Meski tahu perasaan itu salah, namun tak berdaya untuk menghapusnya.
Cinta adalah sesuatu yang membahagiakan bagi mereka yang menerima balasan yang sama, lalu bagaimana dengan mereka yang tak mendapatkan balasan atas perasaan itu? Tentu saja, bagi mereka cinta adalah sesuatu yang menyiksa. Rasa sakit yang tak pernah berakhir dan membuatmu sangat menderita. Ingin rasanya kau membuang rasa itu, akan tetapi tak mampu.
Cahaya mentari menyelinap masuk dan mengintip melalui celah jendela. Delia menarik selimutnya hingga sebatas kepala. Matanya masih terasa begitu berat. Semua ini salah Andrew yang membuatnya tak bisa tidur dan berakhir dengan kepala pusing, dan juga hidung tersumbat. Tubuh Delia bahkan bergetar dan terasa panas. Delia tak bisa menepis fakta bila dirinya sudah menua dan daya tahan tubuhnya sudah menurun. Bermain di bawah hujan untuk sebentar saja, mampu membuatnya jatuh sakit seperti ini. Delia memijat pelipisnya.
“Sekarang, kamu sudah menjadi sleeping beauty yang harus dicium dulu agar terbangun?” Suara pria itu membuat membuat Delia tersenyum tipis. Wanita itu tak membuka matanya, menganggap apa yang didengarnya itu sebagai mimpi atau sekadar khayalannya. Tak tidur semalaman dan memikirkan pria itu sepanjang malam, membuat dirinya tak tahu mana nyata dan mana ilusi. Wanita itu semakin terbuai untuk terus tertidur karena hanya di dalam mimpi lah dirinya bisa mendapatkan segala yang ia inginkan. Termasuk cinta yang dulu dilepaskannya.
“Dee … kamu sakit?” Suara itu dibarengi dengan selimutnya yang dibuka oleh seseorang, menyadarkannya bila suara itu bukan ilusi yang diciptakan oleh otaknya. Delia segera membuka matanya dan terperanjat saat menemukan Andrew duduk di tepi tempat tidurnya. Delia hendak mengubah posisi tidurnya menjadi duduk, namun urung dilakukannya karena sakit yang menyerang kepalanya. Seolah menghantam kepalanya kuat-kuat. Pada akhirnya, wanita itu hanya meringis kesakitan sembari memegang keningnya, memberikan pijatan di sana.
“Tampaknya, kamu beneran sakit,” Ujar pria itu seraya menyetuh tangan Delia dan menyingkirkan tangan wanita itu dari keningnya sendiri, kemudian pria itu menempatkan punggung tangannya di kening Delia dan terkejut saat merasakan suhu tubuh wanita itu.
“Kembali tidur lah, Dee. Jangan bangkit dari tempat tidur,” Ujar pria itu dengan penuh pengancaman. Delia yang tadinya mau berusaha mengubah posisi tidurnya menjadi duduk pun segera mengurungkan niatnya begitu melihat tatapan tajam Andrew padanya. Ia menarik napas panjang dan menghelanya perlahan, lalu dengan pasrah kembali tidur.
“Ternyata bukan hanya berubah menjadi feminim, kamu juga udah menjadi sangat lemah,” Pria itu menggeleng-geleng dan menatap Delia iba, membuat Si wanita mendengkus kesal. Sementara pria itu tergelak menikmati wajah kesal Delia. Rasanya, seperti kembali ke masa lalu. Ketika mereka muda dulu dan tak memikirkan hal lain selain bersenang-senang. Saat di mana mereka harus menghadapi kepahitan dari dunia nyata. Dirinya begitu suka melihat wajah kesal Delia, wanita yang entah mengapa tak bisa membuatnya berhenti mengganggu.
“Siapa yang membuatku menjadi seperti ini? Jangan merasa nggak berdosa dan pura-pura nggak tahu akan kesalahanmu sendiri, Drew!” Wanita itu memutar kedua bola matanya dengan kesal, “Kalau saja kamu nggak mengajakku hujan-hujanan, maka aku nggak akan berakhir seperti ini,” Lanjut wanita itu sembari menatap Andrew dengan tatapan tajam, sedang pria itu tergelak untuk yang kesekian kalinya. Pria itu menangkup wajah Delia dengan kedua tangannya dan menatap wanita itu lekat, membuat Delia tanpa sadar menahan napasnya untuk beberapa saat. Ia tak mampu menghentikan jantungnya yang berdebar tak menentu karena perbuatan pria itu. Harusnya, ia tak lagi merasa seperti ini. Harusnya, rasa itu sudah lama mati.
“Diamlah di sini dan aku akan bertanggungjawab dengan menjagamu sampai kamu sembuh total,” Senyum pria itu mampu menghipnotis Delia yang terpaku, “Aku akan membelikan bubur dan jangan beranjak dari ranjang atau aku bisa marah besar. Kamu pasti ingat segila apa kalau aku marah,” Lanjut pria itu seraya mengacak puncak kepala Delia, sedang wanita itu tak berani membantah dan mengangguk kecil mendengarkan perintah Andrew.
Pria itu tersenyum puas, lalu berlalu keluar dari kamar Delia dan meninggalkan wanita itu yang menatap sendu punggung Andrew yang terus menjauh. Ada rasa nyeri yang tak mau pergi dari hati wanita itu. Semua perhatian pria itu dan juga sikapnya, membuat Delia merasakan perasaan yang ia pikir telah lama mati. Mengapa begitu sulit untuk membunuh cinta yang dulu begitu kau sukai? Apa karena perasaan tak rela atau memang cinta tak bisa dibunuh?
Di sisi lain, Andrew yang baru pulang dari membeli bubur untuk Delia, berjumpa dengan anak perempuannya yang memiliki nama sama dengan sahabatnya. Gadis kecil itu segera berhambur ke dalam pelukan ayahnya. Keduanya berpelukan begitu erat, seolah sudah lama tak bertemu. Delia begitu manja dengan Andrew dan dirinya sendiri sulit lepas dari anaknya itu. Gadis kecil itu sudah kehilangan ibu sejak dilahirkan, oleh karena itu Andrew selalu menjadi ayah dan ibu yang terbaik untuk Delia. Tak ingin putrinya merasa kekurangan kasih sayang.
“Pa, Dee mau main sama Tante Delia, tapi dari tadi Dee nggak lihat tante,” Ujar Delia begitu melepaskan pelukan mereka, “Apa Papa lihat Tante Delia ada di mana?” Lanjut gadis kecil itu seraya menatap sekelilingnya. Andrew tersenyum dan mengacak puncak kepala putrinya. Memiliki nama yang sama, pasti membuat gadis kecil itu merasa mudah dekat dengan Delia, hingga Delia bisa begitu kehilangan Delia besar. Padahal mereka baru berkenala.
“Tante Delia lagi sakit, jadi nggak bisa main sama kamu,” Andrew segera menggendong gadis kecil itu dengan sebelah tangannya dan membawa putrinya kembali masuk, sementara itu Delia menatap ayahnya dengan tatapan khawatir. Ia mencemaskan keadaan tante Delianya.
“Apa Dee boleh menemui Tante Delia?” Gadis kecil itu menatap Andrew dengan tatapan memohon, sedang Andrew langsung menggeleng tak setuju, “Tapi Dee khawatir. Bagaimana kalau Tante Delia sakit dan nggak sembuh, lalu sama seperti mama yang pergi ke surga?” Mata gadis kecil itu berkaca-kaca, perkataan Delia mengahancurkan bathin Andrew. Pria itu menurunkan anaknya dan mengusap lembut wajah putrinya. Putrinya tampak tengah menguatkan diri untuk tak menangis, meski matanya sudah berkaca-kaca. Andrew menarik napas panjang dan menghelanya perlahan, mencoba menentramkan rasa pedih yang menjalar ke penjuru hatinya.
Dirinya selalu berusaha untuk memenuhi peran ibu dan juga ayah untuk anak-anaknya, berharap tak memerlukan bantuan orang lain untuk membuat anak-anaknya merasa tercukupi. Meski ayah dan adik kembarnya kerap memaksanya untuk kembali menikah, Andrew tak mau. Bukan dirinya tak ada keinginan memiliki teman hidup, namun dirinya terlalu mencintai istrinya dan tak ada yang mampu membuatnya jatuh cinta begitu dalam seperti istrinya yang sudah pergi meninggalkan dunia ini. Sampai kemarin. Saat dirinya bersama dengan Delia. Andrew dapat merasa bila sesuatu terjadi di dalam hatinya, hal yang ia pikir tak lagi bisa ia rasakan.
“Papa berjanji akan menjaga Tante Delia dengan baik, jadi kamu juga harus nurut dan nggak menganggu Tante untuk sementara,” Pria itu tersenyum pada putrinya dan mengusap lembut puncak kepala gadis kecilnya, “Lagipula, papa juga nggak mau kalau Tante Delia menularimu penyakitnya, jadi kamu lebih baik berlatih dengan semangat dan serahkan perihal Tante Delia pada papa. Kamu tahu sendiri kalau Papa paling jago merawat orang sakit,” Lanjut Andrew seraya mencubit gemas hidung mancung putrinya. Ia tersenyum dan mengusap air mata yang entah sejak kapan jatuh dan membasahi pipi gadis kecilnya itu.
Sesungguhnya, Andrew sadar akan kekurangannya untuk memainkan peran ibu. Sampai kapan pun akan da ruang kosong di sana. Ia tak mungkin bisa memainkan dua peran dengan baik. Sebenarnya, Andrew pun masih merasa begitu kehilangan dengan kepergian istrinya. Ia mengerti bagaimana perasaan Delia, anaknya. Kehilangan pasti akan membuat seseorang merasa trauma dan ketakutan bukan lah yang bisa dihindari saat kau menyimpan luka yang besar.
Gadis kecil itu mengulurkan jari kelingkingnya pada Andrew. “Janji kalau papa akan menjaga dan merawat Tante Delia dengan baik? Jangan biarkan Tante sakit lagi,” Gadis kecil itu menatap ayahnya lekat-lekat. Andrew tersenyum seraya mengangguk, lalu mengaitkan jari kelingkingnya pada jari anaknya yang membuat gadis kecil itu tersenyum senang.
“Papa janji kalau papa akan merawat Tante Delia dengan baik. Papa nggak akan membiarkan Tante Delia terus-terusan sakit,” Ucap pria itu sungguh-sungguh, “Kamu sendiri juga harus segera berlatih. Tadi kan udah sarapan sama papa, sekarang udah ada tenaga untuk pergi berlatih,” Lanjut pria itu seraya mengusap lembut puncak kepala anaknya.
Delia tersenyum lebar dan mengangguk. “Ya udah, kalau gitu aku pergi dulu ya, Pa. Pokoknya, Tante Delia harus dijaga dengan baik. Awas aja kalau papa nakal dan nggak nurut! Papa harus nyembuhin Tante Delia,” Gadis kecil itu meletakkan tangannya di pinggang dan menatap ayahnya dengan penuh pengancaman, membuat Andrew tertawa melihat kelakuan anaknya. Andrew tersenyum, mengangguk, dan mengucapkan kata ‘janji’ yang membuat anaknya itu merasa tenang dan segera pergi meninggalkannya. Andrew tersenyum lirih melihat putrinya yang begitu takut dengan kehilangan. Sampai saat ini pun, Andrew masih merasakan ketakutan yang sama. Bagaimana dirinya tanpa istrinya dan membesarkan kedua anaknya?
Andrew melanjutkan langkahnya menuju kamar Delia. Pria itu tersenyum saat melihat Delia yang kembali tertidur. Pria itu terpaku di ambang pintu. Ada perasaan hangat yang menjalar ke penjuru hatinya. Mungkin karena mereka begitu lama berpisah, hingga Andrew kebahagiaan yang Andrew rasakan membuat dirinya merasa lengkap, seolah ada bagian yang telah lama hilang dan kini sudah kembali lagi di tempatnya semula. Sejujurnya, kepergian Delia membuat Andrew merasa hidupnya tak selengkap dulu, meski dirinya memiliki istri yang begitu dicintainya. Seperti ada sesuatu yang hilang dalam dirinya, namun ia tak tahu apa itu. Sampai pada akhirnya, takdir mempertemukannya kembali pada Delia.
Pria itu berjalan ke arah tempat tidur. Duduk di sisi ranjang dan meletakkan bubur yang dibelinya ke atas nakas. Pria itu memperhatikan wajah Delia dalam diam. Terlihat begitu damai dan entah mengapa dirinya baru sadar jika Delia sangat cantik. Begitu banyak perubahan yang terjadi pada Delia. Wanita itu terlihat seperti wanita pada umumnya. Hal yang dulu tak pernah ada di diri Delia. Tampaknya, waktu memang begitu ajaib. Mampu melakukan hal yang dulu tak terpikirkan sebelumnya. Mengubah apa yang dulu sangat diketahui oleh Andrew.
Andrew mengusap wajah Delia perlahan, tak ingin membangunkan wanita itu. Sebagian diri tak ingin wanita itu terbangun agar dirinya bisa lebih lama lagi menikmati wajah Delia yang terlihat bak seorang malaikat. Jantung Andrew berdebar tak menentu. Rasanya begitu aneh. Rindu yang menggebu itu mungkin penyebab dari kekacauan yang ada di dalam hatinya. Entahlah, Andrew tak mengerti apa yang ada di dalam hatinya itu. Mungkin, ia hanya merindu.
Andrew menghentikan usapan tangannya pada wajah Delia, mempertipis jarak di antara wajah mereka, dan mengamati wajah yang dulu begitu dirindukannya. Wajah yang selalu hadir saat Andrew merasa ada kekosongan di dalam hatinya. Wajah yang kini bisa dinikmatinya kembali, akan tetapi kini ada rasa asing yang menguasai saubarinya saat melihat wanita itu.
Beberapa saat kemudian, Delia membuka matanya perlahan dan pandangan mereka saling bertemu. Delia menahan napas selama beberapa detik. Jantungnya pun ikut berhenti dalam detik yang sama, kemudian berdebar liar. Wajah mereka begitu dekat, hingga Delia dapat merasakan embusan napas Andrew di pipinya. Sepasang mata cokelat hazelnut itu seperti lautan yang mampu membuatnya tenggelam di sana, mampu mengobrak-abrik hatinya yang semula tenang.
Saat sadar jika hal itu tak boleh terus berlanjut agar dirinya tak lagi terluka dan mengulang kebodo0han di masa lalu, Delia segera mendorong tubuh Andrew yang terkejut dan jatuh ke lantai karena perbuatannya itu. Pria itu menatap Delia marah dan mengusap-usap boko0ngnya.
“Dee … kenapa kamu mendorongku? Ternyata, kamu pura-pura sakit karena masih sekuat ini dan bisa mendorong,” Andrew merasa tak terima dengan perbuatan Delia dan menatap wanita itu garang, sedang Delia tertawa kecil dan berusaha menutupi kegugupannya. Tak mungkin ia memberitahu pada Andrew tentang cinta yang seharusnya tak ada lagi di dalam hatinya, cinta yang harusnya tak pernah ia utarakan pada Andrew, dan cinta yang tak pernah bisa pria itu balas.
“Maaf, Drew. Aku terkejut menemukanmu di begitu dekat. Lagipula, ngapain kamu mendekatkan wajahmu. Jangan pikir kalau kamu bisa mengambil kesempatan dalam kesempitan. Hubungan nggak sehat kita sudah lama berakhir, jadi jangan bersikap aneh,” Delia berkata dengan kesal, meski jantungnya tak bisa ia tenangkan. Hatinya bergejolak hebat, namun harus disembunyikan. Ada beberapa rasa yang memang lebih baik tak diutarakan, bukan?
Andrew terbahak dan kembali duduk di tepi tempat tidur. “Ya Tuhan, Dee. Aku sudah berubah dan aku nggak akan mengambil keuntungan darimu yang tertidur. Aku hanya nggak percaya kalau kamu sudah sangat berubah. Aku hanya mengamati dan bertanya-tanya, apa kamu masih waras? Kenapa bisa menjadi seperti wanita?” Andrew lagi-lagi tertawa saat melihat wajah marah Delia. Pria itu lalu secara tiba-tiba menempatkan punggung tangannya pada kening Delia, membuat wanita itu kembali terpaku, “Ternyata masih panas. Jangan keseringan marah nanti kamu nggak sembuh-sembuh. Aku sudah berjanji pada anakku kalau aku akan menyembuhkanmu dengan sangat cepat. Jadi bekerjasama lah dan cepat sembuh,” Lanjut pria itu tersenyum lembut, senyum yang mampu membuat jantung Delia berdebar semakin kencang.
“Aku akan mengajukan complain pada anakmu dan mengatakan kalau kamu nggak merawatku, melainkan menyiksaku. Aku akan memastikan kamu hidup susah,” Ancam Delia.
“Ya, kamu bisa melakukan itu setelah sembuh, jadi cepatlah sembuh dan siksa aku,” Andrew tergelak dan membantu Delia untuk duduk, ia menempatkan bantal di sandaran tempat tidur dan memperlakukan Delia begitu lembut. Delia tak merontah dan menikmati perlakuannya, meski hati kecilnya terus berteriak agar tak terbuai dan melakukan kesalahan yang akan ia sesali.