Lexa memilih pulang dengan jalan kaki saat hendak pulang ke rumah. Karena memang rumah Lexa lebih dekat dari tempatnya bekerja sebagai kasir. Dari kantor Diego, Lexa langsung saja pergi ke tempatnya bekerja selanjutnya. Untuk mandi atau bahkan berisitirahat saja Lexa tak bisa. Hanya saja di perusahaan Diego, Lexa masih sempat beristirahat karena memang kerjannya di lantai atas tidak begitu banyak.
Hanya saja memang tidak mudah juga untuk di kerjakan. Karena Lexa juga harus menyiapkan makan siang Diego. Bisa dengan membeli makanan yang memang pasti enak atau mau masak juga bisa. Karena Lexa pernah bekerja di rumah makan, pengalaman itu membuat Lexa akhirnya bisa masak lumayan enak. Tadi Lexa mencobanya untuk pertama kali, awalnya dia tak yakin kalau Diego bakalan menyukainya.
Tapi pada akhrinya Diego menyukainya. Pantes saja tanggungjawab di lantai atas emang sulit, karena ternyata sampai ke minuman dan makanan Diego selama di kantor. Bahkan kalau bisa sama dengan snack Diego juga di pikirkan. Lexa baru paham, temannya yang pernah bekerja juga sebagai cleaning service tidak pernah seperti ini. Diego memang unik dan Lexa baru tahu kalau Diego memang tidak suka dengan makanan diluar, lebih suka dengan makanan yang di masak sendiri. Kenapa tidak panggil chef saja pikirnya.
Flashback On
“Bu, saya coba buat makanan dibandingkan beli karena Ibu bilang Pak Diego nggak suka dengan makanan diluar. Saya bingung dengan makanan diluar yang enak yang mana, apalagi kalau nyari yang sesuai dengan selera Pak Diego. Jadi saya coba buat sendiri, tapi saya nggak yakin sama masakan saya.” Ucap Lexa tak enak.
“Kamu ada buat lebih? Biar saya cicipi dulu biar tahu makanan kamu enak apa enggak.” Lexa mengganggukkan kepalanya.
“Ada Bu, sebentar ya.” Lexa langsung saja menuangkan hasil masakannya yang masih ada di kuali ke piring untuk Lidya.
“Ini enak kok, enak banget malah. Kamu pinter masak ternyata.” Puji Lidya ketika sudah mencicipi hasil masakan Lexa.
“Ibu yakin? Ibu lagi nggak coba untuk nyenangin hati sayakan? Menurut Ibu makanan saya bakalan disuka sama Pak Diego?”
“Saya jamin Pak Diego bakalan suka, kamu berani taruhan sama saya? Karena masakan kamu jauh lebih enak di bandingkan yang sebelumnya malah. Percaya deh sama saya, semuanya terasa pas kamu pinter ngolahnya. Ini bukan makanan biasa malah,” Lexa masih saja tak yakin. “Udah buruan sana antar, bentar lagi jam makan siang. Pak Diego nggak suka makan siangnya di antar terlambat. Pak Diego harus makan tepat waktu, menurut Pak Diego waktu itu mahal. Buruan sana, jangan sampai Pak Diego marah sama kamu di hari pertama bekerja.”
“Untuk hari ini temenin saya ya Bu buat antar makanan sama Bapak?” Tanya Lexa dengan hati-hati.
“Yasudah ayo saya temani.” Ajak Lidya dengan membantu Lexa membawa makanan yang di masaknya itu. Sesampainya di ruangan Diego, Lidya langsung saja mengetuk pintu ruangan pria itu dan masuk. Diego memang sedang menunggu makan siangnya itu. Pria itu langsung saja pindah ke sofa untuk menerima makanannya.
“Pak hari ini Lexa berinisiatif untuk tidak membeli makanan, malah Lexa mau langsung masak untuk Bapak. Percaya deh Pak, makanannya pasti Bapak suka. Karena emang enak banget, Lexa pernah kerja di tempat makan Pak jadi kayaknya dia belajar di sana.” Kata Lidya dengan panjang lebar membuat Lexa jadi malu.
“Oh ya? Saya jadi nggak sabar untuk mencicipinya juga.” Lexa meletakkan makanan yang di masaknya itu ke atas meja. Ia menunggu respon Diego dengan takut-takut ketika pria itu mulai mencicipinya
“Pasti Bapak akan ketagihan.” Pungkas Lidya dengan semangat.
“Kamu bener, ini enak. Kamu pinter masak juga ternyata?” Tanya Diego.
“Eh enggak juga Pak, hanya tahu aja. Ibu saya juga suka ngajarin saya masak dulu sebelum sakit, jadinya tahu deh masak makanan rumah kayak gini.”
“Ibu kamu sakit?” Beo Diego, membuat Lexa bungkam. Ia tak sadar mengatakan itu tadi karena semangatnya di puji oleh Diego.
“Iya Pak, Ibunya Lexa sakit. Makanya Lexa langsung setuju kerja di lantai ini, karena gajinya beda Pak. Katanya mau kerja ektsra untuk dapat uang lebih supaya bisa bayar rumah sakit Ibunya. Lexa aja bahkan setelah dari sini, harus kerja di tempat lain lagi. Iyakan?” Lidya yang menjawab Diego membuat Lexa jadi tak enak hati. Memang tadi mereka sempat ngobrol dan Lidya sempat bertanya makanya wanita itu tahu bahwa Lexa bekerja di dua tempat.
“Aaaa begitu. Ibu kamu sakit apa?” Tanya Diego.
“Ginjal Pak,” Diego mengganggukkan kepalanya paham, karena pria itu diam saja sambil menikmati makanannya membuat Lexa jadi penasaran apakah makanannya memang seenak itu. “Masakan saya memang enak Pak? Cocok sama seleranya Bapak?” Tanya Lexa penasaran.
“Iya cocok, makasih ya. Kalau kamu nggak capek kamu bisa masak untuk saya dari pada beli, sesekali untuk beli bolehlah.” Lexa menganggukkan kepalanya dengan semangat.
“Baik Pak, akan saya usahakan. Bapak juga boleh request mau makan apa, manatau Bapak kepengen makan apa saya usahakan untuk bisa siapin untuk Bapak.”
“Saya serahkan aja semuanya sama kamu. Tapi dua hari ke depan tidak perlu menyiapkan saya makanan, karena saya tidak akan di kantor. Nanti saya bisa hubungi kamu langsung kalau saya memang pulang, bagaimana?” Lagi Lexa mengganggukkan kepalanya.
“Baik Pak, nomer say—”
“Sayakan udah punya nomer kamu karena yang kemarin.”
“Aaaaa iyaa baik Pak.” Lexa tak menyangka kalau nomernya di simpan, padahal nomer Diego saja tak di simpannya. Mungkin setelah ini Lexa pasti akan menyimpannya.
“Lexa nggak percaya Pak kalau makanannya enak, tadi dia sempat insecure. Takut kalau Bapak nggak bakalan suka, ternyata beneren sukakan. Bisa jadi chef pribadi keluarga Pak Diego nih.” Goda Lidya.
“Ibu bisa aja.” Jawab Lexa malu-malu.
“Bisa saya pertimbangkan, nanti coba saya bicarakan sama istri saya.” Ucap Diego tiba-tiba. Karena memang Diego sudah lama menginginkan seseorang yang bisa masak sesuai seperti ini.
Karena Chalondra tak bisa masak, untuk membuatkan kopi untuknya saja Chalondra selalu gagal. Apalagi mengerjakan yang lain, padahal Diego ingin ada yang bisa di masak oleh istrinya itu. Chalondra tak mau belajar memasak ketika Diego meminta, Chalondra selalu saja mengeluh capek dan tak mau berkeringat dan bau ketika memasak. Makanya Chalondra rela membayar orang dengan mahal agar makanan mereka di rumah dijamin aman. Kalau sudah seperti itu, apalagi yang mau Diego katakan bukan?
“Yahhh saya harus cari orang baru lagi nih buat di lantai atas kalau gitu.” Kata Lidya dengan pura-pura sedih.
“Carilah, saya yakin kamu pasti bisa.” Balas Diego.
“Baik Pak, nanti kabarin saja. Kalau begitu kami pamit dulu Pak, kalau udah selesai boleh di panggil Pak.” Diego menggukkan kepalanya mengiyakan, setelah itu keduanya keluar dari ruangan Diego. “Benerkan saya bilang kalau Pak Diego bakalan suka, kamu bandel sih. Untung aja kamu nggak mau taruhan tadi, kalau enggak beneren saya bisa menang bangkrut kamu,” Goda Lidya membuat Lexa tertawa. Di satu sisi Lexa senang mempunyai atasan seperti Lidya yang baik dan ramah.
“Makasih banyak ya Bu udah kasih saya kesempatan kayak gini, saya senang banget bisa kerja juga bareng Ibu. Ibu juga udah baik banget sama saya.”
“Sama-sama, semangat ya. Kamu masih muda dan perjalanan kamu masih panjang, saya yakin kalau kamu bisa sukses juga nanti suatu saat.” Senyum Lexa langsung saja terpancar di wajah cantiknya itu.
Flashback Off
“Lexa!” Panggil seseorang yang membuat wanita itu tersadar dalam lamunannya.
Bahkan karena asyik mengingat apa yang terjadi saat di kantor, membuat Lexa tak sadar kalau dia sudah berada di dekat rumahnya. Lexa berbalik dan melihat ada Hagan Pandya Pangalila, mantan pacar Lexa yang baru saja di putuskannya beberapa bulan yang lalu. Lexa sudah tidak tahan menjalin hubungan dengan pria itu lebih lama lagi karena Hagan sangat suka dengan kekerasan. Kerap kali Lexa mendapat pukulan dari Hagan.
“Kalau kamu datang untuk nagih uang, aku janji bulan depan aku akan bayar utang ke kamu. Aku sekarang nggak punya uang, untuk bayar biaya rumah sakit Ibu aja aku nggak bisa. Bulan depan begitu gajian, aku langsung bayar ke kamu. Aku udah dapat kerjaan baru sekarang, aku janji Hagan.” Mohon Lexa pada pria dari masa lalunya itu.
Terakhir kali Hagan menemuinya itu sebulan yang lalu dan datang karena meminta uang. Hagan memang banyak membantu Lexa dalam mengenai keuangan. Kalau Lexa tidak punya uang maka Hagan akan membantunya. Hanya satu yang Lexa tak suka, kalau Hagan suka memukulnya. Maka itu Hagan tak terima saat Lexa memintanya untuk mengakhiri hubungan mereka. Karena itu Hagan meminta Lexa untuk membayar semua uang yang sudah dikeluarkan oleh Hagan untuk membantu biaya pengobatan Ibunya Lexa.
Maka sekarang Lexa terjebak untuk membayar utang pada Hagan. Siapa yang tahan punya hubungan tak sehat seperti itu bukan? Setiap kali Hagan menermuinya, Lexa takut kalau pria itu kembali menyakitinya. Apalagi Hagan selalu menemuinya di gang menuju rumahnya yang gelap ini sehingga tidak ada yang bisa membantunya. Mau melapor pada polisi, Lexa takut maka selama ini ia hanya bisa diam saja dan memendam semuanya.
“Hari ini aku nggak akan nagih kamu uang, aku hanya mau kamu nemenin aku bersenang-senang. Aku butuh kamu hari ini buat nemenin aku, ayo sekarang ikut aku.” Hagan langsung saja menarik lengan Lexa dengan kuat membuat Lexa menarik tangannya yang ditarik itu.
“Hagan please lepasin, aku nggak mau nemenin kamu. Aku capek Hagan, aku baru pulang kerja. Aku butuh istirahat, aku nggak bisa nemenin kamu sekarang.” Mohon Lexa sambil menarik tangannya agar dilepaskan.
“Dengarkan aku! Aku kasih kamu waktu untuk bayar utang tapi dengan syarat, apa kamu lupa? Kamu janji bakalan temenin aku di saat aku butuh seperti sekarangkan, kamu udah janji! Kamu mau ingkar janji apa gimana? Kamu mau buat aku marah?” Tanya Hagan dengan sarkas dan suara yang meninggi.
“Bukan gitu, aku mau nemenin kamu tapi nggak sekarang. Aku capek, aku butuh istirahat. Dari pagi aku udah kerja dan baru pulang sekarang, please ngertiin aku jangan kayak gini. Aku emang nggak bisa nemenin kamu lagi, untuk nemuin Ibu aja aku nggak bisa apalagi kamu. Aku janji bakalan bayar utang ke kamu, aku kerja juga karena supaya bisa bayar utang sama kamukan.” Mohon Lexa.
“Makanya, jangan putusin aku kalau kamu nggak bisa bayar utang! Kalau aja kamu nggak putus sama aku, kamu nggak akan kayak gini. Aku bakalan bantu kamu untuk bayar uang pengobatan Ibu kamu! Apa kamu mau berubah pikiran? Aku akan kasih kamu kesempatan kalau kamu mau.” Lexa menggelengkan kepalanya.
“Kamu tahu jawaban aku apa, aku nggak akan mau balikan sama kamu. Hubungan kita udah nggak sehat, hubungan kita toxic. Kamu terus aja pukul aku di saat kamu marah, siapa yang bisa tahan sama kamu kalau kayak gitu? Gimana bisa aku punya hubungan sama orang suka sakiti aku baik fisik dan mental.” Ucap Lexa tanpa sadar membuat Hagan jadi marah dan memukul Lexa. Pria itu menampar Lexa dengan masih menahan emosi.
“Kamu bisa nggak jangan buat aku marah! Kamu yang terus buat aku marah sampai aku harus kayak gini sama kamu!” Desis Hagan, Lexa memegang pipinya yang dipukul oleh Hagan itu.
“Kamu yang nggak bisa nahan diri, setiap marah selalu aja main pukul. Sedikit kesal selalu aja pukul, kalau kamu marah sama orang lain yang kena siapa? Aku! Aku terus dijadikan tempat pelampiasan sama kamu! Jadi bukan karena kesalahan aku aja! Harusnya kamu sadar dong, jangan nyalahin orang aja bisanya.” Hagan kembali memukul Lexa sampai bibirnya pecah dan mengeluarkan darah.
“Aku bilang jangan buat aku marah!” Desis Hagan tak terima di salahkan seperti yang dikatakan Lexa tadi. “Kalau kamu buat aku terus marah aku nggak akan kasih kamu waktu lagi dan aku bakalan terus pukul kamu!” Desis Hagan lagi.
“Mau sampai kapan kamu kayak gini sama aku? Please kamu berubah jangan kayak gini.” Mohon Lexa sambil menangis, Hagan langsung saja menekan pipi Lexa dengan kuat membuat wanita itu meringis karena mengenai lukanya.
“Jangan coba-coba buat atur aku, kamu urus aja diri kamu sendiri. Dasar perempuan nggak guna! Nggak punya apa-apa aja masih aja sombong! Aku bakalan tunggu kamu dua minggu lagi untuk bayar utang! Sebulan kelamaan, kalau kamu nggak bisa bayar lagi harus siap kamu nemenin aku!” Pungkas Hagan dengan marah dan terakhir mendorong Lexa sampai wanita itu tersungkur dan lagi dan lagi membuat tangan Lexa terluka dan berdarah.
Tangis Lexa pecah, Hagan memang selalu bersikap seperti itu. Bahkan bisa lebih parah dari tadi, Hagan saja pernah memukulnya dengan stick golf, tali pinggang, dan yang lainnya. Sehingga banyak bekas luka yang membekas di tubuh Lexa. Sekarang saja sudah tidak ada semenjak hubungan mereka berakhir. Namun Hagan kembali memberikan bekas di tubuh Lexa. Wanita itu hanya bisa menangis, diperlakukan seperti itu.
Sampai akhirnya dia tenang barulah pulang ke rumah dan berharap Tyas sudah tidur supaya tidak tahu bahwa dirinya sedang terluka. Namun keinginann itu hanyalah sebuah keinginan saja, karena Tyas belum tidur dan melihat Lexa yang habis menangis. Bahkan ada luka di wajahnya dan Tyas juga melihat tangan Lexa yang terluka. Membuat wanita itu tahu perbuatan siapa.
“Hagan lagi? Emang brengsk tuh orang, dia masih di depan nggak. Bisa-bisanya dia kay—”
“Udah Tyas, jangan kayak gini. Emnag salah aku yang nggak bisa bayar utang, aku udah janji bakalan nemenin dia tapi emang aku yang nggak mau.” Tyas menghembuskan napasnya kasar.
“Tetap aja, dia nggak bisa kayak gini sama kamu. Dia nggak berhak buat pukul kamu kayak gini, ini udah kelewatan Lexa! Jangan bela dia lagi!”
“Aku nggak bela dia, emang kita bisa apa kalau udah kayak gini?” Tanya Lexa membuat Tyas bungkam.
“Pake uang aku aja dulu buat bayar utang sama si breng—”
“Nggak akan cukup, utang aku sama dia banyak. Dia bakalan terus datang sampai utangku lunas, aku juga bakalan nabung. Nanti setelah uangku cukup dan uang kamu juga cukup, aku pasti akan bilang sama kamu. Tapi enggak sekarang okay?” Tyas jadi kesal sendiri karena tak bisa membantu Lexa juga.
“Sini deh aku bantuin obatin.” Tyas langsung saja mengambil kotak P3K. “Lain kali kalau udah lihat dia langsung lari aja. Nggak perlu di ladenin orang kayak gitu.”
“Iya, kamu tenang aka.” Jawab Lexa sambil memaksakan senyumnya agar Tyas tenang.
“Nggak usah senyum gitu, aku nggak akan percaya sama senyum palsu kamu itu. Tahan ya, ini bakalan sakit.” Tyas mulai membersihkan luka di bibir Lexa, wanita itu benar-benar berusaha menahan diri agar tidak meringis kesakitan walaupun sebenernya ingin teriak.
“Jangan bilang sama Ibu ya soal ini.” Mohon Lexa.
“Iyalah, mana mungkin aku bilang sama Ibu.”
“Aku juga nggak bakalan bisa ketemu sama Ibu untuk beberapa hari ke depan sampai lukanya sembuh. Titip Ibu ya? Bisa pake alasan yang logiskan?” Tyas menganggukkan kepalanya mengiyakan.
“Bagaimana keadaan Ibu?”
“Bagaimana pertama kerja hari ini?” Tanya mereka secara bersamaan membuat keduanya akhirnya tertawa karena bertanya secara bersamaan. Keduanya sama-sama menjawab pertanyaan yang dikeluarkan dari lawan masing-masing dengan Tyas yang masih sambil mengobati tangan dan bibir Lexa.
*****
Setelah makan dengan Tyas, Lexa kembali ke kamarnya untuk tidur. Namun sebelum tidur, Lexa memainkan ponselnya dan mencari nomer Diego lalu menyimpannya. Senyum Lexa kembali mengembang mengingat bagaimana Diego memuji masakannya. Entah kenapa Lexa jadi suka dengan masak, karena banyak yang suka dengan masakannya. Padahal Lexa kuliah tidak mengambil itu, pengalaman memang luar biasa membuat orang berhasil pikirnya.
Karena dia belum bisa tidur, akhirnya Lexa mulai mencari resep makanan di internet. Lexa jadi ingin mencoba setiap makanan yang ada, lalu di sajikannya pada Diego. Lexa jadi mau belajar, maka wanita itu mencari banyak resep lalu mencatatnya agar bisa di aplikasikannya. Malah Lexa selama dua hari ini ingin mencoba masak selagi Diego tidak ada. Setidaknya waktu tersebut bisa dipakainya untuk memasak.
Apalagi bahan di kantor sangat lengkap dan Lidya memperbolehkannya untuk masak setiap hari, walaupun Diego tidak ada. Bahkan Lexa juga ikut makan di kantor, fasilitas yang Lexa dapatkan memang banyak karena menjadi orang kepercayaan Diego. Walaupun terlihat sepele, tapi bagi Lexa itu sudah jauh lebih cukup. Setelah lelah mencari, barulah Lexa memilih untuk tidur agar bisa bangun dengan jauh lebih baik keesokkannya.