8 : Uh-Oh

3106 Kata
Siapa sangka, keesokan paginya, Rean dan Jani kembali bertemu. Kali ini di sekolah, ketika mereka tanpa sengaja berjalan menuju arah yang sama di koridor utama sekolah. Saat melihat Jani, Rean awalnya bingung harus bereaksi seperti apa. Harus tersenyumkah? Atau pura-pura tidak lihat? Lagi pula, dirinya juga sedikit malu pada diri sendiri karena mengingat kejadian semalam saat menambahkan kontak Jani pada aplikasi perpesanan di ponselnya. Ia bertanya-tanya, apakah Jani sadar kalau Rean telah menambahkannya sebagai teman? Beruntungnya, Jani lebih peka terhadap situasi. Begitu matanya menangkap sosok Rean, perempuan berambut hitam legam itu langsung mengulas senyum manisnya pada Rean dan menyamakan langkah mereka. "Hai." Tanpa ragu, Jani menyapa Rean. Rean pun mengangguk singkat. "Hai." "Kebetulan ketemu lo di sini," kata Jani. "Lo lagi buru-buru nggak?" Kening Rean berkerut karena pertanyaannya. "Enggak. Kenapa?" Jani tersenyum lagi. Membuat pagi Rean dipenuhi dengan fruktosa-fruktosa imajiner yang tidak terlihat akibat senyum tersebut. Hiperbola memang, tapi senyuman Jani memang semanis fruktosa alias gula dalam buah. Bukannya menjawab pertanyaan Rean, Jani malah meraih lengan laki-laki itu dan menariknya menuju pinggiran koridor agar mereka tidak mengganggu orang lain yang ingin melewati koridor yang sama. "Bentar ya." Jani melepas ransel yang dikenakannya. Ia membuka ransel tersebut dan meraih sesuatu dari dalam sana. Ternyata, apa yang diraih Jani adalah sebuah kotak bekal. "Nih, buat lo," kata Jani pada Rean sambil menyerahkan kotak bekal berwarna biru tersebut. Rean yang terkejut pun hanya bisa melongo, bergantian menatap Jani dan kotak bekalnya. Ia terheran-heran, apa gerangan yang sedang terjadi. Ini masih pagi, apa mungkin dirinya berhalusinasi? "Tolong diterima ya?" Jani semakin menyodorkan kotak bekal itu sampai Rean menerimanya. "Ini buat apa? Kok tiba-tiba?" Jani tersenyum (lagi). "Itu sebagai ungkapan terima kasih gue karena lo udah nolongin gue kemarin. Sekali lagi makasih banyak ya, Reandra." Bisa kena diabetes gue kalo gini terus. Tanpa bisa dicegah, batin Rean berkata. "Lo nggak perlu repot-repot. Gue kemarin ikhlas kok nolongin lo, serius deh." "Gue tau. Gue cuma nggak enak aja kalo nggak ngasih balesan apa-apa sama lo. Jadi, jangan ditolak ya? Walau gue nggak bisa jamin makanannya enak apa enggak, tapi makanan itu nggak gue racunin." Rean mengerjapkan mata. Masih setengah tidak percaya dengan situasinya sekarang. Begitu kesadarannya kembali, ia pun tersenyum singkat pada Jani dan mengangguk. "Yaudah, gue terima. Thanks, Jan. Lagian, rejeki kan nggak boleh ditolak." "Makasih kalo gitu!" Jani kembali menutup risleting ranselnya dan memakai ransel itu lagi. Keduanya kembali berjalan menyusuri koridor yang belum terlalu ramai. Rean berjalan dengan kikuk sambil membawa kotak bekal, sementara Jani berjalan santai dengan senyum kecil menggantung di bibir. Rasanya aneh. Baru kali ini Rean berjalan berdampingan di koridor sekolah bersama perempuan, kecuali Rena. Dan entah mengapa, Rean merasa kalau dirinya jadi kaku berdekatan dengan Jani seperti ini. Kalau Ben dan Gio melihat mereka, keduanya pasti akan langsung heboh. Untung saja Ben doyan datang siang ke sekolah, sementara Gio datang bersama Rena yang memang ngaret abis. Jadi, Rean pun aman dari segala macam ejekan dan godaan. Semalam, setelah Rean menambahkan kontak Jani, baik Ben dan Gio langsung mendesak Rean untuk segera mengirimkan pesan pada perempuan itu. Namun, menjadi Rean yang keras kepala dan penuh gengsi, ia pun menolak dan tidak melakukannya demi menghindari hal-hal memalukan yang bisa saja terjadi. "Lo mau langsung ke kelas?" Jani memecah keheningan begitu keduanya sudah dekat dengan percabangan koridor antara gedung IPA dan gedung IPS. "Iya. Lo juga?" Jani mengangguk. "Yaudah, berarti kita pisah di sini," kata Rean. Jani mengangguk dan tersenyum lagi. Hm, sepertinya Jani sangatlah murah senyum. Sungguh bertolak belakang dengan Rean yang suka menampilkan ekspresi datar. Perempuan itu pun melambaikan tangan singkat kepada Rean. "See you around," ujarnya sebelum melangkah menuju koridor yang akan membawanya menuju gedung IPS. Rean juga hendak berbelok menuju gedung IPA, tetapi langkahnya terhenti saat Jani tiba-tiba membalikkan tubuh menghadapnya. "Oh iya, gue udah add back kontak lo." Itu yang dikatakan Jani, sebelum kembali berbalik dan melanjutkan langkah. Dirinya tidak tahu saja, satu pernyataan tersebut sukses menimbulkan desiran halus dalam d**a seorang Rean. *** Beberapa hari bolos sekolah, begitu masuk, Shadira datang dengan penampilan baru yang berhasil menyedot perhatian serta helaan nafas lega dari orang-orang yang melihat ketika dirinya melintas. Penampilan baru itu tak lain dan tak bukan berasal dari rambutnya yang sudah tidak lagi berwarna ungu pucat mencolok, melainkan berubah menjadi berwarna cokelat gelap which is so normal untuk dilihat di dalam lingkungan sekolah. Namun, berbeda dengan semua orang yang sepertinya suka melihat warna rambutnya, Shadira sendiri tidak suka dengan pergantian warna rambutnya itu. Pasalnya, rambut berwarna normal tersebut ia dapat dari hasil mamanya yang berhasil menyeret Shadira ke salon semalam. Konteks diseret ini pun bukan hanya sebagai perumpamaan saja, melainkan Shadira benar-benar diseret oleh mamanya menuju salon. Kebayang nggak gimana malunya Shadira saat diseret-seret? Huh, rasanya malu sekali! Harga diri tercabik-cabik! Bahkan rasa malu itu pun masih dirasakan Shadira hingga pagi ini, menyebabkan dirinya datang ke sekolah dengan wajah cemberut. "Selamat pagi Nona Shadira cantik yang rambutnya sudah kembali normal!" Saat sampai di depan kelasnya, tanpa disangka, ada sosok Ben yang tiba-tiba muncul dan menghadang jalan. Karena kemunculan Ben itu, Shadira pun menghentikan langkah. Ia mengangkat kepala dan menatap Ben dingin, tidak seperti biasanya. Shadira berdecak melihat tampang ganteng Ben yang ingin sekali ditinjunya sekarang. Bukan tanpa alasan, Shadira kepingin melayangkan tinju tersebut akibat Ben yang ikut ambil andil dalam suksesnya acara seret menyeret oleh mamanya semalam. Dan jujur, Shadira masih dendam dengan sahabatnya itu sampai saat ini. "Minggir," kata Shadira ketus. Ben langsung mencebik akibat nada ketus yang sangatlah kentara pada nada bicara Shadira tadi. "Jutek banget sih. Masih marah ya?" Rengek Ben persis seperti anak kecil, sangatlah tidak cocok dengan image-nya. Shadira tentunya tidak termakan oleh rengekan Ben. Ia malah semakin menajamkan tatapannya. "Gue bilang minggir," ulang Shadira lagi. "Nggak mau," jawab Ben sambil melangkah maju mendekati Shadira. Yang didekati pun refleks melangkah mundur hingga tanpa sadar tubuhnya menabrak seseorang dan Shadira pun mengaduh, meski tidak merasa sakit di bagian manapun. "Kalo jalan tuh ke depan, bukan ke belakang, Mbak." Shadira langsung memutar kepala ke belakang, kemudian menyesal setelah melihat wajah Rean berada sangat dekat dengan wajahnya. Ia pun menjauhkan diri dari laki-laki yang mengenakan seragam olahraga sekolah itu. Melihat wajah Shadira, kening Rean lantas berkerut. Hal itu tentunya karena Rean merasa ada sesuatu yang berbeda pada perempuan yang selama beberapa hari ini tidak dilihatnya. "Apa lo liat-liat?" Tanya Shadira galak, menyadari kalau Rean belum berkedip saat melihatnya. "Galak amat," gumam Rean. Ia nampak santai menanggapi ketidakramahan Shadira barusan, thanks to suasana hatinya yang sedang sangat baik. "Sakit ya nih anak?" Tanyanya pada Ben yang juga dilihatnya ada di sana. Ben mengedikkan bahu dan hanya bisa meringis. "Lagi ngambek anaknya, jadi gitu." "Yaelah, ngambek sama lo?" "Ya, biasa. Urusan rumah tangga," jawab Ben asal sambil terkekeh khas dirinya. Rean pun hanya manggut-manggut saja, paham kalau jawaban Ben tadi hanyalah candaan biasa. "Urusan rumah tangga jangan dibawa-bawa ke sekolah," kata Rean. Ia kembali melirik Shadira, lalu menyadari kalau rambut perempuan itu tidak ungu lagi, melainkan sudah berubah menjadi warna cokelat gelap. "Kenapa rambut lo nggak warna ungu lagi?" Tanpa sadar Rean mengutarakan pertanyaan tersebut. "Penting banget buat lo?" Sahut Shadira super judes. Rean tidak membalas kejudesan Shadira itu sama sekali dan hanya manggut-manggut saja. Suasana hatinya memang sedang sebagus itu hingga Rean tidak berniat membalas kejudesan Shadira. "Yah, kalian silakan menyelesaikan urusan rumah tangga deh," ujar Rean kemudian. "Gue masuk dulu." Dengan mudah Rean menyingkirkan Ben dari depan pintu kelas. Shadira pun dengan cepat langsung mengambil kesempatan untuk ikut masuk ke dalam kelas sebelum Ben kembali menghadang jalan. Setelah dirinya dan Rean berhasil masuk. Ia segera menutup pintu kelas dan menguncinya, tepat sebelum Ben hendak mengejarnya masuk ke dalam. Rean pun hanya diam melihat Shadira melakukan itu dan membiarkannya saja. "Balik sana ke kelas lo!" Seru Shadira pada Ben saat didengarnya laki-laki itu menggedor-gedor pintu. Setelahnya, Shadira berjalan acuh menuju tempat duduknya, diikuti oleh Rean yang menatapnya aneh. Bahkan saat keduanya sudah duduk pun, Rean masih menatap Shadira hingga Shadira pun merasa risih. "Kenapa lo liatin gue terus?" "Aneh aja ngeliat lo nggak kayak orang gila lagi," jawab Rean kalem. "Maksudnya?" Rean mengedikkan bahu santai sambil mengetuk-ngetukkan jemarinya pada kotak bekal berwarna biru yang ada di atas mejanya. Oke, sejak kapan Rean suka bawa bekal? Shadira tidak bisa untuk tidak membatinkan itu saat tanpa sengaja melihat kotak bekal tersebut. "Rambut lo udah nggak warna ungu lagi," ujar Rean, menjawab pertanyaan Shadira. "Lagi akting sok waras ya lo?" Shadira mendengus mendengarnya. Bagus, Rean semakin mengingatkan Shadira akan insiden semalam. Keinginan untuk meninju Ben pun seketika langsung berubah menjadi keinginan untuk meninju Rean. Ah, tapi memang setiap bertemu Rean, Shadira bawaannya ingin meninju sih. "Kangen ribut sama gue ya lo?" Shadira balas bertanya dengan jengkel. Mendengar kata 'kangen', Rean pun pura-pura muntah. "Najis amat." Shadira hanya mencibir untuk merespon Rean. Kemudian, ia mengambil seragam olahraganya dari dalam ransel dan pergi menuju toilet setelah sebelumnya memastikan kalau Ben sudah tidak ada lagi di depan kelasnya. *** Hari ini, pelajaran olahraga akan menjadi pelajaran pembuka di kelas 11 IPA 1. Tepat setelah bel masuk berdering dan tilawah bersama dilaksanakan, semua siswa kelas 11 IPA 1 langsung bergegas menuju lapanga sekolah. Dengan teratur mereka berbaris di lapangan, sebelum Pak Mamat-guru olahraga mereka-sampai. Dalam pelajaran Pak Mamat ini, peraturannya memang tidak ada yang boleh sampai terlambat di lapangan. Semua siswa harus sudah berada di lapangan dan berbaris dengan rapi sebelum beliau datang. Kalau ada yang berani melanggar, siap-siap saja dapat lari keliling lapangan sampai teler. Selain tidak boleh terlambat, mereka juga harus sudah mulai pemanasan tanpa perlu disuruh lagi. Maka dari itu, Rean selaku ketua kelas pun maju ke depan barisan kelasnya untuk memimpin pemanasan. Meski terlihat tidak ada, Pak Mamat sebenarnya selalu memerhatikan setiap kelas yang diajarnya, melihat apakah mereka semua menjalankan peraturan atau tidak. Jadi, jangan harap mereka semua bisa pemanasan dengan main-main atau tidak bergerak. Karena jika ada yang seperti itu, Pak Mamat pasti selalu tahu dan akan memberi hukuman pada mereka yang pemanasan dengan malas-malasan. "Selamat pagi semuanya!" Tepat setelah pemanasan berakhir dan Rean telah kembali ke barisan, Pak Mamat datang dan menyapa siswanya sambil memegang dua bola basket di kedua tangannya. "Pagi, Pak!" Jawab semua siswa 11 IPA 1 serentak. Pak Mamat mengangguk singkat, kemudian melemparkan begitu saja bola di tangannya hingga benda bulat tersebut menggelinding di lapangan. Dua laki-laki yang berdiri di barisan depan pun dengan sigap menangkap bola tersebut. "Saya absen dulu," kata Pak Mamat, seperti biasanya. Pria paruh baya bertubuh besar dan tinggi itu pun mengambil buku absen yang tergulung dari dalam saku celana olahraga yang dipakainya. Lalu, ia pun mulai mengabsen dengan suara kecil menyebalkan yang mesti didengarkan dengan sangat hati-hati agar nama kita tidak terlewat. Kalau sampai kita tidak menjawab ketika nama disebut, tanpa ragu Pak Mamat akan membuat absen kita menjadi alfa. Ya, itu adalah salah satu sifat Pak Mamat yang menyebalkan. Shadira sendiri selalu baris di depan sekali setiap pelajaran olahraga. Itu karena semata-mata agar dirinya fokus ketika diabsen dan tidak dibuat alfa oleh Pak Mamat. "Shadira Ariella." Dengan cepat Shadira mengangkat tangan saat namanya disebut dengan suara kecil Pak Mamat yang sangat amat pencitraan. "Hadir, Pak!" Seru Shadira. Pak Mamat mendelik pada Shadira. Diperhatikannya Shadira hingga yang diperhatikan pun cuma bisa nyengir kuda. "Kenapa rambut kamu tidak warna ungu lagi?" Secara mengejutkan, Pak Mamat menanyakan itu. Shadira hanya bisa menghela nafas. Sepertinya hari ini ia tidak akan lepas dari topik rambut. Terhitung sudah banyak sekali orang-orang yang menanyakan tentang rambutnya, beberapa bahkan menyayangkan. "Karena banyak yang tidak merestui, Pak," jawab Shadira. "Oh." Hanya itu respon Pak Mamat, kemudian beliau kembali melanjutkan kegiatan mengabsennya yang tertunda. Setelah semuanya sudah diabsen, pelajaran pun siap untuk dimulai. "Jadi, hari ini kita main basket," ujar Pak Mamat setelah menggulung kembali buku absensi miliknya dan memasukkan benda itu ke dalam saku celana. "Latihan biasa dulu, sesama cewek dan sesama cowok," jelasnya. "Semuanya harus main, tidak ada yang tidak bergerak. Rombongan cewek pake ring sebelah kanan, rombongan cowok pake ring yang sebelah kiri. Yang cowok nggak boleh ganggu cewek-cewek, main di area kalian sendiri. Mengerti?" "Mengerti, Pak!" Jawab semuanya. "Ya sudah, rombongan cowok pakai bola yang ada di Jefri. Bola yang kamu pegang, Rean, kasih ke rombongan cewek. Langsung main, nggak usah babibu lagi!" Rean mengacungkan jempolnya pada Pak Mamat, lalu memberikan bola yang ada di tangannya kepada Shadira yang kebetulan baris di sebelahnya. Setelah menerima bola itu, Shadira pun segera mengajak rombongqn cewek-cewek ke bagian lapangan yang telah ditentukan untuk tempat mereka bermain. Jefri yang memegang bola satunya lagi pun mencoba untuk men-dribble bola itu. Namun, bola tersebut tidak memantul dengan maksimal. "Pak!" Jefri memanggil Pak Mamat sambil menunjukkan bola di tangannya. "Kayaknya Bapak salah ambil bola deh, soalnya bola yang ini agak kempes." "Masa?" Tanya Pak Mamat tidak percaya. Beliau pun berjalan mendekat, merebut bola di tangan Jefri, dan memeriksa kebenaran ucapan Jefri tadi dengan cara men-dribble bola itu. Lagi, bola berwarna oranye tersebut tidak memantul dengan maksimal. "Iya, saya salah ambil bola," kata Pak Jefri. "Ya sudah, saya ambil dulu bola penggantinya." "Biar saya aja, Pak." Rean menawarkan diri untuk membantu, tetapi tawaran tersebut langsung dijawab oleh gelengan kepala Pak Mamat. "Tidak usah, saya saja," kata Pak Mamat, lalu pergi membawa bola oranye tadi menuju ruang olahraga. Satu hal lagi tentang Pak Mamat, guru olahraga itu tidak pernah mengizinkan siswanya untuk masuk ke ruang olahraga karena takut barang-barang di ruang olahraga bisa hilang. Jadi, untuk mengambil alat-alat olahraga, Pak Mamat selalu melakukannya sendiri. Sebagian dari rombongn cewek kelas 11 IPA 1 sudah mulai bermain, sementara sebagian lagi berteduh di bawah pohon yang ada di belakang ring basket. Rombongan cowok pun berjalan menuju bagian lapangan mereka dan tertawa geli melihat cara cewek main bola. Terlalu banyak teriakan dan aksi rebut-rebutan. Oh, kelihatan sekali kalau mereka tidak suka olahraga. Rean pun ikut tertawa menonton pemandangan gratis tersebut. Terlebih pada aksi rebut-rebutan bola itu ada Shadira. Perempuan yang rambutnya dicepol itu sedang berusaha merebut bola dari Audrey yang dengan erat memeluk bola tersebut. Astaga, teknik basket macam apa sih yang sedang mereka mainkan? "Anjir lah, geli banget gue." Alvin yang berdiri di sebelah Rean terbahak sambil menepuk paha. "Main bola pake perasaan, jadinya gitu." "Abisnya bola mereka ikut mantul sih pas main, jadinya susah," celetuk Jefri yang mendengar perkataan Alvin barusan. Sontak celetukan Jefri itu semakin membuat tawa cowok-cowok pecah. Rean hanya bisa menggelengkan kepala. "b*****t otak lo Jef, nggak sehat." Sepuluh menit berlalu. Pertandingan menggelikan itu masih berlangsung, sementara Pak Mamat tak kunjung kembali, dan rombongan cowok pun sudah bosan menunggu. Mereka semua sudah gatal ingin ikut main. Namanya juga cowok, nggak akan tahan kalau sudah liat bola. "Pak Mamat lama banget dah," Jefri kembali nyeletuk. "Mungkin dia boker dulu," sahut Ridho yang juga sudah gerah ingin main bola. "Sumpah, gue udah greget banget pengen ngerebut bola dari mereka," kata Alvin. "Mereka juga daritadi main cuma gitu-gitu aja, nggak ada kemajuan." Rean menyetujui semua pernyataan teman-temannya. Memiliki naluri cowok sejati, Rean juga tentunya suka sekali dengan olahraga yang berbau bola. Ia pun ikut geram ingin merenggut bola dari pihak cewek-cewek karena Pak Mamat belum kembali juga. Saat melihat bola yang tadinya diperebutkan akhirnya menggelinding menuju pinggir lapangan, Rean menyeringai karena berencana untuk merebut bola itu. "Rebut jangan nih?" Tanyanya pada teman-teman. "Rebut lah, bro!" Seru semuanya. "Oke." Rean pun bergerak, berlari menuju bola yang menggelinding cepat ke pinggir lapangan. Di sisi lain, Shadira juga ikut mengejar bola itu, namun ia tidak sadar kalau Rean juga mengincar bola tersebut. Karena Rean memiliki tungkai yang lebih panjang dan energi yang lebih kuat, ia pun berhasil merebut bola itu duluan, tepat sebelum Shadira berhasil mengambilnya. "Eits, dapet!" Seru Rean semangat. Teman-temannya pun bersorak ramai melihat kegesitan Rean dalam merebut bola itu. "Kita pinjem dulu ya bolanya," ujar Rean sok manis pada Shadira. Tentu saja Shadira tidak terima. "Enak aja! Itu kan jatah bola buat rombongan cewek. Balikin!" Rean menjawab protes Shadira itu dengan menjulurkan lidahnya. "Ogah." Hm, wajah Rean saat mengatakan itu benar-benar terlihat menyebalkan, seperti gambar animasi setan yang ada di dalam buku-buku cerita hidayah. Yup, Rean memang persis setan. Shadira yang tidak akan pasrah begitu saja pun memegang bola yang ada di tangan Rean, mencoba untuk menarik bola tersebut agar terlepas dari cengkraman Rean. "Balikin woi!" Seru Shadira kesal. "Gak!" Jawab Rean yang juga berseru. "Jangan ngambil hak orang!" "Udah lah, kalian juga main bola nggak becus." "Kita tuh mau belajar!" "Percuma, nggak akan bisa juga. Lo narik bola ini dari gue juga nggak akan bisa," ujar Rean santai. Saat Shadira sekuat tenaga mencoba untuk menarik bola dari tangannya, Rean hanya perlu berdiam diri tanpa perlu repot-repot bergerak untuk mempertahankan posisi bola di tangannya. Bagaimanapun juga, Rean jauh lebih kuat daripada Shadira. Apalagi Shadira terlihat sangat kecil dibandingkan dengan Rean yang tinggi. Kali ini, aksi tarik-menarik bola antara Rean dan Shadira lah yang menjadi tontonan gratis. Grup cowok sudah benar-benar bosan menunggu. Sementara grup cewek sudah berteduh semuanya di bawah pohon sambil bergosip tentang Rean dan Shadira. "Lo tuh kenapa usil banget sih?" Dengus Shadira. Ia berhenti menariki bola sejenak untuk mengambil nafas. Kesempatan itu pun digunakan Rean untuk menyentak bola agar terlepas dari cengkeraman Shadira. Sayangnya, Rean terlalu bersemangat hingga sentakan yang dihasilkan pun terlalu kuat. Alhasil, bukannya bola yang didapat, ia malah terjerembab ke belakang dan berhasil menarik Shadira untuk terjerembab ke depan. Sementara bola itu pun lepas dari tangan dan menggelinding entah kemana. Rean refleks menutup mata dan mengerang kesakitan saat pantatnya jatuh ke lantai lapangan yang keras. Beruntungnya, ia berhasil menahan tubuhnya dengan dua siku sehingga kepalanya tidak ikut terbentur. Dan ia juga berhasil menahan tubuh Shadira dengan kedua tangan agar tidak jatuh menimpanya. Iya, posisi Shadira sekarang ada di atas Rean. Tapi, tunggu... Anjir, apaan nih kenyel-kenyel?! Batin Rean berbicara karena tangannya menyentuh sesuatu yang terasa aneh. Suasana di sekitarnya pun seketika terasa hening, tidak ada yang berbicara, hanya terdengar suara terkesiap dari beberapa orang. Begitu membuka mata, alangkah terkejutnya Rean melihat Shadira yang matanya membelalak lebar dan mulutnya menganga. Dan Rean lebih terkejut lagi begitu mengetahui bahwa satu tangannya menahan pinggang Shadira, sementara satunya lagi... Uh-oh. Astaga. Alamak jang. Matilah kau Rean. Tangan Rean yang satunya lagi memegang salah satu dari dua bola berharga milik Shadira. Sedetik setelah menyadari itu, teriakan yang sangat melengking pun memenuhi telinga Rean. Teriakan itu berhasil membuat perhatian semua orang yang berada di lapangan dan di koridor yang mengitari lapangan menoleh. Termasuk gerombolan kelas 11 IPS 3 yang sedang dalam perjalanan menuju lab komputer pun menoleh. Entah bagaimana caranya, mata Rean berhasil menangkap sosok Rena yang menganga, Ben yang bola matanya hampir keluar, serta Jani dalam gerombolan yang tengah menyaksikannya. Jani tertegun di sana. Namun, Rean tidak sempat memirkan itu. Karena sedetik setelahnya lagi, sebuah tinju mendarat di hidung Rean, menyebabkan darah segar mengalir lancar dari lubang hidungnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN