Dua Puluh Satu

1013 Kata
Bukannya terdorong lebih jauh atau jatuh, aku merasakan punggungku yang terantuk dan membentur permukaan sesuatu yang keras. Sebuah tangan berukuran besar kemudian memegangi bahuku. "Lo nggak apa?" Suara lirih Erland tiba-tiba terdengar di belakangku. Aku menoleh. Dan yang kulihat pertama kali adalah netra hitam Erland yang menatap khawatir. Tapi, tidak-tidak! Seriously? Kurasa tentu saja itu hanyalah akting. Aku pun segera mengangguk sembari menyeimbangkan tubuhku yang baru saja oleng. "E-Erland?" Suara Sheila terdengar bergetar. Ia mengatupkan kedua tangannya ke mulut saat aku menoleh ke arahnya. Masih memegang bahuku Erland mengambil posisi di sampingku. Sekali ia melirikku sebelum kembali melempar tatapan tajamnya ke depan. Yang terjadi kemudian adalah Sheila dan ketiga temannya yang tampak ketakutan. "Erland. Gue-gue---" "Ugly!" desis Erland sembari melepaskan pegangannya padaku. Katanya barusan berhasil membuat Sheila berdiri membeku. "Tampang sama sikap lo itu luar biasa, ya? Murahan! Karena itu gue nggak suka elo kalau lo mau tahu alasannya." Erland menunjukkan muka datarnya. Di mataku kali ini wajah tampan milik Erland mendadak jadi kelewat mengerikan untuk dilihat. "Maaf, Erland. Tadi gue cuma ngela---" "Kapan-kapan selain wajah, otak lo perlu dipoles juga kayaknya. Reparasi. Muka cantik nggak guna kalau attitude lo nol persen!" Sheila langsung membelalakkan mata mendengar ucapan Erland itu. Ekspresi syok jelas menggelayuti wajah yang memang terpoles cantik itu. Kulihat ketiga temannya sudah menundukkan kepalanya dalam-dalam. "Lo nggak pernah lulus TK ya sampai nggak ngerti etika?" sarkas Erland melanjutkan kata-kata pedasnya sembari mengangkat alis. Setelahnya cowok itu menghela napas dengan kasar. "Sampai gue denger ada yang ganggu Laras dan ngelakuin apa-apa ke dia ... gue pastikan, kalian semua bakal jadi salah satu orang yang mendapat akibatnya. Wait and see aja!" Erland masih menatap tajam lantas kembali menyeringai. Telak, ketiga teman Sheila langsung mengangkat kepala dan menggelengkannya. Masing-masing mereka bahkan juga menampilkan gerakan yang sama, melambaikan kedua tangan menyilang ke udara yang senada dengan gelengan kepalanya. Di sisi lain Sheila langsung memucat di tempat. Gadis itu tidak bergerak dan menyahut apa pun. Dia seperti tidak menyangka jika Erland bisa sesarkas itu memperoloknya, karena dari yang kudengar, Erland tidak pernah sekasar itu kepada perempuan. "Kita pergi, ya?" Erland tiba-tiba menarik tubuhku. Dan tanpa seizinku, cowok itu kemudian kembali merangkul bahu kecilku. *** "Kalau ada yang ngancam jangan diam aja. Lawan!" ucap Erland yang berjalan di depanku. Aku di belakangnya hanya bisa menatap bahu lebar cowok itu sembari mendengkus. Jujur, sikap Erland yang seperti ini terasa aneh. Dia seolah memperhatikan dan peduli padaku. Aku benci dikasihani. Meski sikap Erland padaku bukan kategori mengasihani, tapi tetap saja, sikapnya itu membuatku kesal. Pasalnya, kami bahkan tidak berteman! Jadi wajar kan kalau kepeduliaannya itu terasa ganjal?! Setelah kejadian di rooftop sekolah dengan Sheila dan gengnya, Erland menarikku kembali ke kantin. Cowok berambut sedikit kecokelatan itu menyuruhku menghabiskan makanan yang ia pesankan sebelumnya untukku sambil menungguku makan sampai selesai. Ia juga terus melemparkan tatapannya padaku, membuatku tidak bisa santai menikmati nasi goreng yang menjadi makananku. Mambuatku merasa tidak nyaman. Belum lagi, kondisi kantin yang mulanya sudah ribut semakin menjadi setelah aku kembali. Ya, apa lagi alasannya? Video dan berita aku dengan Sheila yang bersiteru sudah menyebar di setiap grup chat w******p anak-anak. Kalau kalian bertanya dari mana aku tahu, maka biar kukatakan. Aku mengetahuinya dari video dan screenshot-an percakapan yang dikirim Alina di grup chat kami. Secara pribadi, aku mengetahuinya sendiri di grup chat kelas---yang meski di dalamnya aku hanya menjadi siders, aku selalu update membaca semua chat terbarunya---dengan segala gosip dan t***k-begeknya yang juga dibahas di dalam grup itu. Satu-satunya grup chat yang benar-benar kuaktifi hanya satu, grup chat milikku bersama ketiga sahabatku. Dulu kami iseng-iseng membuatnya untuk saling memberi tahu kalau ingin mengadakan ketemuan atau janjian. Aku ingat, saat itu Gini yang mengusulkan. Huft. Kembali pada video di chatroom-ku dan anak-anak lain, yang kuyakini tersebar juga ke seluruh grup chat yang ada di SMA Garuda. Entah kenapa aku sangat yakin jika Eva yang merekamnya. Hanya dugaan saja sih sebenarnya, tapi faktanya memang hanya ada gadis itu di rooftop saat semuanya terjadi. Sedangkan yang lain sibuk dengan kata-katanya, Eva bisa jadi yang mengambilnya, ia merekam semuanya. BRUK! DUG! Kepalaku terasa berdenyut sakit karena terantuk sesuatu keras yang ada di depanku. Aku mendongak dan mendapati Erland berdiri sana. Aku menabraknya. Dan sialnya lagi, cowok itu sedang menghadapku. Untung saja aku tidak jatuh terjengkang meski kepalaku terdorong ke belakang. Erland menarik bahuku. "Lo mikirin apa sih?" Cowok itu merendahkan kepalanya menatapku. Sebelum itu ia sudah melepaskan pegangannya di bahuku. "Eh?! Maaf," kataku memilih menunduk dan menatap ujung sepatu. Seperti beberapa menit lalu, kepalaku masih sibuk memikirkan sesuatu yang lain. Dan jujur saja, sekarang aku sedang ingin menghindar dari manik obsidian Erland. "Nyusahin." Erland mendesis pelan. Persis seperti dengkusan. Aku pun meliriknya. Kudapati Erland merengut sebentar sebelum menautkan tangan kami. "Gandengan sama gue biar nggak hilang lo, apalagi kesasar," ucapnya saat kembali melangkah. Aku pun hanya diam dan tercengang. "Apa?" Tatapnya tajam saat ia menoleh ke arahku. Beberapa detik kami saling pandang kemudian berakhir dengan aku yang menundukkan kepala lagi. Sungguh, aku tidak nyaman dengan semua ini. "Tsk. Dasar!" Lama dalam keheningan, tiba-tiba Erland mengacak rambutku. Sedetik suara tawanya kemudian terdengar di indra pendengarku saat aku menunjukkan wajah. Hello, memangnya ada yang lucu dari wajahku? Aku hanya membisu. Biasanya aku akan langsung nyalang membalas perlakuan yang seperti itu jika yang melakukannya adalah teman, salah satu sahabatku atau Kak Rama. Tapi entah mengapa kali ini rasanya beda. Semacam nyaman mungkin? Dan aku langsung ingin menertawai pikiranku yang barusan. Nyaman dari mananya coba? Ahaha! "Lo cantik juga ternyata." "Hah?" Aku langsung mendongakkan kepala menatap wajah Erland. Tadi, yang bicara barusan cowok ini kan? Really? Cowok seperti Erland memujiku? Tidak salah kan pendengaranku? "Barusan lo ngomong apa?" Aku memilih bersuara mempertanyakannya. Tapi Erland malah tertawa kecil sembari mengedikkan bahu. Tanpa suara. Ya, tawanya pecah tanpa suara. Sebentar, cowok itu kemudian diam sembari melakukan beberapa helaan napas. "Nggak ada," sahut Erland akhirnya sambil menatap lurus ke depan. Dari samping, aku bisa melihat ada lengkungan senyum di bibir tipis cowok itu. Aku kembali menatap lurus jalanan yang ada di depanku. Dalam hati aku menggumam, sepertinya berpacaran pura-pura dengan Erland tidak akan seburuk apa yang kupikirkan. Bersambung

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN