Menantu Mami

1031 Kata
Mendapatkan pertanyaan dari suaminya yang langsung beraksi dengan mendekati dirinya secara intens seperti itu, tentu saja membuat Tamara juga merasa sedikit risih. Cinta bukan segalanya dalam hubungan pernikahan mereka dan itu tidak pernah diketahui oleh Suhendar dengan yang sebenarnya. “Sayang ... Mama hanya ingin memberikan satu pelukan dan kecupan sebagai penghantar kepergian Papa ke kantor aja. Nggak ada yang lain dari itu kok,” ungkap Tamara yang dengan perlahan mendorong tubuh Suhendar dari hadapannya. “Itu aja, Sayang? Mama nggak mau kasih Papa yang lain gitu? Yang lebih dari itu? Masih bisa dan masih ada waktu kalau kita melakukannya,” desak Suhendar dengan tatapan genit pada Tamara. “Sayang ... jangan gitu deh. Nggak ada waktu kalau sekarang. Papa harus pergi ke kantor dan menyelesaikan semua kerjaan di sana, ya. Mama juga mau pergi arisan ini, Pa. Udah telat juga nih!” tolak Tamara sekali lagi dan menghadirkan wajah masam Suhendar dengan nyata. Namun, mana mungkin dia perduli dengan semua itu dan baginya Suhendar hanya dia butuhkan untuk sesuatu yang menguntungkan. Tamara bahkan jarang sekali mau bercinta dengan suaminya itu, karena sebenarnya dia pun sudah memiliki seorang kekasih yang jauh lebih muda dari dirinya. Baginya pribadi, Suhendar hanyalah mesin pencetak uang dan sebagai alat untuk memenuhi semua kebutuhannya dan juga putrinya – Vivian. Niat awalnya menikah dengan Suhendar juga bukan karena cinta, tapi hanya karena harta dan materi semata. “Pa, jangan ngambek gitu, dong. Jadi hilang kan ketampanan suamiku ini.” Tamara berusaha membujuk Suhendar dan merapikan dasinya dengan baik. “Ya udah kalau gitu. Papa kembali ke kantor sekarang. Mama berangkat sama siapa arisannya? Mau bareng sama Papa aja atau gimana?” tanya Suhendar berusaha terus mengalah dari Tamara. “Mama nanti pergi sendiri aja, Pa. Atau nanti diantar sama Vivian deh pakai mobil barunya kemarin. Untung mobil itu nggak disita dan masih aman untuk Vivian.” “Iya, dong. Papa udah berusaha keras supaya mobil itu tetap aman dan nggak disita sama bank.” “Makasih, ya Pa. Papa memang suami dan Papa terbaik. Kalau gitu, Mama antar ke depan sekarang, yuk!” ajak Tamara dan menggandeng tangan Suhendar sambil membawanya berjalan ke arah pintu. Suhendar memang tidak pernah bisa menolak atau membantah jika itu sudah Tamara yang mengatakannya. Tidak tahu alasan jelasnya kenapa, sepertinya dia memang benar-benar sudah mencintai Tamara sampai ke tulang. Hingga tidak satu pun kata atau perintah Tamara yang bisa dia bantah. Apa dan bagaimanapun caranya, Suhendar akan terus berusaha memenuhi keinginannya. Mereka berjalan berdampingan ke luar ruang kerja dan terus mengarah ke luar rumah. Di sana masih ada mobil yang biasa dipakai Suhendar untuk pergi ke mana saja. Tamara memberikan sedikit pelukan dan kecupan di pipi sebelum pria tua itu masuk ke dalam mobil. “Hati-hati di jalan dan semoga semuanya berjalan dengan lancar, ya Pa!” sorak Tamara saat mobil sudah mulai menyala dan akan segera pergi meninggalkan halaman rumah yang bisa dibilang sedikit mewah dan megah itu. Semua itu karena sejak dulu Suhendar memang termasuk di salah satu pengusaha yang sukses dan punya aset banyak sebagai simpanannya. “Huft! Nggak susah kok buat bujuk dia dan buat dia percaya dengan semua yang aku bilang. Dia itu udah bucin banget,” gumam Tamara dengan senyum penuh kemenangan dan kembali melenggang ke dalam rumah. Sementara itu, di dalam rumah yang kini akan menjadi rumahnya entah sampai berapa lama, Nadin tampak tidak tahu harus berbuat apa. Dia begitu kebingungan di rumah yang luas dan sangat mewah itu. Rumahnya memang mewah dan megah, tapi rumah itu tiga kali lebih mewah dan megah lagi. “Aku harus ngapain sekarang? Bosen banget di rumah seharian begini. Semalam juga tidur kayaknya nggak bisa nyenyak karena takut diganggu sama dia,” batin Nadin berkata saat teringat bahwa dia tidak bisa tidur tenang karena takut akan digerayangi oleh Reza – pria yang sudah sah menjadi suaminya itu. “Ya ampun! Ini beneran nggak sih? Aku udah nikah dan suamiku orang gila? Ini mimpi atau nyata sih? Aku masih belum bisa percaya!” batinnya berkata lagi dan kini kepalanya menggeleng tak percaya. “Sayang ... kamu ngapain di kamar sendirian? Mau Mama temanin tour rumah?” tanya Emira – ibu mertua Nadin yang baik dan sangat ramah. “Eh, Tante. A-aku ... aku hanya masih canggung sama suasana di sini. Namanya juga masih baru, jadi perlu beradaptasi,” jawab Nadin yang langsung berdiri dari ranjangnya saat melihat dan mendengar Emira berbicara di ambang pintu kamar. Sedangkan, Reza dan ajudannya – Pidoy itu entah di mana keberadaannya saat ini. Sejak bangun pagi tadi, Nadin sama sekali belum melihat pria yang sudah resmi menjadi suaminya itu. Padahal, sejak kemarin sepertinya dia tidak bisa lepas dari Nadin. Sebenarnya, Nadin ingin sekali bertanya karena merasa heran dan juga bingung. Bagaimana Reza bisa berbicara seolah sudah mengenal dirinya sejak lama. Menginginkan pernikahan itu dengannya dan juga ... menginginkan anak dari Nadin. Memikirkan dan membayangkan semua itu saja Nadin kembali merinding. “Nadin Sayang ... kok kamu malah bengong sih, Nak?” tanya Emira sekali lagi dan membuat Nadin terkejut. “Duh, iya maaf, Tante. Aku jadi malah melamun,” jawab Nadin lagi merasa tidak enak hati pada Emira. “Sayang, jangan panggil Tante lagi, dong. Panggil Mami aja, seperti Bintang manggil Mami.” “Ma-Mami? Panggil Mami aja sekarang deh. Kalau gitu, aku mau home tour deh sama Mami, kalau Mami nggak sibuk dan nggak keberatan,” ucap Nadin berusaha untuk tetap ramah. Dia masih punya hati dan perasaan untuk tidak melukai hati dan perasaan wanita selembut Emira. Nadin teringat pada ibunya, andai saja dia masih bisa tetap tinggal bersama ibunya hingga saat ini. Mungkin, dia akan diperlakukan sama seperti Emira memperlakukannya saat ini. Penuh kasih sayang dan penuh dengan perhatian yang tulus. “Mami nggak sibuk dan nggak keberatan. Gimana pun, kamu udah jadi bagian dari rumah dan keluarga ini. Kamu harus tau semuanya, Sayang.” Nadin sudah bangkit dari tempat tidurnya dan kemudian menghampiri Emira. Wanita berusia lima puluhan itu langsung mengelus kepala Nadin saat menantunya itu datang mendekat. “Semoga Bintang bisa segera sembuh dan dapat keturunan dari kamu, Sayang.” Emira berkata dengan lirih, tapi masih dapat didengar oleh Nadin dan itu membuat tubuhnya terasa dingin seperti berada di kutub utara.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN