seragam SMA bag 2

1347 Kata
Ny Rose telah pergi beberapa saat lalu. Wajahnya dongkol, seperti siap menelan siapapun. Apa boleh buat, kali ini ia harus mengalah dengan tekanan sang anak. Pikirnya, mungkin saja wanita itu—Amara, hanyalah perempuan murah yang harganya bahkan tidak sepadan dengan tas desainer. Jadi tidak ada yang perlu ditakuti. Pokoknya selama itu bukan Kinan, Ny Rose tidak perlu ambil pusing. "Om? Kenapa tidak berterus terang saja?" Amara tiba-tiba keluar lalu menghampiri Pram yang tengah duduk di ruang tengah. "Tentang apa? Aku tidak punya rahasia. Yang tadi itu, jangan terlalu dimasukkan ke hati. Besok pindahlah. Ada banyak kontrakan petak di sekitar pabrik. Kamu bisa masuk ke sana setelah ijasahmu diambil," sahut Pram berusaha bersikap biasa. Ia sebenarnya terkejut dan khawatir kalau-kalau Amara menyalah artikan ucapannya tadi. Itu hanya spontanitas karena terbawa suasana, tidak lebih. Namun Amara punya pemikiran lain. Pergi dari rumah itu, berarti mereka akan jarang bertemu. Ia tentu saja tidak mau kehilangan tempat untuk bersandar. Rasa-rasanya lebih menakutkan kehilangan Pram daripada menghadapi kemarahan seorang nyonya besar. "Tapi aku ingin tetap di sini. Bilang saja padanya kalau aku pembantu atau apa saja." Amara mengikuti Pram menuju dapur. Kalau perlu ia akan membuang harga dirinya demi bisa terus ada di sana. Pram menghela napas panjang, meneguk isi gelas dalam genggamannya hingga habis. Untung saja ia masih waras dan tidak memanfaatkan gadis itu untuk hal yang tidak benar. Bayangkan kalau Amara jatuh ke pelukan seorang hidung belang? "Jangan katakan omong kosong. Tunggu, kamu tidak menganggap serius ucapanku tadi, kan?" Pram menatap Amara tak percaya. Ia baru sadar dan akhirnya malu sendiri. Amara buru-buru menggeleng cepat, takut dianggap tidak tahu diri. "Baguslah. Ini kan dunia nyata. Pernikahan kontrak hanya ada dalam cerita roman picisan," gumamnya berlalu masuk ke kamar untuk melanjutkan tidurnya yang tertunda. Kira-kira julukan apa yang pantas disematkan untuk Pram? Cuek? Dingin atau kasar? Dari ketiga itu Amara tidak menemukan salah satu. Mungkin pengalaman mengajarkan Pram agar bisa bertahan seperti sekarang. Tak ada bedanya dengan Pak Kas, Ny Rose pun seperti menjual anaknya, tapi dengan lebih halus,khas para pejabat kaya. Pantas, Pram bisa sekesal itu tadi. Sebagai pria dewasa, kebebasannya hampir tidak ada. ---- Pagi itu, Katarina bangun dengan wajah kusut. Subuh tadi, ibunya yang sedang di Belanda menelpon kalau ia sebaiknya tidak berhubungan lagi dengan Pram. Rupa-rupanya ada gosip yang menyebar di grub sosialita kalau Pram punya 'peliharaan' alias perempuan simpanan. Ny Carla tidak mau anaknya menikah dengan pria yang mengumbar nafsunya kemana-mana. Namun, Katarina tidak lantas menelan gosip itu mentah-mentah. Ia ingin tahu kebenaran itu dari mulut Pram, bukan orang lain. Sudah menjadi rahasia umum kalau banyak dari kalangan sosialita yang iri dengan perusahaan kontruksi milik keluarga Subono. Jadi saat ada kesalahpahaman sedikit saja, segelintir orang akan bersorak kegirangan. "Selamat pagi Tante, maaf ngangkatnya lama," kata Katarina menjawab panggilan Ny Rose di dering terakhir. Sebenarnya ia sengaja agar membuat kesan galau dan terganggu. "Bisa ketemu nggak hari ini? Kebetulan ada yang mau Tante bicarakan sama kamu," bujuk Ny Rose penuh harap. Ia pasti sedang bingung dan ingin menjelaskan masalah yang sedang dibahas di group sosialita. "Aduh gimana ya? Hari ini aku ada jadwal syuting untuk konten," sahut Katarina mencari-cari alasan. Tujuannya agar Ny Rose lebih kalut dan takut kehilangan kesempatan untuk menjadikan Katarina sebagai menantu. Gadis itu tahu benar keuntungan apa yang didapat keluarga Subono. Katarina anak tunggal, penerus kepemilikan saham. Jadi kalau menikah, perusahaan itu otomatis akan jatuh ke tangan Pram. "Tapi kalau Tante maksa, aku usahain tiga jam lagi. Di restoran hotel Grand. Sekalian syuting konten masak." "Boleh, kita ketemu di sana nanti." Tut. Panggilan itu dimatikan lebih dulu oleh Katarina. Mendengar kegelisahan Ny Rose, sepertinya gosip yang didengar sang ibu tidak sepenuhnya salah. Jadi mungkin saja memang ada seseorang di mobil Pram saat itu. Aku dikalahkan gadis lain? Batin Katarina marah. Sekarang,pantang baginya untuk pergi. Ia harus menyelesaikan perasaannya sebelum menjambak rambut si peliharaan sampai habis. __ Amara mendapati Pram tidak bekerja seperti biasa. Pria 28 tahun itu duduk di depan laptopnya sedari tadi, sembari minum kopi. Sekilas tidak ada alasan kenapa Pram harus bekerja di rumah. Badannya terlihat sehat dan bugar. Namun, saat Amara sudah bersiap dengan tasnya, Pram tiba-tiba berdiri, mengakhiri pekerjaannya. "Aku antar,mau ke sekolah, kan?" Pram meneguk sisa kopi dalam cangkir lalu meletakkannya di tempat cucian piring. "Nggak usah! Aku bisa sendiri, kok,"tolak Amara terkejut. Ia tidak bisa membayangkan reaksi macam apa yang akan diberikan kepala sekolah dan guru-guru lain. Ya, Amara cukup dikenal sebagai murid berprestasi yang miskin. Sekarang kalau tiba-tiba muncul dengan mobil mewah,bukan hanya dianggap punya hot dady, tapi gosipnya mungkin bisa lebih parah dari itu. "Jadi mau kamu apa? Kemarin kamu sudah buat masalah karena ponsel pinjaman dariku. Udahlah, anggap saja ini bantuan terakhirku. Bukannya kamu bilang mau ambil ijasah? Duitnya dari kantongku juga kan?" Pram berkacak pinggang, menatap Amara dengan tatapan serius sekaligus menantang. "Iya deh. A-aku tunggu kalau begitu," kata Amara menciut. Ia seperti melihat aura seorang kakak yang tengah memarahi adiknya. Tanpa berdebat lagi,Pram masuk untuk mengganti setelan santainya dengan kemeja juga celana jeans. Ini adalah kali pertamanya Amara melihat Pram dengan tampilan berbeda. Seringnya jas kerja dan sepatu hitam khas kantor, melenyapkan sisi remaja seorang pria. Boleh dibilang, Amara tidak hanya takjub, tapi langsung minder dengan perbedaan kulit juga aura yang dimiliki Pram. Kasarnya, Amara terlihat seperti seorang pembantu dengan majikan. "Ayo keluar. Dua jam lagi aku juga ada urusan di sekitar sekolahmu, jadi sekalian saja nanti," gumam Pram buru-buru mengantongi kunci mobil. Ia mengabaikan pandangan Amara dan lebih fokus untuk segera mengeluarkan gadis itu dari hidupnya. Bukan karena benci, tapi dengan situasi keluarganya, Amara hanya akan dijadikan bulan-bulanan. Sesampainya di tempat parkir, Amara dan Pram langsung masuk tanpa melihat sekitar lagi. Padahal seseorang tengah mengambil foto mereka dengan kamera ponsel. Sosok itu mengendap di antara mobil lain untuk mendapatkan hasil yang lebih jelas. Namun mobil Pram keburu pergi keluar, berbelok lalu lenyap tertelan tembok. "Ada apa?" tanya Pram pada Amara yang menoleh ke belakang. "Aku seperti melihat seseorang tadi, apa cuma perasaanku saja?" gumam Amara menggelengkan kepalanya tidak yakin. "Paling itu satpam apartemen. Dia sering nggak pakai seragam kalau siang," kata Pram tidak tertarik untuk membahas hal itu lagi. Pikirannya sudah penuh dengan banyak masalah lain. Salah satunya adalah Amara yang harus diungsikan secepat mungkin. Kalau sudah menyangkut tentang anaknya, Ny Rose adalah tipe wanita paling keras kepala. Bukan tidak mungkin kalau dalam waktu dekat Amara akan ketahuan lalu diteror habis-habisan. Kinan dulu juga begitu dan kalau bukan karena kecelakaan, mungkin gadis itu akan bertahan demi Pram. "Om tunggu di sini saja, ya? Biar aku masuk ke sana sendiri. Lagipula nggak akan lama kok," pinta Amara sesaat setelah mereka sampai di depan sekolah negeri yang lokasinya cukup memencil. Sebelum masuk ke jalan itu, tadinya Pram tidak yakin dan mengira Amara salah jalan. Tapi nyatanya memang ada tempat pendidikan di dekat daerah kumuh. Lahan parkirnya saja jadi satu dengan tempat upacara. "Yakin uang segitu cukup? Kalau kurang balik ke sini nanti," kata Pram sebelum gadis itu berbalik pergi. Amara lantas mengangguk kecil, cepat-cepat masuk agar tidak membuang-buang waktu lagi. Tidak kurang dari setengah jam kemudian, ia sudah kembali dengan dokumen di dekapan d**a. Namun bukan hal itu yang membuat Pram terkejut, tapi baju yang dikenakan Amara berganti dengan seragam SMA. Pram melotot, nyaris menolak membukakan pintu mobil. Apa kata orang nanti kalau melihat dia pergi dengan gadis berseragam? Terlebih Amara masih cocok dan persis seperti remaja kebanyakan. "Kenapa? udah nggak pantes, ya? Ini seragamku. Dulu pernah tertinggal di kelas waktu jam pelajaran olahraga," kata Amara setelah berhasil masuk. Terpaksa tadi Pram membuka pintu karena ada beberapa orang yang menatap ke arahnya penasaran. Pram mendengkus kesal lalu mengambil selimut dari dalam tasnya.Paha Amara membuatnya risih, jadi lebih baik ditutupi.Untung saja masih ada sisa laundy yang tertinggal di mobil. "Masalahnya aku nggak suka dilihat aneh sama orang. Jadi cepat ganti baju di SPBU, sekalian isi bensin," kata Pram tidak lagi bisa menyembunyikan perasan sebalnnya dengan tingkah tidak terduga Amara. Sedang Amara mencembik, merasa kesenangan terakhirnya sebagai murid SMA direnggut paksa. ---
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN