17 :: Ajeng dan Andini ::

1018 Kata
Ketika jatuh cinta semua hal terasa perlu di lakukan, apalagi jika masih tahap untuk pendekatan. Seperti Ajeng yang benar-benar ingin merubah hal-hal dalam dirinya demi jadi versi terbaik untuk Radit. Ajeng mungkin tidak sadar perubahan yang awalnya kecil dia lakukan lama-kelamaan berdampak besar terutama untuk di nilai oleh orang-orang yang dekat dengannya. Tika sang kakak mengatakan jika Ajeng bukan seperti adiknya yang dia kenal, Ajeng berbicara saat ini bahkan harus berpikir apa yang akan ia katakan dan juga membuat suaranya pelan serta lembut. Tidak natural sama sekali, Wita dan Andini juga bingung. Bukan hanya sibuk dengan penampilan Ajeng juga sibuk merubah sifat natural yang ia miliki. "Ajeng mana ?" tanya Ibra pagi-pagi karena hari ini Ajeng berangkat ke sekolah tanpa menunggunya. Wita dan Andini yang mendengar itu hanya menunjuk menggunakan pandangan mata mereka. "Tadi Pak Radit jemput dia, sekarang dia sibuk minta maaf sama anak-anak karena gak bawa pesanan mereka semua." Jelas Wita. "Bukannya kata Ajeng dia hari ini jualan ya ? gue juga udah pesan buat tante gue malahan." Ibra berkomentar, Andini dan Wita hanya menaikkan kedua bahu mereka. Ibra sebenarnya ingin masuk ke dalam kelas itu namun karena bel masuk sekolah sudah berbunyi dia mengurungkan niatnya dan kembali ke kelasnya. "Gue pikir setelah gue cerita tentang Radit Ajeng bakal berpikir seribu kali untuk dekat dengan manusia satu itu, taunya malah semakin menjadi." Andini ikut kesal melihat sikap Ajeng sekarang. Wita tidak berkomentar apapun, dia memilih diam saja dan duduk di bangkunya yang bersebelahan dengan Ajeng. Ajeng cemberut karena lelah menjelaskan kepada semua teman-temannya jika dia tidak membawa pesanan mereka. Pesanan itu sudah dibuat olehnya, tapi karena terkejut Pak Radit tiba-tiba menjemputnya tadi pagi dia jadi melupakan barang jualannya. Ajeng benar-benar menyesal, tapi nasi sudah menjadi bubur dia harus berbuat apa. "Lo sama Pak Radit semakin dekat aja Jeng ?" tanya Wita dan Ajeng menggelengkan kepalanya. "Belum dekat banget sih, masih tahap biasa." "Pak Radit udah jemput lo ke rumah pagi ini masih lo bilang biasa ?" tanya Wita dan seketika bungkam ketika nama yang ia sebut muncul di kelas mereka. Ajeng tersenyum lebar, namun buru-buru merubah ekspresinya. Wita berdecak kesal melihat sikap Ajeng itu. Radit menjelaskan mengenai aturan les tambahan yang sudah akan dimulai senin depan, dan seluruh siswa-siswi kelas dua belas wajib mengikuti les tersebut. Ajeng mengangguk paham dengan apa yang Radit katakan, dia tidak lupa memberikan senyuman manis ketika matanya dan mata Radit saling tatap satu sama lain. Ajeng mengulum senyumnya ketika dia tahu Radit memberikan senyuman tipis kepadanya, meski tipis dan nyars tidak terlihat tapi Ajeng tahu Pak Radit-nya juga menatap dan memberikan senyum untuknya. **** Ajeng duduk seorang diri di taman belakang sekolah, sementara Andini dan Wita memilih membeli makanan di kantin saat jam istirahat berbunyi. Ibra yang melihat Ajeng duduk seorang diri disana menghampirinya. "Mana pesanan untuk tante gue ?" Ajeng tersenyum dengan wajah memelas, dia yakin jika mengatakan lupa karena di jemput oleh Pak Radit maka sudah di pastikan Ibra akan menjawab dengan sinis. "Kok diam Jeng ? Karena Pak Radit ?" "Kok lo tau ?" Bukan menjawab malah Ibra hanya tersenyum sinis, benar dugaan Ajeng meski bukan ucapan senyuman sinis Ibra adalah buktinya. "Lo bahkan lupa kalau gue bilang mau gue jemput kan ? Gue udah ke rumah lo dan lo gak ada," ujar Ibra namun tidak pergi begitu saja meninggalkan Ajeng seperti dugaannya melainkan ikut duduk di sebelah Ajeng. "Lo suka banget ya sama Pak Radit ? Sampai lo bisa melupakan segalanya." "Ya gak segalanya juga kali," kata Ajeng tidak terima. Setelahnya Ajeng meminta maaf kepada Ibra, dia mengatakan yang sejujurnya jika dia memang lupa untuk membawa semua pesanan yang sudah dia buat. Setelah ini bahkan Ajeng pusing karna rugi. Ibra mengusap kepala Ajeng, membuat dia merasa seperti anak kecil padahal Ibra adalah adik kelasnya. "Woi pacaran mulu !" Wita dan Andini tertawa melihat kedekatan Ajeng serta Ibra, Ajeng juga jadi salah tingkah. "Siapa yang pacaran," ujar Ajeng tidak terima. Pembicaraan pun berlanjut dengan membicarakan Ibra serta acara malam minggu mereka. Andini dan Wita setuju jika mereka akan membuat acara bakar-bakar di rumah Ibra dan tugas Ajeng yang membuat bumbunya. "Gue boleh bawa Tika dong ?" "Boleh ! Asal jangan si Radit." "Ih lo sama abang sendiri." "Dia bukan abang gue," kata Andini kesal. Andini tidak tahu jika Radit ada disana dan mendengar semuanya. Raut wajah Radit mengeras, dia tahu sampai kapan pun keluarga ayahnya tidak akan menerima dia terlebih itu Andini. "Lo jangan benci sama Pak Radit, dia juga gak mau lahir dan keadaannya mengecewakan lo juga nyokap lo. Kasihan orang lo benci, karna yang gue lihat waktu lo sakit Pak Radit khawatir banget loh." "Gak usah bela dia Jeng, gue tau lo suka sama dia tapi gak perlu bela dia." "Gue bukan membela pak Radit, hanya saja." Belum selesai kalimat Ajeng Andini sudah pergi. Perbedaan benci dan cinta memang sangat tipis, semuanya akan jadi sensitif. Ajeng menghembuskan napasnya begitu juga Wita. "Gak mudah merubah persepsi orang, lebih baik nanti lo bicara lagi baik-baik sama Andini. Dia juga gak salah sepenuhnya hingga membenci Pak Radit." "Lo tau sesuatu ya Ibra ?" tanya Ajeng dan Wita bersamaan. "Gak juga sih !" Ibra terus mengelak ketika Ajeng mulai terus mengejarnya dengan pertanyaan, Radit pun pergi dari tempatnya. Hatinya tidak tentu arah, dia sangat ingin marah namun melihat Andini tadi dia juga sedih. Andai dia bisa memilih, dia tidak akan mau berada di posisi seperti ini. Dia menyayangi Andini seperti Andini adalah adik kandungnya sendiri, dia tidak ingin menyakiti adiknya itu. Bahkan dia sangat ingin melindungi Andini, Radit bersyukur karena setelah dekat dengan Ajeng dan Wita adiknya itu bisa memiliki teman sebagai tempatnya berbagi. Setelah berteman dengan Ajeng dan Wita, adiknya itu sering terlihat tertawa. Dan mengenai Ajeng, Radit perlu berterima kasih kepada wanita itu karena sudah mencoba membelanya di depan Andini. Selain ayahnya Andini adalah orang kedua yang membelanya, Ajeng adalah orang kedua yang percaya jika dia tulus menyayangi Andini. Senyuman Radit yang tipis terukir sambil dia melangkah menuju ruang guru. Dia tersenyum ketika melihat kotak makanan yang tentunya dari Ajeng. Muridnya itu benar-benar gigih, dan tanpa Radit sadari hatinya menghangat melihat nasi goreng yang Ajeng buatkan untuknya. Bersambung....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN