Pagi hari selalu menebarkan aroma yang khas, Lilac selalu menyambutnya dengan semangat. Dia sudah melupakan mimpinya semalam, tentang Azazel yang memberi tahu kapan pertemuan mereka. Baginya itu hanyalah mimpi, dan tidak akan terjadi di dunia nyata. Tidak ada Azazel, pria itu hanyalah bunga tidurnya saja.
Dengan langkah kaki ringan Lilac memasuki lobi sekolahnya yang masih belum terlalu ramai. Hari masih pagi, para siswa yang lain pasti akan datang memenuhi koridor-koridor di setiap lantai dalam waktu beberapa menit lagi. Lilac bergegas menaiki tangga, kelasnya berada di lantai tiga. Dia tak ingin berdesakan hanya untuk tiba di kelasnya, seperti beberapa hari yang lalu. Sebab keasyikan mengobrol dengan Christina membuatnya terlambat masuk kelas. Tidak, dia tidak menyalahkan Christina atas hukuman yang diterimanya pagi itu karena semua memang bukan salahnya, tapi salah pintu lokernya yang macet.
Namun, itu hanya terjadi beberapa hari yang lalu, sekarang pintu lokernya sudah tidak macet lagi. Dia meminta bantuan pada petugas kebersihan sekolah untuk membetulkan pintu lokernya. Lilac nasih meletakkan beberapa buku yang akan digunakan di jam pelajaran berikutnya, ke dalam loker saat seseorang menepuk bahunya dengan agak keras. Dia sedikit terlonjak karena terkejut. Berdecak, Lilac menutup pintu lokernya dengan cepat. Mata birunya memutar jengah melihat senyum lebar Evory yang memuakkan baginya
"Haruskah aku mengucapkan selamat padamu karena kau sudah tiba sepagi ini di sekolah?" tanya Evory seraya menyilangkan tangan di depan d**a. Dia menyandarkan punggungnya pada pintu loker sebelah yang tertutup. Pemilik loker adalah seorang anak laki-laki, namanya Matthew Rise, dan dia menyukai Lilac. Namun, seperti yang sudah diduga, Lilac menolak saat Matt mengajaknya keluar untuk sekedar menonton film dan minum segelas coke. Sama seperti ajakan anak laki-laki lainnya. "Ataukah aku harus terkejut karena biasanya kau tiba selalu nyaris bertepatan dengan bel."
Sekali lagi Lilac memutar bola mata. "Kau tahu jika itu tidak benar, Evy," katanya. Dia memutar tubuh, membelakangi Evory dan melangkah lebih dulu menuju kelas mereka. "Aku sudah pernah berangkat sepagi ini sebelumnya."
Evory berdecak. "Benarkah?" tanyanya mengejek. "Jika sepagi ini kau sudah ada di sekolah, itu tandanya kau sedang ada masalah."
"Sok tahu!" sembur Lilac tanpa menoleh ke belakang. Evory berjalan mengekorinya. Koridor sudah mulai dipadati para siswa sehingga mereka tidak bisa berjalan bersisian. Selain itu, sepertinya Evory tidak tertarik untuk berjalan di sampingnya pagi ini. "Aku tidak memiliki masalah apa pun!"
"Terserah kau saja." Evory mengedikkan bahu. "Asal kau tahu, lingkaran hitam di seputar matamu memberi tahu semuanya," bisiknya tepat di telinga Lilac. Dia sudah dapat menjajari langkah lebarnya, dan mengetahui alasan kenapa Lilac cepat-cepat menjauh dari lokernya. Salah satunya dia ingin menghindari Matt.
"Apa katamu?" Tak hanya Evory dan teman-temannya sekolah mereka yang terkejut mendengar pekikan tertahannya, tapi juga dirinya sendiri. Tak peduli mereka tengah menjadi pusat perhatian, Lilac menyentuh pipinya, menepuk-nepuknya dengan sedikit keras. "Kau tidak membohongiku, 'kan, Evy?" tanyanya dengan mata menyipit. "Sebab aku tidak akan memaafkanmu jika kau sampai berbohong padaku!"
Evory tertawa mendengar ancaman itu, apalagi melihat wajah si pengancam yang tampak sangat lucu di matanya. Mata biru Lilac melebar, kemudian menyipit penuh peringatan. "Aku memang berbohong padamu, Lily," akunya santai. "Sebab jika aku tidak melakukannya maka kau tidak akan mau berhenti untuk menungguku."
Mata biru Lilac melebar sempurna. "Apa katamu?" Dia mengulang pertanyaanya dengan nada suara yang kembali naik satu oktaf.
Evory memutar bola mata jengah, para siswa lain memperhatikan mereka "Sudahlah, jangan terlalu berlebihan," katanya mencoba bersikap tak peduli. "Seolah kau tak pernah membohongiku saja."
Mata biru Lilac mendelik tajam mendengar perkataan Evory, tapi dia tak menolak saat sahabatnya itu menariknya ke dalam kelas mereka yang sudah terisi separuh siswa. Lilac mengempaskan bokongnya ke tempat duduk di deretan nomor dua dari depan seperti kebiasaannya selama ini. Tempat ini tempat favoritnya. Lilac menggantungkan tasnya di kepala kursi, melirik Evory dengan sudut matanya, memutar bola mata jengah melihat Evory yang membersihkan mejanya. Hal yang tidak perlu dilakukan karena petugas kebersihan sekolah sudah membersihkannya setiap mereka pulang sekolah, juga sebelum sekolah dibuka.
Mata birunya melirik jam dinding yang terpasang di atas papan tulis. Pukul tujuh pagi, masih ada waktu sekitar tiga puluh menit lagi sebelum jam pelajaran pertama dimulai. Evory benar, dia terlalu pagi tiba di sekolah hari ini. Lilac meletakkan kepala di atas meja, tanpa alas apa pun. Sebenarnya dia ingin menceritakan perihal mimpinya tadi malam pada Evory, tentang Azazel yang berjanji untuk menemuinya minggu depan. Namun, ia tak ingin membuat keributan lagi. Evory selalu menanggapi semuanya dengan heboh dan berlebihan, apalagi jika mengenai hal-hal berbau mistis. Dia tak ingin menjadi pusat perhatian hanya karena pekikan Evory.
"Bagaimana dengan pekerjaan rumahmu, apakah sudah selesai?" tanya Evory. Dia duduk di bangkunya dengan sedikit keras, menggeledah tas sekolahnya yang diletakkan di atas meja, mengambil buku pelajaran yang ditanyakannya pada Lilac. "Aku belum mengerjakan satu soal pun," akunya jujur sambil membuka buku, mulai mencorat-coretnya dengan jawaban. "Tadi malam aku maraton menonton drama sampai lupa jika kita ada pekerjaan rumah yang harus dikerjakan hari ini." Evory meringis sambil terus mengerjakan tugasnya.
Lilac menegakkan punggung. "Tugasku sudah selesai, aku sudah mengerjakannya tadi malam sebelum tidur."
Mendengar kata tidur dari mulut Lilac, Evory langsung mengalihkan tatapannya Fokusnya tak lagi pada pekerjaan rumahnya yang baru selesai separuh. Masih ada beberapa soal lagi, tapi dia tak dapat lagi berkonsentrasi. Rumus massa bumi terasa lebih rumit dari yang terakhir diingatnya. "Bagaimana dengan tidurmu tadi malam, apakah nyenyak?"
Sepasang alis pirang Lilac berkerut mendengar pertanyaan itu. Memang bukan pertanyaan yang aneh, Evory juga sudah sering mengajukan pertanyaan ini padanya, hanya saja rasanya sedikit ganjil sahabatnya itu bertanya saat dia sedang sibuk mengerjakan pekerjaan rumah yang tertunda. Ini seperti sesuatu yang tidak biasa, seolah Evory sudah mengetahui jika tadi malam tidurnya tidak terlalu nyenyak –lagi. Iya, akhir-akhir ini tidurnya memang tak lagi nyenyak seperti sebelumnya, semua dikarenakan pria tampan yang mengaku bernama Azazel yang selalu datang di setipa tidurnya –mimpi, dan dia selalu menceritakannya pada Evory karena rasanya mimpinya sudah tak lazim lagi.
"Kenapa kau bertanya seperti itu?" Lilac balas bertanya. Dia kembali merebahkan kepalanya secara miring di atas meja, kali ini menggunakan kedua tangannya yang terlipat sebagai bantalan. Dia menatap Evory.
"Tidak kenapa-kenapa," jawab Evory mengedikkan bahu Dia menggelengkan kepalanya dengan kacau. "Hanya saja, apa kau tak lagi bermimpi tentang ...." Dia mencondongkan tubuhnya, lebih merapat pada Lilac agar dapat membisikinya. "Azazel."
Lilac membuang muka. Dia tak ingin membicarakan tentang pria dalam mimpinya itu sekarang. Apalagi saat kelas mereka sudah dipenuhi hampir dua pertiga siswa. Dia tak ingin ada yang mendengarnya bercerita, kemudian mengatakan dia hanya mengada-ada. Sungguh, dianggap berbohong adalah sesuatu yang sangat menyakitkan baginya, dan dia tidak menyukainya.
"Aku masih bermimpi tentangnya, Evy," akunya Lilac jujur. "Aku tidak pernah menginginkannya, tapi dia selalu saja datang di mimpiku." Kepalanya menggeleng Rambut pirangnya yang hari ini diikat ekor kuda, bergoyang seirama gerakan kepalanya.
Evory mengangguk beberapa kali, dia memahaminya. Lilac menganggap mimpinya adalah mimpi buruk, dan tak ada seorang pun yang menginginkan mimpi buruk di setiap malamnya. "Kupikir...."
"Bisalah kita tidak membicarakannya sekarang?" tanya Lilac memotong perkataan Evory. "Aku sedang tidak ingin membahasnya, Evy. Lagipula, kau harus segera menyelesaikan pekerjaan rumahmu itu jika tak ingin mendapatkan hukuman di jam pelajaran pertama."
"Well, aku sudah mengerjakan separuhnya,"kata Evory tersenyum lebar. Dia mengambil buku catatan dan menunjukkannya pada Lilac. Dari sepuluh soal yang diberikan, dia sudah berhasil menjawab tujuh soal hanya dalam waktu singkat Diam-diam dia bangga memiliki otak cerdas.
"Waktumu hanya tinggal beberapa menit lagi untuk menyelesaikan semaunya." Lilac melirik jam dinding dengan ekor matanya, meminta Evory untuk melihatnya juga. "Jam pelajaran pertama akan segera dimulai, Evy Sayang."
Evory menggeliat malas. "Owh, s**t!" Umpatan tak sadar melompat dari mulutnya. Lilac benar, dia harus segera mengerjakan pekerjaan rumahnya jika tak menginginkan hukuman.
***
"Ingat janjiku seminggu yang lalu, Lily?"
Lilac tak menyahut. Posisi duduknya tidak berubah sejak beberapa menit yang lalu. Kedua tangan terlipat di depan d**a, dagu terangkat angkuh, punggung bersandar pada sandaran kursi, kaki bertumpuk. Dia tidak memedulikan Azazel yang berjalan mengelilinginya, juga apa yang dikatakan pria itu. Dia tidak ingin memercayainya, jika Azazel adalah sosok yang nyata. Cukup di dalam mimpi saja pria ini mengganggunya, jangan sampai Azazel ada di dunia nyata. Dia tidak akan sanggup menghadapinya
"Kita akan bertemu besok."
Lilac mendengkus "Terserah kau saja," katanya acuh. Sungguh, dia tak peduli, ingin cepat-cepat keluar dari tempat ini yang sangat tidak bagus untuk kesehatan mata dan jantungnya Semua yang dilihatnya berwarna abu-abu, hanya rambut dan mata Azazel saja yang berbeda warna. Itu sangat mengganggunya Jujur saja, dia sangat menyukai mata biru Azazel yang seperti sebuah pusaran air yang menyedotnya hingga ke dasar.
"Terima kasih karena kau menyukai mataku."
Lilac memutar bola mata bosan, dia juga berdecak. Bagaimana mungkin dia bisa lupa jika Azazel bisa segalanya, termasuk membaca pikirannya? Astaga, bodohnya dia! Lilac mendongak, menatap Azazel yang berdiri tepat di depannya dalam jarak kurang dari satu kaki. "Aku meralat perkataanku. Matamu itu sama sekali tidak ada bagus-bagusnya, aku hanya salah ucap tadi." Dia memalingkan muka setelah mengatakan itu. Tak ingin Azazel semakin meledeknya
Meskipun pria itu datar dan tanpa ekspresi, tapi dia juga sering menggodanya. Salah satunya dengan selalu membaca pikirannya. Percayalah, itu sangat menjengkelkan dan tidak nyaman.
"Iya, itu memang tidak nyaman," kata Azazel dengan nada suara tanpa rasa bersalah sedikit pun karena ia lagi-lagi membaca pikiran Lilac
"Jadi, kau tahu jika rasanya tidak nyaman?" tanya Lilac jengkel. Dia menaikkan sebelah alisnya, dan berdiri. Sekarang mereka berhadapan dalam jarak yang sangat dekat, siku mereka yang terlipat bahkan nyaris bersentuhan. Dia sudah tidak takut lagi padanya, ataupun burung gagak yang merupakan peleburan darinya. Sudah terlalu sering dia melihatnya sehingga sudah terbiasa dan membuatnya tak lagi merasa ketakutan.
Azazel mengangguk.
"Jika sudah tahu, kenapa kau masih membaca pikiranku?" tanya Lilac lagi. Kali ini dengan penekanan di setiap dulu katanya. Sungguh, ini sangat menyebalkan. Seandainya saja bisa ingin dia mencakar wajah sok tampan itu.
Azazel bukan sok tampan, tapi dia memang tampan, Lil!
Lilac menggeram kesal mendengar kata hatinya. Bahkan bagian sensitif di tubuhnya itu juga berpihak pada Azazel. Astaga, kenapa hidupnya terlalu mengedipkan?
"Jangan mendramatisir!" Azazel menatap mata biru Lilac tajam. "Seharusnya kau tidak menyalahkanku karena membaca pikiranmu, salahkan dirimu sendiri yang tidak bisa mencegah orang lain untuk membacanya."
"Apa maksudmu?" tanya Lilac panik. Apakah Azazel ingin mengatakan jika sikap dan tindak-tanduknya sangat mudah terbaca? Benarkah?
Azazel berdecak. "Kau masih terlalu polos, Lily," katanya datar. "Belajarlah untuk bisa mengendalikan emosimu. Satu lagi!" Azazel mencondongkan tubuhnya ke depan, sedikit membungkuk agar dapat mencapai telinga Lilac. Gadis ini bertubuh mungil, tingginya hanya sebatas d**a bagian bawahnya saja. "Jangan pernah bertindak bodoh lagi!" bisiknya penuh penekanan "Kau harus berpikir sebelum melakukan sesuatu. Jangan ulangi tindakan bodohmu!"
Lilac membuang muka. Bahkan sampai Azazel menegakkan tubuh dia masih belum mau menatap pria itu. Tindakan bodoh katanya, enak saja! Dia tidak pernah melakukan hal-hal yang dituduhkan.
"Baiklah, Lily, kupikir sebaiknya kau kembali tidur saja. Aku tidak mau pengantinku jelek karena besok pagi bangun dengan mata panda."
Dengan cepat Lilac memutar kepala sembilan puluh derajat. Dia mendongak agar dapat menatap langsung wajah tampan yang menyunggingkan senyum tipis. Jenis senyum mengejek, dan ditujukan padanya. Azazel sudah tahu jika dirinya tidak dika bangun tidur dengan lingkaran hitam di seputar mata. Dia sering mengeluh padanya, tanpa sadar.
"Selamat tidur, Lily. Sampai besok!"
Kata-kata itu selalu membuat Lilac mengantuk. Dia tak pernah lagi terbangun dini hari hanya karena mimpi. Azazel tak pernah lagi memberikan salam perpisahan mengerikan yang membuatnya terjaga. Dia selalu bangun di pagi hari okeh dering alarm.
Pagi ini pun sama. Alarm yang dipasangnya tadi malam sebelum dia tidur, membangunkannya. Ditambah kicauan burung gereja yang hinggap di pagar balkon, dan sinar hangat matahari pagi yang menyeruak masuk melalui celah gorden. Sebuah perpaduan sempurna yang membangunkan tidurnya.
Dengan malas karena nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya, Lilac melangkah menuju kamar mandi. Matanya masih sedikit terpejam, dia masih mengantuk. Bahkan beberapa kali dia menguap saat menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Pukul tujuh pagi lewat beberapa menit, Lilac sudah tiba di sekolah. Seperti biasa, dia disambut dengan celotehan Evory yang berisiknya melebihi pasar unggas.
"Apa kau sudah mendengarnya, Lil? Katanya kita memiliki gue baru."
Sebenarnya Lilac tidak tertarik, dia lebih memikirkan perkataan Azazel yang menjanjikan mereka akan bertemu hari ini. Kata-kata pria itu beracun, entah bagaimana bisa membuatnya tertarik dan penasaran. Namun, karena tak ingin mengecewakan Evory yang tampak sangat bersemangat membicarakan guru baru itu, dia menanggapinya.
"Benarkah? Dati mana kau tahu?"
Pertanyaan basa-basi karena siapa pun orangnya pasti tahu siapa Evory. Sahabatnya salah satu ratu gosip di sekolah. Evory mempunyai antena yang panjang dan jaringan yang kuat mengenai berita di sekolah. Bersahabat dengannya, Lilac tidak pernah merasa ketinggalan berita
Evory menarik kursinya agar lebih dekat pada Lilac. Dia ingin mereka mengobrol dengan lebih santai dan tidak saling dengan suara yang keras. "Aku mendengarnya dari Chelsea dan Georgia."
Lilac mengangguk-anggukkan kepala. Dua nama yang disebut Evory sangat tidak asing, kedua gadis itu adalah anggota tim pemandu sorak sekolah. Yeah, bisa dikatakan jika mereka adalah ratu di sekolah ini. Begitulah kira-kira yang mereka rasakan.
"Mereka dari bertemu pelatih pemandu sorak dan Mrs. Brailee mengatakan pada mereka jika pagi ini akan ada guru baru yang akan mengajar di kelas kita." Evory menjelaskan dengan sangat bersemangat. "Katanya, gurunya laki-laki dan masih muda. Aku yakin dia akan menjadi idola anak-anak dan mengalahkan popularitas Dylan West."
Dylan West adalah salah satu siswa laki-laki populer di sekolah mereka. Salah satu yang disebut sebagai pangeran sekolah. Selain menyukai hal-hal berbau mistis, Evory juga pengagum para laki-laki tampan. Dia bahkan masuk ke dalam klub penggemar mereka.
"Apakah guru baru itu hanya akan mengajar di kelas kita saja?" tanya Lilac. Meskipun tidak peduli, dia tetap penasaran.
"Entahlah." Evory mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu lebih jauh, mereka hanya mengatakan itu saja," katanya tanpa menutupi rasa penasaran dalam nada suaranya.
Lilac mengangguk. Mulutnya terbuka ingin kembali bertanya, tapi suara bel tanda masuk kelas menginterupsinya. Dia menutup mulutnya kembali, mengeluarkan buku pelajaran yang akan digunakan pagi ini. Desisan lirih Evory yang mencoba menarik perhatiannya, juga keadaan kelas yang sepi membuat Lilac mengangkat kepala. Dengan malas dia menatap Evory, memutar bola mata melihat isyarat dari dagu Evory yang memintanya untuk melihat ke depan. Lilac berdecak, dengan sangat amat terpaksa menuruti permintaan konyol sahabatnya. Lagipula, dia penasaran apa yang membuat kelasnya yang biasanya berisik menjadi sepi seperti area pemakaman. Mungkin Miss Cameron mengenakan sesuatu yang tak lazim sehingga mampu membungkam seisi kelas.
Sayangnya, dia salah. Bukan Miss Cameron yang berdiri di depan kelas, melainkan seorang pria memiliki ketampanan setara dengan dewa-dewa Yunani. Pantas saja kelasnya menjadi hening, semua teman-temannya pasti terpesona akan keelokan paras pria itu. Namun, berbeda dengannya. Dia sama sekali tidak merasakan apa yang dirasakan mereka. Dia justru terkejut, mata melebar, dan mulut terbuka. Sebenarnya reaksi ini sana saja seperti yang lainnya. Hanya saja yang membedakan adalah Lilac yang menahan napas dengan jantung berdetak lebih cepat. Tubuhnya juga berkeringat dingin.
Pria yang berdiri di depan sana adalah pria yang selalu hadir di dalam mimpinya setiap malam. Iya, guru baru mereka adalah Azazel. Pria itu menepati janjinya untuk bertemu.