18 :: Tangan yang terulur ::

1135 Kata
Ajeng sedang menyapu rumahnya, dia heran kenapa Tika dan Dimas belum juga kembali. Padahal biasanya dia yang paling lama pulang, ya bukan karena dia keluyuran melainkan jam pulang dari mini market jam delapan malam. Begitu pulang Ajeng melihat semua masakannya yang sudah tidak ada di tempat, dia berpikir mungkin Tika atau Dimas yang membuangnya. Memikirkan nasib barang dagangannya tidak dia bawa membuat hatinya sakit, rugi tidak bisa dia hindari lagi. Pintu rumah di ketuk dan Ajeng langsung membukanya. "Dari mana lo tumben banget baru pulang jam segini," kata Ajeng dan Tika tersenyum lebar. "Lupa ya ? Gue kan ada jadwal ngajar les hari ini." Ajeng menepuk jidatnya lalu ikut tersenyum lebar. Namun sedetik kemudian Tika mengeluarkan beberapa lembar uang untuk Ajeng, dahi Ajeng berkerut tidak mengerti. "Ini hasil uang jualan lo hari ini," kata Tika semakin membuat Ajeng bingung. Dia mengambil uang itu dan bertanya maksud dari semuanya, karena Ajeng berkata dia memang melupakan barang dagangannya hari ini akibat tiba-tiba di jemput oleh Pak Radit. Tika menjelaskan apa yang tadi pagi terjadi sehingga dia bisa mendapatkan uang itu. "Tadi siang sebelum gue berangkat ke kampus ada yang ke rumah, udah berumur sih kayanya tapi cantik banget. Dia bilang mau ambil pesanan makanan yang dia pesan sama lo, terus gue ke belakang lihat memang ada masih jualanan lo di keranjang gue tanya dia mau berapa kata dia semua. Ya gue kasih aja dong, mana gue tahu kalau itu bukan pesanan dia," ucap Tika menjelaskan. "Tapi uang yang dia kasih banyak banget ya kayanya ?" tanya Tika lagi ketika dia melihat Ajeng yang hanya diam saja. Ajeng diam karena memikirkan siapa yang datang, dan tebakannya jatuh kepada tante Viza yang tidak lain adalah tante-nya Ibra. Kepulangan Dimas membuat keduanya tidak lagi membahas masalah uang dan dagangan Ajeng, namun Ajeng mengingat dengan kuat apa yang harus dia lakukan besok. Tika benar jika uang yang diberikan kepadanya ini sangat banyak lebihnya. Iya kali dua puluh nasi goreng dan gorengan lima puluh biji diberikan uang dua juta rupiah, itu terlalu banyak untuk Ajeng. **** Pagi-pagi sekali Ajeng sudah datang dan memberikan pesanan para teman-temannya. Meski lelah namun dia tetap tersenyum dan kini memilih menunggu Ibra di parkiran sekolah. Tidak lama Ajeng menunggu Ibra pun muncul dengan wajah tampan yang tidak pernah absen menghiasi wajah pria itu. "Tumben lo nungguin gue di sini. Biasa juga nungguin Pak Radit !" cibir Ibra namun tetap merangkul bahu Ajeng untuk menjauh dari arena parkiran sekolah. "Ibra nanti pulang sekolah lo harus temani gue,dan juga gue mau ketemu sama tante lo." "Aunty Viza ?" tanya Ibra heran dan Ajeng mengangguk. "Oke, gue tunggu di Parkiran sekolah kalau gitu." Ajeng mengangguk lagi dan berpisah dengan Ibra karena pria itu sudah di panggil oleh temannya. "Kak Ajeng," sapa suara dari belakang Ajeng membuat dia terkejut karena baru kali ini ada orang lain yang memanggil namanya selain Wita,Andini Ibra dan guru-guru sekolah. "Saya ?" tanya Ajeng beo dan wanita itu mengangguk sambil tersenyum manis. "Kak Ajeng dekat ya sama Ibra." Dari pertanyaannya saja Ajeng sudah tahu pokok permasalahn wanita yang tidak lain adalah adik kelasnya ini memanggilnya karena perihal Ibra. Ajeng mengangguk sebagai jawaban dan yang berikutnya terjadi adalah pertanyaan tentang hubungannya dan juga Ibra. "Gue gak ada hubungan apa-apa kok sama Ibra, gue hanya temanan aja." "Oh gitu, kami pikir kakak pacaran sama Ibra." "Enggak kok ! kalian boleh tanya Ibra kalau tidak percaya." "Iyalah mana mau Ibra sama lo, lo aja yang ganjen sama dia. Dasar anak sopir angkot hama," kata-kata pedas itu bukan dari adik kelas yang bertanya tadi melainkan geng wanita di sekolah ini yang selalu saja mengusik ketenangan Ajeng. Tidak ingin meladeni apa yang sudah dilakukan oleh beberapa orang disana Ajeng pergi begitu saja dengan menahan geraman, tapi dia tidak menyangka jika salah satu wanita yang membully-nya itu menarik rambut Ajeng dengan kuat lalu kembali menghujatnya dengan membawa-bawa nama ayahnya. "Apa si Dimas sopir angkot bau dan jorok itu gak pernah ngajarin lo kalau ada orang yang bicara itu harus di dengarkan baik-baik hahahhaa..." Ajeng tidak terima di perlakukan seperti itu terlebih mereka membawa ayahnya, sehingga dia menarik gantian rambut lawannya tersebut. Dia di keroyok untung saja adik kelas di sana ikut membantunya sehingga terjadi keributan yang membuat mereka jadi bahan tontonan, wakil kepala sekolah datang emlihat itu langsung memanggil Ajeng. Iya hanya dia dia saja, adik kelas yang membela Ajeng tadi langsung berlari ke ruang kelas Ibra dan memberitahukan apa yang terjadi. Sementara Ajeng sudah berada di ruang wakil kepala sekolah untuk ditanyai. "Ajeng kamu tahu apa yang sudah kamu lakukan ?" "Saya tahu bu, tapi saya hanya membela diri saya. Mereka yang lebih dulu memancing keributan." "Harusnya kamu diam saja, jika kamu tidak melawan pasti tidak akan terjadi keributan. Kamu lihat wajah Monika luka akibat ulah kamu, jika orang tuanya menuntut sekolah ini apa kamu bisa bertanggung jawab ?" Ajeng diam mendengar hal itu, bukan karena dia merasa takut namun karena hatinya sangat sakit. "Jika saya yang terluka akibat monika, apakah ibu akan merasa cemas seperti ini ?" tanya Ajeng denagn nada tegar yang sangat dia usahakan agar getaran tangis yang ia tahan tidak pecah. "Tidak bu, ibu dan sekolah ini tidak akan pernah khawatir karena sepuluh orang seperti saya tidak lebih berarti daripada satu orang Monika. Tidak perlu ibu jelaskan saya sudah paham bu, saya sadar saya siapa tapi bukan berarti saya bisa diam saja saat seseorang sudah berlaku kurang ajar terhadap diri saya. Saya si miksin ini tidak akan bisa bertahan hidup jika bukan karena diri saya sendiri, dan beginilah cara saya untuk bertahan di sekolah ini. Melawan mereka-mereka yang berbuat tidak adil kepada saya." Telpon di ruangan itu berdering wakil kepala sekolah itu langsung mengangkatnya dan setelah menutup telpon tersebut wanita dengan rambut di sanggul dan memakai kaca mata tebal itu menyuruh Ajeng untuk keluar dari ruangan. Radit sudah ada di depan pintu karena tadinya dia ingin masuk dan menjelaskan semua kepada wakil kepala sekolah itu tapi ternyata Ajeng sudah keluar dari sana. "Ajeng kamu baik-baik saja ?" tanya Radit dan Ajeng mengangguk lemas. Dia berlalu begitu saja menuju ke ruang kelasnya. Ajeng tahu dia akan mendapatkan masalah setelah ini, entah itu di keluarkan atau di skors, sungguh dia sangat kesal dengan semua ini. Tapi dia tidak menyesal sudah meninju wajah Monika. Wanita itu memang perlu dia berikan pelajaran seperti tadi. Sepanjang jalan menuju ke kelas Ajeng mengingat semua yang mereka katakan tentang ayahnya, dia menangis. Hingga tidak mampu untuk melanjutkan jalannya, saat dia akan terjatuh ada tangan seseorang yang menahannya dan orang itu adalah Ibra. "Ib-ra," isak Ajeng masih dengan sakit dihatinya dia berusaha menahan air mata yang akan terus mengalir itu "Lo gak ke kelas ?" Ajeng kembali bertanya ketika Ibra sudah merangkulnya dan membawa dia pergi dari sana. "Kelas masih bisa menunggu," ucap Ibra dan itu berhasil membuat sedikit luka di hati Ajeng membaik. Bersambung....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN