Aku tersenyum puas melihat reaksi semua orang, walaupun aku sudah dipermalukan karena tunanganku direbut adik tiriku, setidaknya aku bisa menunjukan bahwa aku membuang dan menginjak injak kalung berlian yang menjadi kebanggaan menantu keluarga Atmajaya dihadapan semua orang.
“Ayah setelah pesta selesai, ada yang ingin kubicarakan denganmu, aku akan menunggu dengan tenang dikamarku,” ucapku sambil memakai kembali kacamata hitamku.
Ayahku hanya mengangguk menanggapi ucapanku, firasatnya mengatakan akan ada hal besar terjadi melihat Tomi menyertai kedatangan Elena.
“Jika aku mendoakan kalian bahagia, aku rasa itu adalah sebuah kebohongan yang besar,” ucapku menatap lurus Farrel.
Farrel menatapku dengan pandangan tidak terbaca, namun kulihat ada tatapan kesedihan dan penyesalan, aku menepis pikiran itu, mana mungkin dia merasa sedih dan menyesal setelah bisa bersanding dengan gadis pujaannya.
Aku mengibaskan rambut panjangku saat meninggalkan taman belakang rumah menuju kamarku.
“Barusan aku seperti melihat adegan sinetron,” kekeh Lela saat sampai dikamarku.
“Kau keren sekali, Sayang,” tambah paman Tomi.
“Pesta baru berlangsung 30 menit, tapi kau datang merusaknya, kau lihat raut muka Clara dan Ibu nya Farrel? Mereka jelek sekali” Lela tertawa sangat keras.
“Itu hanya hidangan pembukanya saja, aku belum menjatuhkan bom yang sesungguhnya,” ucapku sambil melempar heels 12 cm, sungguh aku tidak terbiasa dengan heels ini.
“Bom sudah siap, Sayang!” paman Tomi mengacungkan jempolnya.
Paman Tomi menyalakan laptop milikku dan meneruskan pekerjaannya, dia adalah seorang pengacara terkenal, sudah pasti dia sangat sibuk, sedangkan kami berdua memutuskan bermain playstation.
Sekitar jam 10 malam seorang pelayan menyuruh kami turun ke ruang tamu, kulihat Ayah, Ibu tiriku, Clara, Farrel dan orang tua Farrel sudah duduk melingkar menunggu kami.
Dengan langkah anggun aku duduk di kursi kosong, Lela dan paman Tomi duduk di samping kanan dan kiriku.
“Lela mengapa kau disini?” tanya Ibu tiriku heran.
“Dia asistenku,” ucapku dingin.
“Apa?” ucap Ayah dan Clara bersamaan.
Mereka sangat heran melihatku bergaul dengan Lela, selama ini semua orang tahu kalau aku memperlakukan Lela dengan sangat buruk.
“Aku langsung saja, tiga hari yang lalu adalah ulang tahunku yang ke 20 tahun, usiaku sudah memasuki usia dewasa dan aku memutuskan untuk mengubah semua aset dan properti keluarga Pradipta menjadi atas namaku.” Aku berkata dengan intonasi yang sangat jelas dan tenang.
“Apa?” semua orang kecuali Lela dan paman Tomi berteriak bersamaan.
“Kau tidak bisa melakukannya!” sinis ibu tiriku.
“Siapa bilang?” cibirku.
“Clara berhak atas aset dan property keluarga Pradipta!” ucap ibu tiriku setengah berteriak.
“Sejak kapan anak tiri mendapatkan hak waris?” kekehku.
Wajah Ibu tiriku memucat.
“Sayang, kau telah berjanji akan membagi aset dan properti sebanyak 50% untuk Clara,” rengek ibu tiriku pada Ayah.
“Mohon maaf Susan, 70% harta yang dimiliki Marcel saat ini adalah milik mendiang Shopia, ibunya Elena.” Paman Tomi menekan amarahnya.
“Kami telah mendirikan perusahaan gabungan antara keluarga Pradipta dan Atmajaya, ini tidak akan baik jika ada perubahan nama pemilik,” ucap ayah Farrel.
“Itu bisa diatur, para investor ataupun para pemegang saham tidak akan keberatan siapapun pemilik saham terbesar disana. Mereka hanya memikirkan keuntungan saja,” ucap paman Tomi santai.
“Tenang saja Ayah, kau masih tetap akan menjadi CEO disana,” ucapku.
“Ayah tidak akan menjadi CEO di perusahaan itu, Farrel yang akan mengisi posisi itu,” lirih Ayahku.
“Apa Ayah bercanda, mempercayakan posisi CEO perusahaan pada orang asing?” cibirku.
“Dia calon menantu keluarga Pradipta,” nada bicara Ibu Farrel naik setengah oktaf.
“Dia hanya calon suami dari anak tiri keluarga Pradipta,” aku tersenyum meremehkan.
“Ayah sudah tua Nak, Ayah tidak akan sanggup memimpin perusahaan sebesar itu, lagi pula, Ayah masih harus mengelola Pradipta Grup,” ucap lembut Ayahku.
“Bukankah saham yang dimiliki oleh keluarga Pradipta sebanyak 65%, aku tidak bisa mempercayakan asetku dikelola oleh orang lain” ucapku mantap.
“Hanya aku yang mampu mengelola perusahaan baru ini, jika kau mau aku akan selalu melaporkan neraca dan laporan keuangan lainnya padamu,” Farrel berkomentar.
“Aku akan menjadi CEO di perusahaan itu,” ucapku lantang.
“Posisi CEO bukan lah posisi yang siapa saja bisa menempatinya,” ayah Farrel meremehkanku.
“Bagaimana kalau kita bersaing secara adil, siapa yang dapat menghasilkan keuntungan di perusahaan selama 6 bulan, itu yang akan menjabat sebagai CEO,” tantangku.
“Siapa takut, aku terima tantanganmu,” ucap Farrel.
Orang tua Farrel berdecih melihat tekadku, mereka pikir aku hanya menggertak saja. Namun di dalam hati, mereka sangat khawatir, Susan sudah menjanjikan 50% harta kekayaan keluarga Pradipta akan menjadi milik Clara, dan mereka pikir, Elena adalah seorang gadis penyakitan yang akan rela saja menerima keputusan keluarganya. Mereka akan dengan leluasa mengelola kekayaan grup Pradipta.
Sekarang Elena mengambil semua aset dan properti milik keluarga Pradipta dan menantang Farrel menjadi CEO di perusahaan gabungan. Rencana yang telah mereka susun rapi dari dulu hancur dalam sekejap mata.
“Elena, kau jangan gila. Kau hanyalah seorang mahasiswa semester 3 jurusan desain, kau mana tau urusan perusahaan,” Clara berpura pura baik memberikan nasehat.
“Ini adalah kekayaanku, aku bisa bebas mengelolanya seperti apa,” sinisku.
“Kau tidak boleh egois Elena, nasib ribuan karyawan akan bergantung padamu,” ucap Farrel.
“Kenapa? Kau takut bersaing denganku?” aku tersenyum meledek.
Kulihat Farrel mengepalkan tangannya, harga dirinya terluka ditantang olehku, Elena hanya seorang mahasiswa semester 3 jurusan Desain, sedangkan Farrel merupakan lulusan S2 terbaik jurusan Manajemen Bisnis.
Tapi aku bukanlah Elena, aku Indria seorang manager operasional yang sudah 13 tahun bekerja di perusahaan manufaktur. Semua laporan keuangan yang disajikan oleh direktur di divisiku sebenarnya dikerjakan olehku, dia hanya tahu tanda tangan saja.
Saat usiaku menginjak 17 tahun, aku sudah bekerja sebagai harian lepas di bagian produksi, aku merintis karirnya dari bawah, sampai akhirnya bisa menjadi supervisor di sebuah cabang perusahaan tempatku bekerja.
Hasil usaha memang tidak menghianati proses, aku ditarik ke kantor pusat dan dipromosikan menjadi seorang manager disana, Aku sama sekali tidak takut berhadapan dengan Farrel, walaupun dia lulusan S2, tapi didunia kerja pengalaman adalah segalanya. Dimataku Farrel hanyalah seorang anak ingusan, jika dia belajar mengelola perusahaan dari ayahnya sejak muda, pengalamannya tidak akan sebanyak diriku. Lagipula aku lulusan S1 jurusan manajemen bisnis walau dulu aku kuliah kelas karyawan, tapi IPK ku cumelaude.
“Aku takut kau hanya membuang buang waktuku saja,” ucap Farrel dingin.
“Itu terdengar seperti alasan atau apakah itu sebuah ketakutan?” ledekku.
Semua orang tercengang melihat perdebatanku dengan Farrel, selama ini Elena tidak pernah sekalipun berkata kasar atau menyinggung perasaan Farrel. Elena selalu menjaga sikap jika dia berhadapan dengan Farrel. Elena selalu menatap Farrel dengan tatapan cinta dan memuja.
“Ku dengar minggu depan adalah peresmian perusahaan baru, pastikan kau memberiku ruangan yang layak sebagai CEO,” aku tersenyum licik ke arah Farrel.