-Kehancuran merupakan awal di mana kita menyadari bahwa penyesalan selalu menjadi akhir dari kecerobohan yang kita lakukan-
***
“Bil, aku mau kita nikah. Aku mau kita menikah secepatnya!”
Dara tidak bisa mengontrol emosinya. Di depan jendela kamar, ia meledak-ledak. Dara terjaga bersama kehancuran yang belum bisa ia singkirkan dari kehidupannya. Kehancuran yang Dara yakini baru akan beranjak reda setelah pernikahannya dan Billy benar-benar terjadi.
Setelah memahami situasi, Dara yang merasa kecolongan yakin, hanya pernikahan yang bisa memulihkan keadaannya. Selain itu, tak mungkin pula Dara justru menikah dengan pria lain setelah mahkota paling berharga dalam hidupnya direnggut paksa oleh Billy. Tentu saja, alasan lain dan paling membuat Dara takut adalah ia yang terancam hamil. Dara sungguh takut sampai hamil di luar pernikahan.
“Sayang, ... i-iya, kita nikah.”
Dari seberang, jawaban Billy tidak bisa membuat Dara yakin.
“Iya, iya, kapan?!” tegas Dara benar-benar marah.
“Ya ampun Sayang, baru juga sekali. Kita baru melakukannya sekali tapi kamu sudah seheboh ini! Aku enggak suka cara kamu yang begini. Jangan kekanak-kanakan, kenapa?”
Dara yakin, Billy belum selesai bicara. Namun, cara Billy yang justru balik marah kepadanya membuat kemarahan Dara makin menjadi-jadi.
“Maksud kamu bilang begitu apa? Lagi pula kenapa juga kamu sampai begitu hanya untuk pembuktian cinta?! Please, Bil, bila kamu memang sayang aku, tolong jangan bikin aku berkata apalagi berbuat kasar!”
“Sayang ... Sayang, kita bahas ini nanti. Aku beneran sibuk, aku mau live!”
Tanpa menunggu balasan Dara, sambungan telepon yang Dara lakukan pada Billy beberapa saat lalu sudah langsung Billy matikan. Tentu saja kenyataan tersebut makin mengaduk-aduk emosi Dara. Dara yang sempat menghela napas kasar langsung kembali menghubungi nomor ponsel sang kekasih. Sayang, jawaban yang Dara dapatkan justru dari pihak operator yang mengabarkan bila nomor Billy sedang tidak aktif.
“Nyebelin banget, sih!” sesal Dara yang menjadi berlinang air mata.
Dara sungguh menangis dan sampai sesenggukan. Namun beberapa saat kemudian, Dara menyadari bahwa menangis tanpa melakukan usaha untuk mengubah keadaan, tidak ada gunanya.
“Jangan lemah, Ra! Kamu salah dan kamu harus memperbaiki semuanya! Kesalahanmu fatal dan kamu bisa membuat keluargamu malu seumur hidup mereka!” Dara menyemangati diri sendiri kemudian mencari cara agar ia bisa secepatnya menikah dengan Billy.
Kalau enggak hamil memang enggak apa-apa, enggak nikah sekarang. Masalahnya, kemarin aku baru beres mens. Sementara tadi aku baca, masa subur wanita salah satunya setelah beres mens. Yang dengan kata lain, berhubungan intim di waktu itu memiliki peluang hamil sangat besar!
Dara ketar-ketir dan refleks menjambak rambut panjang indahnya yang tergerai. Perlahan tapi pasti, ia merunduk dan berakhir terduduk di lantai. Lantai marmer kayu yang mendadak terasa dingin, sedingin masa depan Dara andai saja ia sungguh hamil, tapi Billy justru makin sulit diandalkan.
Billy masih labil, Billy bukan Om Fean yang bisa diandalkan dalam segala hal! Sekali lagi, Dara merasa telah menghancurkan kehidupannya sendiri. Menyesali kecerobohannya yang sungguh telah mengacaukan kehidupannya.
***
Suasana luar sudah makin petang, tapi Dara masih belum bisa mengakhiri kegelisahannya. Dara masih mondar-mandir di dalam kamarnya dan sampai melewatkan jadwal makan malam. Azura sang mamah sampai datang mengantar menu makan malam ke kamar Dara.
“Tumben dikunci?” tanya Azura lirih karena bingung, tapi juga mendadak berprasangka tidak baik. Dara baru saja membukakan pintu setelah membuatnya menunggu nyaris sepuluh menit lamanya.
Biasanya, Dara tidak pernah menutup rapat pintu kamarnya apalagi sampai mengunci kamar bahkan meski malam hari dan menjadi waktu untuk istirahat sekaligus tidur panjang. Hingga baik Azura maupun Danian bisa memantau keadaan Dara dengan leluasa. Namun kini, selain sampai mengunci diri, semua jendela kamar Dara dalam keadaan terbuka sementara suasana kamar gelap gulita. Tak ada lampu yang menyala di sana hingga Azura bergegas menyalakannya.
Ada apa? Hati kecil Azura menjadi sibuk bertanya seiring firasat buruk yang mulai membuatnya tidak baik-baik saja. Apalagi firasat seorang ibu biasanya selalu kuat.
Dara tidak bisa menjawab dan justru menggeragap. Azura yang mendapati itu makin tidak baik-baik saja. Azura yakin, sesuatu yang fatal telah terjadi pada sang putri.
“Kamu baik-baik saja, kan?” tanya Azura yang masih bertahan di ambang pintu.
Pertanyaan barusan tak ubahnya pertanyaan pamungkas yang menghakimi keadaan Dara. Nyaris menangis setelah apa yang terjadi padanya dan sukses membuatnya sangat tidak baik-baik saja, Dara sengaja memasang wajah ceria.
Azura belum sempat masuk dan memang langsung merasa tidak nyaman. Azura yakin, Dara sedang menyembunyikan sesuatu. Sesuatu yang membuat anak gadisnya itu tidak baik-baik saja.
Semoga bukan hal fatal dan hanya hal sepele. Dara masih sangat polos, tak mungkin Dara memiliki musuh atau sekadar orang yang membuatnya berada dalam posisi sulit. Atau jangan-jangan, Dara sedang bertengkar dengan Fean? Hah, masa sih? Orang sesabar Fean, apa yang mau diributkan? Pikir Azura.
Beberapa saat kemudian, Azura dan Dara duduk di salah satu sofa panjang yang ada di kamar Dara. Azura sengaja melakukan pendekatan, mencoba mencari tahu penyebab Dara sampai tidak selera makan.
“Ayo makan. Apa perlu, Mamah panggil Om Fean?” Azura menatap lama Dara.
Om Fean? Kira-kira, bagaimana tanggapan Om Fean bila dia tahu apa yang terjadi padaku dan Billy? Pikir Dara yang sempat bengong hanya karena mendengar nama Fean disebut. Kemudian, ia mengambil alih piringnya dan memakan semua itu sendiri tanpa bantuan sang mamah.
Azura hanya sesekali membelai kepala Dara, merapikan rambut Dara yang masih berantakan setelah sebelumnya sempat Dara jambak asal efek rasa kalut Dara pada apa yang Billy lakukan.
“Om Fean pria yang sangat baik. Salah satu pria terbaik yang ada di kehidupan ini. Siapa pun wanita yang menjadi pasangannya, dia pasti akan menjadi wanita paling bahagia.” Azura berbicara sambil diam-diam memperhatikan Dara yang fokus memakan makanan di piring. Dara makan dengan sangat cepat, seolah sengaja melampiaskan apa yang tengah dirasa pada makanan-makanan tersebut.
“Menurutmu, Om Fean juga begitu, kan?” lanjut Azura bertanya dengan sangat hati-hati karena sebenarnya, ia memang memiliki maksud lain dari pertanyaannya.
“Tentu saja. Bahkan menurutku, Om Fean jauh lebih bisa diandalkan dalam segala hal ketimbang Papah,” jawab Dara jujur sambil sesekali menatap Azura di tengah kesibukannya makan.
Azura refleks tersenyum seiring kebahagiaan yang ia rasakan hanya karena mendengar balasan Dara barusan. Baginya, sebuah keberuntungan bisa melepas putri pertamanya hidup bersama Fean. Azura yakin, Dara akan menjadi wanita paling bahagia bila Dara menikah dengan Fean.
Brruttt! Dara refleks menyemburkan makanan di dalam mulutnya, disusul ia yang batuk-batuk.
“Sayang, kamu kenapa? Ayo minum dulu,” ucap Azura langsung bergerak cepat. Meraih gelas berisi air minum di nampan yang ada di meja. Ia menuntun Dara untuk minum.
Setelah mengatur napas pelan, Dara yang baru beres minum langsung berkata, “Menikah dengan Om Fean?” ucapnya menegaskan, bila apa yang baru saja ia dengar dari Azura salah. Dara yakin dirinya hanya salah dengar. Mana mungkin sang mamah memintanya menikah dengan pria yang lebih cocok menjadi papahnya.
Akan tetapi, sambil memasang wajah tak berdosa, Azura mengangguk dan jelas membenarkan apa yang baru saja Dara pastikan.
“Ya ampun, Mah. Ketuaanlah nanti aku cepat jadi janda!” keluh Dara.
“Hah? Apa hubungannya, kok sampai bikin kamu cepat jadi janda?” Azura mendadak tidak bisa berpikir. Ia tidak bisa mencerna maksud dari balasan Dara.
“Ya iya lah, Mah ... Om Fean setua itu dan aku ... pasti Om Fean bentar lagi mati!”
Azura langsung tidak bisa berkata-kata dan refleks menelan salivanya. Sepolos itu memang Dara yang untuk berbicaranya sering tidak disaring, ceplas-ceplos layaknya Azura sewaktu masih muda.
“Dara, kamu tahu alasan Om Fean tidak bisa membuka hatinya untuk wanita lain selain kamu?”
“Lho ... lho, kok aku dibawa-bawa, Mah?”
Penuh kasih, Azura tersenyum dan meraih kedua tangan Dara, menggenggamnya sangat lembut sekaligus hangat. “Iya. Sejak Om Fean tahu Mamah hamil kamu, cinta Om Fean langsung hanya untuk kamu. Susah payah kami membujuk Om Fean untuk menikah dengan wanita lain. Namun nyatanya, mantan istri Om Fean menangis-nangis ke kami dan cerita bila Om Fean tetap tidak bisa mencintai apalagi menyentuhnya karena kamu. Om Fean sungguh hanya mencintai kamu!” Azura meyakinkan.
“Ah Mamah jangan bikin aku takut, masa iya, aku dicintai Om-Om tua bangka? Om Fean lebih cocok jadi papah aku apalagi Om Fean tiga bulan lebih tua dari papah, Mah!” rengek Dara benar-benar takut. Ia jujur tanpa ada yang ditutupi.
Sekali lagi, Azura tak bisa berkata-kata kemudian menelan salivanya.
“Jadi, ... alasan Om Fean begitu peduli kepadaku karena Om Fean ...?” Kali ini giliran Dara yang tak bisa melanjutkan ucapannya.
Detik itu juga Azura tersenyum hangat sambil mengangguk, membenarkan anggapan Dara. Bahwa alasan Fean begitu peduli pada Dara karena Fean sudah langsung jatuh hati pada Dara sejak Dara masih berupa janin.
Astaga, jadi enggak enak gini, kan. Ternyata alasan Om Fean baik banget dan lebih keren dari Supermen karena Om Fean mencintaiku?! Dalam diamnya, Dara kian ketar-ketir. Kok gini, sih? Urusanku dan Billy saja belum ada titik terang, ditambah Om Fean. Ah Billy, aku harus segera menemuinya! Kami harus segera menikah! Bagi Dara, hal yang harus secepatnya terjadi adalah pernikahannya dan Billy. Untuk ancaman kehamilannya, juga ancaman cinta buta Fean kepadanya.
Bersambung ....