Satu, dua, tiga, bahkan kelima test pack yang Dara gunakan untuk mengetes urinenya, perlahan dihiasi dua garis merah yang makin lama menjadi makin jelas.
Dara kebas.
Kedua mata Dara menatap tak percaya kelima test pack yang baru saja ia gunakan untuk mengetes kehamilan melalui urinenya. Bersamaan dengan itu, kedua kaki jenjang Dara juga refleks mundur secara tersentak menjauhi wastafel di hadapannya. Di pinggir wastafel sana, sebuah tabung kecil berisi urine dan itu merupakan urine milik Dara masih dalam keadaan terisi nyaris penuh. Sementara di sebelah kanan tabung berwarna putih tersebut ada kelima test pack dalam keadaan terjejer. Dari kelima test pack tersebut pula, Dara mengetahui dirinya tengah berbadan dua karena dua garis merah selaku tanda hasil pemeriksaan, makin lama makin terlihat terang.
Bak disambar petir di siang bolong, Dara benar-benar terkejut dengan apa yang ia alami. Padahal, ia dan Billy hanya melakukannya sekali, meski di beberapa kesempatan setelah malam naas itu, Billy sampai meminta Dara untuk melakukannya lagi.
Kini, di cermin wastafel yang ada di dalam kamar mandi di kamarnya, Dara mendapati pantulan bayangannya yang tampak linglung sekaligus hancur. Tubuhnya gemetaran hebat dan mendadak panas seperti dididihkan. Termasuk itu kedua matanya yang terus bergetar mengiringi detak jantung yang menjadi tak beraturan. Dara merasa sangat takut sekaligus bingung sebingung-bingungnya karena telah hamil di luar pernikahan.
Kini, air mata penyesalan seorang Dara langsung sibuk berjatuhan membasahi pipi. Baru genap satu bulan dari masa mens-nya yang langsung telat semenjak malam terjadinya pembuktian cinta yang Billy lakukan secara paksa, kekhawatiran Dara bila dirinya hamil, benar-benar terbukti!
“Aku beneran hamil ...?” lirih Dara seiring kedua tangannya yang refleks mengelus perut dengan gerakan sangat pelan. Ia tatap perutnya itu dengan mata yang basah sekaligus bergetar.
Perut Dara masih sangat rata meski wanita berambut lurus tebal dan panjangnya sepunggung itu hanya menggunakan tank top warna putih dipadukan dengan celana hot pants warna ungu muda.
“Apa yang harus aku lakukan? Tuhan tolong katakan padaku, apa yang harus aku lakukan? Om Fean ... aku harus mengabarkan ini kepada Om Fean! A-tunggu dulu, ... jangan, jangan ... Om Fean enggak boleh tahu! Duh, apa yang harus aku lakukan? Ah, aku harus memberi tahu Billy. Kami harus secepatnya menikah karena aku benar-benar hamil!” Dara kalang kabut, mondar-mandir di depan wastafel sambil menggigiti bibir bawahnya. Rambutnya yang sudah berantakan karena semalan ini ia tidak bisa tidur dan memberantakkan rambutnya, menjadi makin berantakan karena ia kembali mengacak sekaligus menjambaknya asal.
Dara segera mengemasi keperluan pengecekan kehamilannya. Ia memasukkan kelima test pack-nya ke kantong putih yang di dalamnya merupakan pembungkus dari alat uji kehamilan tersebut. Sementara untuk tabung yang masih berisi urinenya, Dara memilih membuangnya pada tempat sampah stainless berukuran sedang yang keberadaannya tepat di bawah kanan wastafel.
Waktu menunjukkan tepat pukul lima pagi pada jam digital warna keemasan yang menghiasi salah satu nakas sebelah tempat tidur Dara. Dara memasukkan kantong putih berisi alat sekaligus pembungkus uji kehamilannya di tangan kanannya pada tas yang ada di sofa depan bibir tempat tidurnya.
Suasana masih terbilang sangat sepi ketika akhirnya Dara keluar dari kamar. Ia sudah berpakaian rapi dan memoles wajahnya dengan riasan tipis. Belum ada orang lain selain pekerja yang sedang membereskan rumah. Tak lama berselang, Dara sudah ada di mobil yang dikemudikan oleh sang sopir. Tanpa Dara sadari, mobil Fean yang terjaga di gang belakang sebelah kediaman rumah orang tua Dara, langsung mengikuti mobil yang membawa Dara.
Sepanjang perjalanan, Dara masih saja tegang bahkan ketakutan. Kedua tangannya juga tetap gemetaran hebat di pangkuan dan saling remas di sana.
“Dara mau ke mana?” lirih Fean yang sengaja berjaga. Karena kemarin, orang suruhannya mengabari bahwa Dara mengunjungi apotek dan membeli lima buah test pack. Lebih tepatnya, sejak hari kemarin juga, Fean makin memperketat pengawasannya terhadap Dara yang sampai menjaga jarak darinya. Namun karena Fean sudah tidak sabar menunggu kelanjutan yang terjadi setelah Dara sampai membeli test pack, semalaman ini, Fean terjaga di gang sebelah kediaman Danian dan memang merupakan gang buntu.
Setelah diikuti, ternyata Dara pergi ke rumah orang tua Billy. Satpam yang berjaga langsung mengizinkan Dara masuk, sementara mobil yang mengantar Dara terparkir di seberang gerbang rumah bersama sang sopir. Namun Fean tetap bisa memantau Dara. Karena di tas yang Dara bawa dan memang sudah menjadi tas biasa Dara kuliah, Fean sudah diam-diam memasang sebuah kamera pengintai tanpa sepengetahuan Dara. Dan Fean terpaksa menunggu di depan bersama sopir Dara. Namun, Fean tetap bertahan di dalam mobil sekalipun sopir Dara yang sudah mengenalnya sangat baik, sampai menghampiri sekaligus menyapanya dengan sangat hormat. Fean terus memantau perjalanan Dara melalui layar monitor kecil di pangkuannya.
Setelah seorang ibu-ibu selaku ART di sana membukakan pintu, Dara yang buru-buru menuju kamar Billy dan keberadaannya ada di lantai atas, juga langsung dibukakan pintu kamar oleh Billy. Terkantuk-kantuk Billy yang masih memakai kaus oblong dan celana kolor serba hitam, terjaga di sisi pintu yang sampai agak cukup Billy dekap. Billy menyambut kedatangan Dara dengan senyum lembut sekaligus manja.
“Billy ....” Saking paniknya karena kehamilannya, Dara sampai berlari. Ia berhenti tepat di hadapan Billy. Pemuda itu langsung merengkuh pinggangnya dengan sangat mudah dalam sekali sentakan, kemudian membawanya masuk ke dalam kamar
Dara membiarkan Billy mengunci pintu kamarnya. Untuk sejenak, ia yang masih belum bisa tenang dan memang tidak bisa baik-baik saja, mengamati suasana kamar Billy yang masih gelap gulita. Hanya ada sorot cahaya remang dari ruang bagian tempat tidur. Namun bukan itu yang ingin Dara bahas, melainkan mengenai kehamilannya.
“Orang tuaku sedang pergi. Ayo kita melakukannya sebentar saja!” sergah Billy yang langsung merengkuh kedua tangan Dara.
Emosi, Dara yang merasa tak habis pikir pada Billy kenapa kekasihnya itu begitu rajin meminta jatah darinya padahal ia selalu menolak, sengaja mengipratkan genggaman kedua tangan Billy.
“Otak kamu isinya apa, sih? Setiap ada kesempatan, kamu selalu minta, padahal aku sudah selalu menolaknya dan kejadian malam itu walau kita hanya melakukan sekali saja sudah langsung bikin aku hamil!” Dara berucap cepat karena kemarahannya. Ia sungguh marah, ingin mencaci bahkan menampar Billy berulang kali.
“Ra ...?”
“Aku ini kekasihmu, tapi kenapa kamu malah memperlakukanku seolah aku hanya pemuas nafsu kamu?! Aku sudah berusaha sabar apalagi kamu janji, kamu akan belajar, kamu akan berubah, ... tapi apa?!”
Billy menggeragap. Kedua tangannya berusaha merengkuh kedua tangan Dara, tapi kali ini ia langsung mendapatkan penolakan karena kekasihnya itu langsung buru-buru mundur.
“Iya, ... iya, aku benaran hamil, Bil!” Dara mulai terisak dan mendapati keterkejutan luar biasa dari kekasihnya. Pemuda itu membatu dan tak lagi berulah termasuk itu meminta jatah, mengajaknya kembali melakukannya.
“Aku hamil, dan kamu harus tanggung jawab! Kamu harus menikahiku secepatnya! Ayo hari ini juga temui orang tuaku!” lantang Dara menuntut. Namun, sampai detik ini Billy masih mematung bahkan perlahan menunduk.
Merasa diabaikan padahal sebelumnya Billy begitu mantap dengan janjinya untuk bertanggung jawab, Dara menghantamkan tas di pundak kanannya pada Billy. Dan dengan begitu mudahnya tubuh Billy oleng bahkan berakhir terduduk.
“Billy, kamu harus bertanggung jawab! Kamu harus nikahi aku!” tangis Dara meraung-raung.
Di dalam mobilnya, Fean yang masih menyimak menggunakan headset bluetooth sudah berderai air mata menahan emosinya. Kedua tangannya sudah mengepal kencang, membuat otot-ototnya yang kekar, tampak sempurna.
“Dara, dengarkan aku. Aku mencintaimu, sangat. Kamu satu-satunya wanita yang aku cintai! Kamu tahu posisiku, menjadi seorang idol membuatku harus menjadi orang lain. Namun percayalah, sekalipun kita tidak bisa menikah dalam waktu dekat, nanti bila memang sudah saatnya, kita pasti akan menikah. Kita akan menjadi keluarga paling bahagia. Jadi, kamu tahu jawabannya. Tidak apa-apa, untuk yang sekarang, ... lebih baik gugurkan saja!”
Penegasan Billy barusan benar-benar membuat Fean ingin mengamuk.
“Kenapa kamu bilang begitu? Lebih baik kamu mati daripada kamu bilang seperti itu, Bil!”
Setelah sempat terdiam dan mungkin karena sangat syok, Dara yang juga sampai menjerit bersama tangisnya yang kian pecah, menjadi sibuk menghantam Billy menggunakan tasnya. Tas yang juga menjadi tempat Fean memasang kamera pengawas.
“Kalau kamu benar-benar punya rasa tanggung jawab, ... kalau kamu benar laki-laki, datang ke rumahku dan temui orang tuaku. Aku tunggu pertanggung jawabanmu, Bil. Hari ini juga, aku benar-benar menunggumu. Aku akan mengabarkan pada orang tuaku bahwa hari ini akan ada yang datang untuk melamarku dan melangsungkan pernikahan, ... secepatnya!”
Dara meninggalkan Billy begitu saja. Ia menghapus air matanya setelah ia kembali meletakan tasnya di pundak kanannya. Tak seperti biasa, kali ini Billy sama sekali tidak menahannya. Kekasihnya itu tak lagi mengemis waktunya untuk menjalani kebersamaan lebih lama. Billy masih terduduk di lantai tanpa ada tanda-tanda akan mengejarnya. Padahal, Dara sudah sampai berhenti kemudian menoleh, menatap Billy cukup lama dengan harapan, kekasihnya itu menahannya.
Please, Bil ... hari ini juga kamu datang ke rumahku. Tolong temui orang tuaku dan segeralah bahas kehamilan sekaligus pernikahan kita! batin Dara yang kembali menangis.