Malam itu Nadin tidak tahu harus berbuat apa, karena sepertinya Reza tak mau tidur dengan tenang. Pria gila itu membuatnya tidak nyaman berada di atas ranjang yang sama. Hal itu membuat Nadin harus bangun dari tidurnya dan kemudian duduk di sisi ranjang.
“Tidak bisa seperti ini terus. Mata pandaku bisa muncul besok pagi jika aku terus berada di atas ranjang yang sama dengannya,” batin Nadin berkata dan melirik ke arah Reza yang tampak tidur dengan nyenyak.
Padahal, jelas-jelas sejak tadi pria itu tidak berhenti bergerak di kasur dan membuat mata Nadin tak mau terpejam dengan tenang. Saat ini, jika diliat dengan jelas oleh kedua matanya, Reza tidak tampak seperti orang yang mengalami gangguan jiwa. Dalam tidurnya saja, Nadin bisa melihat betapa tampan dan gagahnya Reza.
“Ah, sayang sekali dia mengalami gangguan jiwa. Wajah tampan dan tubuh kekar tidak menjamin kalau wanita akan tergila-gila, karena dia setengah gila seperti ini,” ungkap Nadin yang kali ini mengeluarkan suaranya.
“Aaa ... di mana Nadin? Nadin ... Nadin! Di mana kamu? Kenapa tidak ada tidur di samping Bintang?” tanya Reza yang mendadak terjaga dari tidurnya dan langsung menatap ke arah ranjang yang kosong di sampingnya.
Dia berteriak seperti seorang anak yang baru saja kehilangan ibunya. Sementara Nadin baru saja kembali dari dapur karena mengamabil minum. Dia sangat haus dan air minum di kamar itu ternyata sudah kosong. Nadin tidak masalah mengambilnya sendiri ke dapur, meskipun para penjaga di depan pintu kamarnya dan Reza sudah menawarkan bantuan.
“Ada apa, Tuan Muda? Siapa yang Anda cari?” tanya Pidoy yang sudah masuk ke dalam kamar itu dan menghampiri Reza. Dia tampak begitu cemas dan takut mendengar Reza berteriak memanggil nama Nadin beberapa kali. Sementara Nadin yang mendengarnya hanya diam dan santai saja.
“Kenapa kau masuk ke dalam kamar pribadiku?” tanya Nadin dengan nada kesal pada Pidoy.
“Maaf, Nona Muda. Aku mendengar tuan muda berteriak memanggilmu, makanya aku bergegas datang untuk melihat keadaannya.” Pidoy menjawab dengan kepala tertunduk.
“Tidak perlu melakukan itu! Mulai saat ini, semua yang berurusan dengan suamiku, akan aku urus sendiri!” seru Nadin dengan suara dan nada yang cukup tegas.
“Ta-tapi, Nona Muda ... tuan muda adalah tanggung jawabku untuk merawatnya dan memastikan dia aman terus. Tidak melukai dirinya sendiri ataupun orang lain.”
“Lalu, kenapa tidak kau saja yang menikah dengannya tadi siang? Dengan begitu, kau bisa menjaga dan melindunginya dua puluh empat jam penuh!”
“Tidak seperti itu juga, Nona Muda.”
“Lalu? Kau meragukan kemampuanku untuk merawatnya? Kalau begitu, kau bisa protes pada pak Hamdan sekarang juga,” ancam Nadin yang sengaja ingin memberikan satu kesan pada Pidoy bahwa dia tidak takut lagi pada apapun di rumah ini ataupun di dalam dunia yang kejam ini.
Hidupnya sudah dipermainkan dengan sebegitu rupanya oleh Vivian dan juga Tamara. Selain itu, bahkan ayah kandungnya sendiri pun sudah tega menukar putri semata wayangnya ini hanya demi materi dan kenaikan jabatan lagi, serta agar perusahaannya yang kolabs bisa bangkit kembali dengan bantuan dana dari pak Hamdan. Hal itu jelas saja sudah sangat melukai harga diri Nadin sebagai seorang wanita dan dia tidak akan pernah lagi menyerah atau mengalah demi orang lain. Tujuan utamanya saat ini adalah mencari kebahagiaan dan ketenangan untuk dirinya sendiri.
“Aku jelas tidak berani, Nona Muda. Maafkan aku atas kelancanganku.”
“Kalau begitu, kau bisa keluar sekarang dan jangan pernah masuk ke dalam kamarku tanpa izin lagi.”
“Baik, Nona Muda. Selamat malam dan selamat beristirahat.”
Nadin tidak lagi menjawab yang dikatakan oleh Pidoy dan kemudian memandang ke arah Reza yang saat ini seperti tengah melamun menatapnya tajam dari sisi ranjang sebelah kanan. Awalnya, Nadin cukup terkejut saat melihat tatapan tajam dari Reza. Namun, saat pria itu kembali bertingkah konyol dengan merengek padanya, Nadin seperti bisa bernapas lega.
“Nadin dari mana? Nadin kok nggak bawa Bintang?” tanya Reza dengan menarik-narik dress selutut yang menjadi baju tidur Nadin malam ini.
“Aku hanya pergi ambil minum, doang. Ngapain kamu mau ikut segala,” jawab Nadin dan menepis tangan Reza dari ujung gaun malamnya.
“Bintang. takut Nadin pergi. Reza mau Nadin di sini aja sama Bintang, ya!” rengek Reza lagi yang jelas memanggil namanya sendiri dengan sebutan Bintang.
Nadin menghela napas dengan kasar dan melirik ke arah Reza dengan kesal. Dia jelas tidak suka dengan rengekan Reza yang seperti itu dan itu jelas membuatnya kehilangan kewibawaan sebagai seorang pria. Nadin bertekad, mulai saat ini dia akan membuat Reza tidak akan lagi bersikap seperti biasanaya.
Walaupun Reza mengalami gangguan kejiwaaan, tapi Nadin berharap setidaknya Reza bisa bersikap macho dan cool layaknya anak konglomerat biasanya. Nadin beranggapan bahwa Reza bisa melakukan itu kalau saja dia tidak terlalu dimanja dan tidak terlalu dianggap seperti orang gila seperti yang kebanyakan orang lain lakukan.
“Bersikaplah dengan tenang dan jangan sampai merengek lagi seperti itu. Aku nggak suka!” tegas Nadin dengan suara yang terdengar lantang dan membuat Reza terdiam.
“Nadin marah sama Bintang?” tanya Reza dengan nada sendu setelah diam beberapa saat.
“Iya. Aku marah karena aku harus menikah sama kamu. Jadi, aku punya banyak kewajiban dan kesulitan mulai saat ini!” jawab Nadin dengan suara keras yang sedikit membentak. Membuat Reza terlonjak kaget.
Sebenarnya, Nadin sangat kasian melihat Reza terkejut dan ketakutan padanya seperti itu. Namun, Nadin jelas tidak punya pilihan lain lagi sekarang. Dia harus bersikap tegas kalau mau melihat ada perubahan dalam diri Reza.
“Karena kamu sepertinya mengerti yang aku bilang, jadi sebaiknya kamu nggak merengek lagi seperti itu! Kamu jangan lagi bersikap seperti anak-anak begitu, karena aku nggak suka. Kamu paham kan maksud aku?” tanya Nadin lagi dengan nada membentak pada Reza.
“Nadin jangan marahin Bintang. Bintang takut kalau Nadin marah-marah.” Reza berkata dengan tangan yang saling bertaut dan kepala tertunduk.
“Kalau kamu nggak mau aku marah, kamu tidur aja sendiri di kasur. Aku nggak mau tidur sama kamu di sana satu ranjang. Aku mau tidur di sofa itu aja deh, biar bisa nyenyak sampai pagi!” seru Nadin dan menunjuk sofa panjang yang empuk di depan ranjang yang tadi dia tiduri bersama Reza.
“Bintang nggak mau Nadin tidur di sana. Bintang kan mau bikin anak sama Nadin biar Nadin nggak ke mana-mana lagi,” ucap Reza yang membuat mata Nadin membulat sempurna dan tak percaya.
“Bi-bikin anak?” tanyanya dengan gugup dan takut.