil membungkuk, memberi tempat pada pria tampan yang begitu mempesona.
"Cih, modus sekali, dia membungkuk hormat atau memamerkan isi dadanya!"
"Aku merasa jijik melihat senyumannya itu." Terdengar bisik-bisik sinis dari beberapa orang di deretan kursi yang Jessy tempati, tapi terhenti begitu saja ketika seorang pria dengan kadar ketampanan di atas rata-rata berjalan ke atas podium. Kini, yang terdengar hanya tepuk tangan riuh yang memekakkan telinga.
"Oh, Jess, lihat dia tampan sekali, aku rela menghabiskan seluruh sisa hidupku demi memandangi wajah tampannya itu." Dawa yang duduk di barisan belakang tepat di sebelah Jessy berteriak heboh melihat pria yang berdiri di depan sana.
"Come on, Wa, kau berisik sekali, aku bahkan tidak dengar apa yang dia ucapkan." Jessy mencoba memasang telinga lebih tajam agar ia dapat mendengar suara pria tersebut. Entah mengapa sejak tadi jantungnya berdetak dengan sangat kencang, ada apa dengan jantungnya? Ini aneh sekali pikirnya.
"Okay, Jessy Sayang, mari kita dengarkan." Dawa mulai duduk dengan tenang sambil menatap lurus ke depan.
"Kalian bisa sukses hanya jika berani mencoba, apapun itu selain hanya berdiam diri. Sekian semuanya, semoga hari kalian menyenangkan."
Astaga, suara itu …. Jessy terpaku ketika sayup-sayup ia mendengar suara berat yang selalu mengguncang kewarasannya. Gadis itu cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke arah di mana pria itu tadi berdiri, sebelumnya dirinya memang tidak terlalu memperhatikan ke depan karena suara riuh orang-orang di sekelilingnya. Ketika dilihatnya dengan seksama, hanya punggung kokoh yang terlihat menjauh dari podium.
Oh, Tuhan, apa lagi ini?