"Jangan diulangi lagi! Teman-temanmu ada yang merasa terganggu. Dia gak suka suasana belajar jadi gak efektif karena kekacauanmu."
"Bapak kayak gak pernah muda aja sih."
"Sudah sana kembali ke kelas. Ingat jangan pulang dulu, hukumanmu harus kelar," tukas Pak Jhoni lagi.
Setelah menandatangani surat pernyataan kalau tidak akan mengulangi kesalahan yang sama, Ardina pun pergi dari ruangan BK dan menuju ke kelas bertepatan dengan bel masuk, menandakan jam pelajaran terakhir akan dimulai.
Jessica and the gank menghadangnya di depan pintu.
"Miss Dindin ngenes banget ya dapat hukuman lagi dari Pak Jojon?" sindirnya dengan sinis. Tangan gadis angkuh itu bersidekap di depan d**a sambil tersenyum kecut. Diiringi tawa Sintia dan Bella, teman cs'nya.
"Oh jadi lu yang nglaporin gue? Kalo lu gak suka ngomong langsung dong, jangan main lapor lapor! Lagian yang lain juga fine-fine aja, kenapa lu yang sewot? Lu suka sama Pak Andra juga? Caranya gak kayak begini, utarakan langsung dong jangan jatuhin lawan!" tukas Ardina gregetan.
Ardina melangkah maju, namun Bella dengan sengaja menghalangi kakinya hingga Ardina jatuh terjerembab. Sontak suasana kelas kembali riuh, ada yang tertawa termasuk Jessica and the gank, tapi ada juga yang mengumpat ulah Jessica.
Novia berlari ke arah Ardina dan membantunya berdiri.
"Kamu gak apa-apa?" tanya Novia. Ardina mengangguk sembari menoleh ke arah Jessica dengan tatapan sinis.
Tak lama Bu Rasty, yang mengajar pelajaran Biologi masuk ke ruangan kelas. Membuat semua siswa kalang kabut dan duduk di tempatnya masing-masing. Hening. Tak ada keriuhan seperti saat mata pelajaran fisika berlangsung.
***
Teeet ... Teeet ... Teeet ...
Bel pulang sekolah berbunyi, para murid berkemas, memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Setelah mengucapkan salam perpisahan, mereka pun berhamburan keluar kelas. Berbeda dengan Ardina, ia berjalan menuju ruang BK, rasanya ingin kabur saja, tapi nanti hukumannya malah ditambah sama Pak Jhoni alias Pak Jojon.
Di depan ruang BK sudah disiapkan ember, kain pel, sapu, lap kain serta pembersih kaca.
"Yang bersih ya Dina," ujar Pak Jhoni.
"Hmmm, iya pak. Serahkan pada Dindin!" tukas Ardina pede walaupun dalam hati kesal setengah mati.
Mula-mula ia mengelap kaca jendela di ruang perpustakaan, menyemprotkan pembersih kaca lalu membersihkannya dengan kain.
Murid-murid yang berlalu lalang kini sudah pulang, suasana sekolah tampak sepi. Begitupun para guru, satu persatu meninggalkan sekolah.
"Din, lu dapat hukuman lagi?" sebuah suara mengagetkannya.
Ardina menoleh, lalu tersenyum malas ketika Ferdian berdiri tepat disampingnya. Ferdian adalah salah satu teman sekelasnya, lebih tepatnya sang ketua kelas.
Gadis itu mengembuskan nafas kasar. "Ini nih gara-gara Jessica yang melaporkanku ke Pak Jhoni," tukas Ardina kesal.
"Biar gue bantu," ucap Ferdian.
"Gak perlu Fer, sana pulang saja nanti dicariin mami," timpal Ardina dengan nada meledek.
"Tidak apa-apa, gue udah izin sama mami pulang telat," tukas Ferdian.
Ferdian memang anak mami. Telat pulang sebentar saja langsung dicariin ibunya sampai ke sekolah. Tak seperti dirinya yang bebas tanpa perhatian dari kedua orang tuanya. Kedua orang tua Ardina selalu sibuk bekerja, berangkat pagi hari pulang menjelang malam. Selama di rumah gadis itu hanya bersama kakak laki-lakinya yang sudah lulus kuliah, dan sekarang masih menganggur, walaupun ia sudah melamar pekerjaan ke banyak tempat.
Kurang perhatian dari orang tuanya-lah yang membuat sikap Ardina menjadi petakilan, serta tingkah lainnya yang pecicilan karena mengharap perhatian dari orang-orang disekitarnya.
Tak butuh waktu lama, membersihkan kaca di ruang perpustakaan selesai lebih cepat berkat bantuan Ferdian. Pemuda itu memang kerap kali membantu Ardina bahkan mengerjakan PR-nya.
Ponsel Ferdian bergetar, pemuda itu meraih ponsel di saku celananya. Lalu menoleh ke arah Ardina, untuk sesaat pandangan mereka bersirobok.
"Hahahaha, dicariin mamih tuh," celetuk Ardina dengan gaya tertawanya yang khas.
Ferdian yang gemas pada gadis itu refleks mencubit hidungnya yang bangir.
"Ish tangan lu kotor tau! Nanti wajah gue terkontaminasi!" protes Ardina.
"Ehem ehem!"
Suara seseorang berdehem menghentikan aktivitas mereka. Sontak mereka menoleh ke asal suara. Pak Jhoni--guru BK'nya tengah memperhatikan tingkah mereka berdua. Ferdian nyengir.
"Gue duluan ya!" bisik pemuda itu di telinga Ardina. Ferdian berlalu sembari mundur beberapa kali dengan langkah yang sedikit lebar, sesaat kemudian dia sudah hilang dari pandangan Ardina.
"Ayo kerjanya yang fokus biar cepat selesai," ucap Pak Jhoni lagi.
"Ini udah selesai pak, tinggal ruang guru aja," tutur Ardina.
"Kalau di ruang guru saya harus ngepel juga, Pak?"
"Iya biar bersih."
Dina membawa ember serta perlengkapan kebersihan yang lain, lalu diletakkan di teras ruang guru. Mula-mula ia mulai menyemprotkan pembersih kaca lalu mengelapnya hingga bersih.
Ardina sempat melihat ke dalam kantor guru, masih ada beberapa orang yang belum pulang, lebih tepatnya empat orang, salah satu diantaranya adalah Pak Andra. Laki-laki itu masih tampak sibuk dengan laptopnya tanpa menoleh sedikitpun ke arah Ardina yang sedang membersihkan kaca di luar ruangan.
Tiga guru yang lainnya bersiap untuk pulang.
"Yang bersih ya Din, biar suamimu nanti gak brewokan," canda Bu Aina, salah satu guru yang mengajar di kelasnya.
"Semangat Dindin!" seru Bu Rasty sambil tersenyum.
Sedangkan satu orang yang lain hanya tersenyum memandang ke arah Ardina. Lalu ketiganya berlalu secara bersamaan, mengobrolkan sesuatu yang entah ia tidak tahu.
Acara mengelap kaca sudah selesai, kini Dindin masuk ke dalam ruangan. Pak Andra masih betah di meja kerjanya sembari menatap layar laptop. Kan kan Dindin jadi kepooo. Jantung gadis itu mendadak kembali berdegup tak menentu, membuatnya salah tingkah.
"Permisi, pak," ucap Ardina. Ia ingin sekali pak gurunya itu menoleh.
"Hmmm."
Hanya sahutan itu yang keluar dari bibir Pak Andra tanpa menoleh sedikitpun ke arah gadis itu.
'Ish, bicaranya irit sekali, macam gak ada mulut saja! Beda sama yang di kelas tadi!' gumam Ardina dengan perasaan sebal.
Karena kesal dicueki seperti itu, akhirnya Ardina mulai menyapu dan berusaha mengalihkan perhatian dari Pak Andra. Sebenarnya karena candaan Pak Andra tadi membuatnya jadi gugup setengah mati.
'Aku ingin cepat selesai. Bodo amatlah ada Pak Andra juga,' gerutunya dalam hati.
Usai menyapu, ia mulai mengambil kain pel, lalu mengepel lantai itu sampai bersih. Sesekali Ardina masih melirik, mencuri pandang ke arah Pak Andra.
"Kenapa kamu melihat saya seperti itu?" tegur Pak Andra yang membuat dirinya tergagap.
Ardina nyengir kemudian sikap usilnya kembali mencuat.
"Bapak itu seperti magnet tau!"
Pak gurunya itu mengernyitkan kening."Kenapa?"
"Karena bapak selalu menarik perhatianku, hahaha ..."
Andra bangkit dan menghampirinya. Dan berdiri tepat di hadapannya.
"Kamu belum selesai?" tanyanya pada Ardina.
Ardina menggeleng pelan sambil terus tersenyum. "Kalau kayak gini jadi gak mau cepat selesai, soalnya ada bapak di hadapan saya."
Gadis itu terkikik, hati rasanya senang tidak terkira. Ia merasa semangatnya kembali.
Tiba-tiba Pak Andra menyodorkan sepotong donat bertoping keju yang terbungkus plastik bening dan air mineral untuk Ardina.
"Nih buat kamu, nanti dimakan biar perutmu gak kosong," ujar Pak Andra.
Ardina mengerlingkan matanya, ia terenyuh melihat sikap Pak Andra yang perhatian.
"Waw, terima kasih banyak. Bapak perhatian sekali sama saya," sahut gadis itu, matanya tampak berbinar.
"Eh pak, bapak tahu gak kenapa donat itu bolong?"
"Kenapa?"
"Karena yang utuh itu cinta saya pada bapak."