Setelah membisikan kalimat itu pada Vero, Lukas melepas jabatan tangannya lalu memandangnya dari atas ke bawah, seolah dia adalah seorang hama yang harus dimusnahkan.
Vero berdiri dengan sikap penuh percaya diri, wajahnya tak menunjukkan emosi selain tatapan datar. Meskipun di dalam hati, dia merasa gentar saat Lukas melayangkan tatapan penuh permusuhan kepadanya.
Lukas akhirnya berpaling dari Vero dan menjabat tangan staf keuangan yang lain. Vero menarik napas dalam-dalam, berusaha menguatkan diri meskipun dadanya terasa sesak.
Pria itu berdiri di ruangan yang sama dengannya disertai ekspresi dingin, tak ada lagi kelembutan yang pernah dia kenal. Di dalam hati Vero meyakinkan diri jika ini balasan yang harus diterima karena “berselingkuh” dengan Lukas.
"Setelah ini saya mau bicara empat mata sama dia," ucap Lukas seraya mengacungkan telunjuk kepada Vero yang langsung memasang senyum kecutnya.
Semua rekannya tak lama meninggalkan ruangan Lukas dengan rasa penasaran yang besar dan itu terlihat dari cara mereka menatap Vero. Wanita itu pun yakin saat nanti dia kembali ke ruang divisi keuangan, rekan-rekannya sudah menyiapkan berbagai pertanyaan yang harus dia jawab.
"Ada perlu apa Bapak sampai ingin bicara sama saya secara pribadi seperti ini?" tanya Vero setelah mengumpulkan keberaniannya.
Pria itu menatapnya dengan tajam dan Vero berusaha tetap tenang dalam menghadapi intimidasi dari Lukas. Apa pun yang terjadi dia tidak boleh tumbang di hadapan pria itu.
"Nggak nyangka ya kita bisa bertemu lagi. Sebenarnya aku masih mengharapkan permintaan maaf dari kamu, tapi ternyata kamu ini wanita yang nggak tahu malu rupanya," ejek Lukas dengan senyumnya yang sinis.
Vero pun terkejut saat mendengarnya, tapi dia coba bersikap profesional. Biar bagaimanapun juga, status Lukas adalah atasannya saat ini.
"Sialan kamu, Vero! Bisa-bisanya kamu menunjukan wajah tanpa penyesalan seperti ini. Kamu bahkan nggak ada niat minta maaf sama sekali!” Lukas kembali meluapkan emosinya pada Vero yang hanya diam tak menanggapinya.
"Karena kamu hanya diam saja, saya punya tugas untukmu. Mulai dari hari ini, kamu harus mengerjakan semua laporan keuangan dalam bentuk manual. Saya tidak ingin ada kesalahan satu angka pun. Mengerti?" perintah Lukas diikuti gebrakan meja yang terdengar keras.
"Manual? Tapi ... bukankah kita sudah menggunakan aplikasi digital untuk mempermudah pekerjaan staf-staf di sini, Pak?" tanya Vero menyanggah permintaan Lukas yang menurutnya sangat tidak masuk akal.
"Oh, jadi kamu mau membantah perintah saya!? Ingat! Saya yang berkuasa di sini, Vero! Jadi, kamu harus mematuhi perintah saya!” Lukas mengatakan dengan penuh penekanan. Tatapan matanya pun tampak mengintimidasi.
"Kalau kamu menolak melakukannya, maka silakan ajukan surat resign dan saya akan pastikan jika kamu tidak akan dapat diterima di perusahaan mana pun setelah ini!”
Vero hanya dapat meneguk kasar salivanya saat mendengar ancaman itu. Dia akhirnya mengangguk kecil, menerima tugas yang tidak masuk akal itu sambil menekan emosi yang berkecamuk di d**a.
"Baik, Pak, saya akan mengerjakannya," kata Vero dengan nada tenang.
"Bagus. Saya harap kamu tidak mengecewakan. Lagi pula, saya tidak mau masalah pribadi mengganggu pekerjaan kamu di sini. Jadi, ingat di mana posisi kamu berada saat ini!" Lukas menatap Vero dingin setelah mengatakan itu.
"Baik, Pak. Saya akan bekerja sebaik mungkin dan memastikan tak ada masalah dalam pekerjaan," ucap Veronica dengan suara tenang, meski ada getaran dalam setiap nadanya.
Baru saja Vero akan meninggalkan ruangan Lukas, terdengar suara pintu yang dibuka. Tak lama kemudian, masuklah seorang wanita yang memakai baju kerja bermerk, riasannya pun semakin menonjolkan bentuk rahang yang tegas. Vero benci mengakuinya, tapi wanita itu terlihat sangat cantik di matanya.
"Sayang, ada apa kamu ke sini? Memangnya kamu lagi nggak sibuk?" tanya Lukas seraya menatap wanita itu dengan penuh kelembutan.
Wanita yang sempat berseteru dengannya sewaktu di bandara lima tahun lalu. Kebetulan wanita yang bernama Helena itu satu tempat kuliah dengan Lukas sewaktu di London. Bahkan, di pesawat, keduanya menempati kursi yang saling bersebelahan. Dan, berkat campur tangan Karmila, keduanya telah sepakat bertunangan sebelum melangsungkan pernikahan beberapa bulan ke depan.
Tanpa ragu Lukas melingkarkan lengannya di bahu Helena, seolah ingin menunjukan pada Vero bahwa pria itu sudah move on darinya.
Vero pun terpaku di tempatnya berdiri, kakinya terasa berat untuk meninggalkan ruangan Lukas. Jujur saja, selama ini, dia memang belum sepenuhnya melupakan Lukas. Cinta yang sudah teramat besar itu, terbingkai sempurna di tempat istimewa dalam hatinya. Itulah kenapa sampai saat ini, Vero belum menikah atau membuka hatinya untuk pria lain.
“Kebetulan aku nggak terlalu sibuk, Sayang. Ya, makanya aku bisa ke sini."
Helena lalu menatap Vero sekilas dengan pandangan meremehkan. Vero merasa perasaannya semakin tersayat saat melihat kemesraan kedua orang itu, tapi ia menahan diri karena tak ingin terlihat lemah di depan mantan kekasihnya.
"Kalau begitu saya permisi dulu, Pak,” ucap Vero yang tak ingin lama-lama melihat kemesraan itu.
“Aku tahu kamu pasti sakit melihat ini.” Lukas bermonolog sendiri. Masih menatap Vero yang baru saja keluar dari ruangan.
Sebelum ke ruangannya, Vero memutuskan untuk pergi ke kamar mandi dulu. Dia ingin membasuh wajahnya dan memastikan tidak ada air mata yang lolos tanpa dia tahu saat melihat kemesraan Lukas dan Helena.
Setibanya di sana, Vero berulang kali membasuh wajah, berharap jika semua ini hanyalah mimpi. “Kenapa harus Lukas? Kenapa?” Vero berulang kali berkata demikian. Tentu saja dia merasa kesal karena semua ini harus terjadi padanya. Susah payah dirinya coba melupakan Lukas, tapi pria itu malah datang lagi. Tak tanggung-tanggung, bukan hanya bertemu, sang mantan malah menjadi atasan barunya.
Tiba-tiba Vero terkejut saat mendapati Helena datang ke kamar mandi yang sama dengannya, padahal di ruangan Lukas, terdapat kamar mandi pribadi yang bisa dipergunakan oleh general manager dan tamunya.
"Hai, tunggu dulu!” ucap Helena saat Vero yang tak ingin berlama-lama di sana menyudahi aktivitasnya dan melangkah pergi.
Vero pun berbalik menghadap Helena lalu bertanya, "Ada apa Ibu memanggil saya?"
"Ibu!? Hei, beraninya kamu panggil saya dengan sebutan Ibu! Memangnya kamu pikir saya ini sudah ibu-ibu!" bentak Helena yang terlihat begitu emosi saat menanggapi ucapan Vero.
"Maafkan saya, Bu. Cuma menurut saya, panggilan itu umum, Bu. Saya tidak bermaksud mengejek atau merendahkan.”
"Jangan kira saya nggak tahu apa hubungan kamu dengan Lukas di masa lalu. Saya tegaskan sama kamu, jangan dekati Lukas atau kamu akan menerima akibatnya!” Helena mengancam. Kedua matanya menatap tajam wajah Vero yang terkejut saat mendengarnya, tapi dia berusaha menormalkan raut wajahnya.
"Maaf, Bu, tapi itu nggak mungkin saya lakukan. Saya tidak berani mendekati Pak Lukas karena dia atasan saya.” Selesai mengatakan itu, Vero memutuskan pergi tanpa menunggu jawaban dari Helena.
Hal itu semakin memancing amarah Helena. Merasa tak ingin dilawan, Helena pun berniat memberi pelajaran pada Vero. Wanita itu langsung embuka ikatan rambutnya dan mulai mengacak-ngacak tatanan rambutnya yang sebelumnya rapi.
Vero yang baru keluar dari kamar mandi pun kaget saat sebuah teriakan terdengar dari dalam. Ya, Helena meminta tolong. Spontan, wanita itu pun masuk kembali untuk melihatnya.
“Ada apa, Bu?”
Vero merasa terkejut saat melihat penampilan Helena yang sudah berantakan, apalagi di bagian rambutnya. Bahkan, pipi Helena juga terlihat memerah. Vero tahu jika wanita itu pasti melakukan itu untuk memfitnahnya.
"Tolong! Wanita ini sudah gila, dia tiba-tiba menyerangku, padahal aku tidak berbuat apa-apa!" Helena keluar dari kamar mandi sambil berteriak. Hal itu tentu saja mengundang atensi dari karyawan lain yang kebetulan melintas di dekat sana.
“Kenapa dia sampai nekat melakukan ini? Apa dia ingin aku dipecat?” Vero hanya bisa pasrah. Masih bermonolog sendiri saat beberapa karyawan lain yang berdatangan mulai menatapnya sinis seolah menghakimi.