Tawaran Pernikahan
“Apa? Aku harus mengandung anak tuan Hamdan yang gila itu? No! Aku nggak mau, Pa!” Nadin berteriak dengan nada tinggi di depan Suhendar – ayah kandungnya yang saat ini hanya bisa tertunduk lesu dengan tangan di kepala.
“Terima ajalah, Nadin. Kamu nggak boleh menolak perintah ini, karena hanya dengan ini keluarga kita bisa selamat dari kebangkrutan,” ucap Tamara – ibu tiri Nadin dengan nada memaksa.
“Tante nggak usah ikut campur deh! Kalau Tante nggak mau papa aku bangkrut, makanya jangan foya-foya selama ini! Semenjaka Tante dan anak Tante itu datang di keluarga aku, semuanya berantakan,” pekik Nadin dengan amarah yang menggebu pada wanita itu.
“Dasar kurang ajar kamu, Nadin!”
“Tante kalau nggak mau bangkrut, suruh aja tuh si Vivian yang jadi istri orang gila itu! Kenapa harus membujuk papa untuk menjadikan aku sebagai tumbal?”
“Karna kamu adalah anak sulung di rumah ini. Vivian itu masih sekolah dan nggak mungkin nikah!”
“Bukan nggak mungkin, Tante aja yang nggak mau jadiin si manja itu istri orang gila. Aku juga masih kuliah dan belum bisa nikah sekarang. Yang mau harta papa dan menikmatinya selama ini kan Tante, ya harus mau berkorban juga, dong!” sindir Nadin dengan kata-kata yang semakin pedas kepada ibu sambungnya itu.
Selama ini, Nadin enggan memanggil wanita yang sudah dinikahi Suhendar selama lima tahun itu dengan sebutan mama. Baginya, wanita itu datang bersama anaknya yang berusia tidak jauh di bawah Nadin hanya untuk menggerogoti ayahnya saja. Putri Tamara itu bernama Vivian dan kelakuannya jelas tidak jauh berbeda dengan ibunya.
“Pa! Kamu liat tuh, anak kamu kurang ajar banget! Berani banget dia ngomong seperti itu sama aku? Itu tuh akibatnya kalau anak nggak dididik dengan benar oleh ibunya,” omel Tamara kepada Suhendar dan jelas dia menyindiri ibu kandung Nadin yang memang menghilang entah ke mana saat Nadin masih berusia sepuluh tahun.
“Nadin, kamu harus lebih sopan lagi sama mama Tamara. Dia adalah istri Papa sejak lima tahun belakangan ini dan itu artinya dia adalah mama kamu juga!” tegas Suhendar pada Nadin.
“Nggak, Pa! Aku nggak akan pernah anggap dia sebagai mamaku. Mamaku hanya satu dan nggak akan pernah terganti!” ungkap Nadin dengan darah yang mendidih saat mendengar ucapan sang ayah yang sudah sepenuhnya terpengaruh dengan istri barunya itu.
“Kenapa kamu nggak pergi aja sama ibumu yang pengkhianat itu? Pergilah menyusul ke mana dia pergi, Nadin!” bentak Suhendar tanpa pernah diduga oleh Nadin.
Selama ini, Suhendar memang tidak terlalu mempedulikan tentang Nadin. Dia hanya memenuhi semua kebutuhan Nadin dan tidak pernah bercengkrama dengan anak gadisnya itu seperti saat ibu Nadin masih ada dulu. Sepertinya, Suhendar meluapkan kemarahannya atas kepergian Hanum yang dikabarkan kabur bersama pria lain itu pada Nadin.
Namun, perlakuan Suhendar jelas berbeda kepada Vivian yang manja. Dia sangat akrab dan terkesan seperti sangat menyayangi anak tirinya itu. Terus terang saja Nadin sering merasa iri kepada Vivian yang mendapatkan semua perhatian dan juga kasih sayang Suhendar, yang seharusnya didapatkan oleh Nadin.
“Papa ngusir aku? Papa lebih membela dia dibandingkan aku – anak kandung Papa sendiri?”
Nadin bertanya dengan nada tak percaya pada Suhendar dan itu membuat pria yang dia panggil papa kembali diam tak menjawab. Hanya ada raut kemarahan dan juga kegeraman yang terlihat oleh Nadin saat ini. Semua itu jelas bagi Nadin, bahwa Suhendar tidak lagi menyayanginya dan tidak lagi menginginkannya di rumah ini.
“Kenapa nggak Vivian aja yang jadi menanti keluarga Hamdan itu, Pa? Kenapa harus aku?” tanya Nadin dengan d**a bergemuruh dan suara bergetar. Hatinya hancur dan tidak bisa menerima semua yang terjadi saat ini.
“Vivian itu masih sekolah, Nadin. Kamu tega kalau dia harus jadi istri anak tuan Hamdan yang dikabarkan gila itu? Apalagi kalau Vivian harus mengandung benih dari pria nggak waras itu?” tanya Suhendar seperti sedang menuntut pengertian dari Nadin.
“Jadi, Papa nggak masalah kalau aku yang mengandung anak dari orang gila? Papa nggak masalah kalau harus punya menantu orang gila? Atau mungkin, setelah aku menjadi menantu pak Hamdan dan perusahaan Papa naik daun lagi, Papa akan menganggap aku udah nggak ada? Benar-benar menghilang dari hidup Papa, gitu kan?” tanya Nadin dengan hati yang terluka dan juga berharap Suhendar akan membantah semua itu.
Di tempat duduknya, Tamara dan Vivian saling bertatap dengan ekspresi tegang. Vivian jelas takut kalau ternyata Suhendar berubah pikiran dan justru meminta dirinya yang menjadi istri orang gila yang tidak pernah tampil di publik itu. Padahal, keluarga Hamdan adalah pengusaha nomor satu dengan kekayaan paling tinggi di negaranya.
“Ma ... aku nggak mau nikah. Kalau pun dia pria kaya yang tampan dan normal, aku nggak mau nikah di umur segini. Aku masih mau sekolah, Ma. Kuliahku baru semester dua dan aku masih terlalu muda untuk mengandung,” rengek Vivian pada Tamara dan dengan sengaja membesarkan suaranya agar dapat didengar oleh Suhendar.
“Tenang, Sayang. Papa nggak mungkin kok nikahin kamu dan membuat kamu hamil di usia yang masih sangat muda seperti ini,” hibur dan bujuk Tamara sambil membelai rambut Vivian.
Sementara Nadin tidak kunjung mendengar jawaban dari Suhendar dan itu sudah cukup baginya sebagai bukti bahwa Suhendar benar-benar ingin membuangnya dari keluarga ini. Suhendar sudah sepenuhnya terpengaruh oleh Tamara dan saat ini tidak lagi menganggap Nadin sebagai putri kandungnya yang sebenarnya orang yang paling dia lindungi dan dengarkan.
“Oke, Pa. Aku udah tau jawabannya tanpa Papa menjawab!” Nadin berkata dengan suara bergetar, karena dia menahan tangisnya agar tidak pecah di depan Suhendar, Tamara, dan juga Vivian.
“Nadin, percayalah sama Papa. Papa melakukan ini untuk keluarga kita dan semua ini juga demi masa depan kamu, Nak. Setelah kamu melahirkan pewaris untuk keluarga Hamdan, kamu bisa bercerai dan kembali lagi ke rumah ini. Papa menerima kamu dengan senang hati,” terang Suhendar yang jelas semua itu hanyalah kebohongan baginya.
“Siapa nama anak pak Hamdan itu?” tanya Nadin dengan nada datar.
“Namanya Reza Bintang Hamdan. Pak Hamdan memanggilnya dengan nama Bintang, tapi orang umum seperti kita hanya boleh memanggilnya dengan nama Reza.”
“Kapan pernikahannya?”
“Kalau kamu udah setuju, lusa pernikahan bisa langsung digelar di kediaman pak Hamdan dengan tertutup.”
“Baik. Silakan Papa atur semuanya seperti yang Papa inginkan. Tapi, aku punya satu syarat!” ucap Nadin dengan ekspresi yang serius dan dia bisa melihat Tamara sangat senang bersama Vivian karena mendengar bahwa dirinya setuju untuk menikah dan mengandung keturunan keluarga Hamdan.
“Apa lagi yang mau kamu minta jadi syarat, Nadin? Kamu harusnya mempermudah dan membantu papa kamu, bukannya malah memberatkan,” sindir Tamara yang merasa takut kalau Nadin mengajukan syarat berat, yang mungkin saja bisa merugikan dirinya.
“Aku ingin, setelah pernikahan itu terjadi dan aku tinggal di rumah keluarga Hamdan, jangan ada lagi yang menggangguku dan meminta pertolongan dalam bentuk apapun padaku. Ini adalah pertolonganku yang pertama dan terakhir untuk Papa! Setelah pernikahan terjadi, anggaplah aku sudah mati atau sudah pergi ke tempat mamaku seperti yang Papa inginkan!” ungkap Nadin dan segera berlalu dari hadapan Suhendar yang tertegun tak percaya mendengar ucapan putri yang sebenarnya sangat dicintainya itu.
“Bagus deh kalau gitu, dia pergi dengan sendirinya dan nggak ada lagi yang bisa menghalangi Vivian mewarisi semua harta kekayaan tua bangka ini,” batin Tamara berkata dengan sangat puas.