Dua Puluh

1682 Kata
Ketika aku sampai di kantin, perhatian semua orang langsung berpusat padaku dan Erland. Selain itu, yang kurasakan adalah tatapan menusuk mereka di seluruh jengkal kulitku. Membuatku ingin menghilang saja rasanya. Belum lagi ocehan pedas gadis-gadis tukang gosip yang kembali terdengar bising membicarakanku miring di meja-meja kantin. Huft .... Andai saja aku membawa headset tadi. Telingaku tidak harus mendengar semua ini. Kuputuskan melirik sekeliling, mencari presensi tiga sahabatku. Menilik meja yang biasa menjadi tempat nangkring kami dan menemukan meja itu yang kosong. Yang terlihat hanya semangkuk bakso dalam keadaan utuh, dua mangkuk bakso lain, dan mie ayam yang sudah tersentuh juga seporsi nasi goreng yang tinggal setengahnya. Empat gelas sari jeruk tampak masih utuh di atas meja. "Ke mana mereka?" lirihku. "Hm?" Erland yang berdiri di sampingku menoleh. Di dahinya tercipta kerutan. Tidak memedulikan cowok itu, aku kembali menatap meja yang tidak terlalu jauh di depanku itu. Lirikan netra Erland pun mengikuti arah penglihatanku. Diam. Beberapa menit kemudian tercipta keheningan antara aku dan Erland di sela-sela ramai. Di sisi lain, Devan dan teman-teman Erland yang lain sudah duduk memakan makanannya di salah satu meja. Aku sungguh tidak tahu sejak kapan mereka di sana. "Sini, Land! Lo nggak mau makan?" teriak salah seorang. "Nasi goreng pesenan lo udah mau dingin nih!" "Iya. Laras juga tuh! Emang nggak laper?" Suara terakhir itu menarik atensiku. Devan. Ia tersenyum lebar saat aku menatapnya. 'Sini!' Lambaian tangannya seolah mengatakannya setelah tangan itu menepuk sebuah bangku kosong yang ada di sampingnya. "Ayo makan!" Aku menoleh ke Erland. Cowok itu segera menggandeng tanganku lagi. "Eh, itu. Gue udah dipesenin makanan sama Karina tadi," kataku mencoba melepas pegangan Erland. "Tapi nggak tahu mereka ke mana." Erland memiringkan kepala. Ia mengidikkan bahu lalu membawaku serta ke meja teman-temannya. Kembali, tatapan menusuk puluhan pasang mata menggangguku. "Makan!" Erland yang duduk di sampingku menyodorkan seporsi nasi goreng. Tidak ada pilihan lain. Setelah memastikan teman-temanku tidak ada di sekeliling, aku kemudian memakan nasi gorengnya dalam diam setelah mendapati tatapan Erland yang kelewat tajam. "Eh, lo nanti dateng nggak ke party mantan?" Devan mendongakkan kepalanya pada Erland. Aku yang mendengarnya langsung yakin kalau yang dimaksud 'mantan' di sini adalah Oktavia. Aku menatap ke samping. Namun, Erland yang duduk di sana tidak menjawab pertanyaan itu. Sejenak kulihat kepalanya terangkat dengan tatapan malas pada Devan sebelum kembali menikmati makanannya. "Lo ngajak Laras?" Devan yang tidak membaca ketidak-sukaan Erland menjawab tanya malah berkata lagi. "Hm." Tidak kusangka, Erland kali ini menyahut. Meski masih sibuk dengan sendok dan piringnya. "Oh. Baguslah kalau gitu. Tadinya gue ada niat ngajak Laras jadi mate dansa gue di pesta mantan lo." Devan menyendok santai kuah baksonya. "Lo beneran mau mati?!" Erland tiba-tiba melemparkan sedotan jus miliknya pada Devan. Devan yang mendapat lemparan itu langsung menunjukkan wajah kaget. Sendok di tangannya bahkan jatuh ke mangok dengan kuah bakso yang sedikit muncrat ke seragam dan wajahnya. "Astaga!" Cowok itu mengelap kuah bakso di wajah dan kemeja putihnya. "Ha ha ha. Mampus lo!" Roi, Rudi, dan Mando tertawa bersama. Mereka semua teman-teman Erland. Aku baru sadar kalau di seragam mereka terpasang nametag. Untuk siswa kelas tiga, semuanya wajib memakainya. Entah kenapa Erland tidak, Devan juga saat aku melirik seragamnya. Baiklah, catat! Devan ternyata sama saja dengan Erland masalah melanggar aturan. "Slow aja, Land. Becanda gue. He he." Devan yang selesai dengan urusan elap-mengelapnya menyengir, mengangkat dua jari kanan dengan bentuk huruf V. Setelah itu semua orang kembali sibuk pada makanannya masing-masing. Aku juga. Dan telingaku juga hampir kebal mendengar cicit-cicit gossiper untukku. "Lo yang namanya Laras, ya?" Seorang gadis berambut sepundak dengan nametag Eva tiba-tiba mendatangiku. Gadis itu berdiri tepat di sampingku. "Eh. Iya. Ada apa?" Aku menjawabnya. "Lo ikut gue!" Cewek itu menarik lenganku. "Cewek lo gue pinjem dulu, ya," katanya pada Erland yang masih lekat menatapku. Eh, kenapa lagi ini? *** "Astaga." Aku mengatupkan tangan ke mulut. Tidak percaya dengan apa yang kulihat di depan. Mataku membeliak menatap mereka yang ada di sana. "Ini ada apa?" kataku kemudian pada Eva. Semilir angin mengibarkan rambut sepundaknya. Membuat rambut dengan ujung yang dicat warna kepirangan itu sama berantakannya seperti milikku. Kami berada di rooftop sekarang. Eva mengidikkan bahu membalasku. "Nggak tahu. Masalah Erland kayaknya," ucapnya dengan kedua tangan terlipat di d**a. "Terus kenapa nggak lo lerai, Kak?" Eva hanya mengedikkan bahu sembari mengerutkan alisnya. Dengan cepat aku pun mendekati kerumunan itu meninggalkan Eva. Karina, Gini, dan Alina. Di depan sana ketiga sahabatku itu tampak saling berhadapan dengan beberapa cewek yang tidak kukenal. Semuanya berjumlah empat orang. Seperti kebanyakan gadis SMA yang pernah kulihat, mereka bertengkar dengan saling serang ucapan. Entah apa yang mereka ributkan. Aku tidak yakin jika hanya Erland yang menjadi alasannya. "Udah, berhenti!" kataku berdiri menengahi. "Ada apa sih ini?" tanyaku menoleh ke sisi kiriku. Menatap wajah teman-temanku yang tampak penuh emosi berdiri di situ. "Lo siapa datang-datang nyuruh kita berhenti?" Suara seseorang yang berasal dari sisi kananku membuatku menoleh ke arahnya. "Berani banget lo?!" lanjut si empunnya suara. Hampir saja aku membuka mulut, Gini menarik tanganku. "Lo ngapain di sini?" tanya Gini berbisik tepat di telingaku. "Kenapa emang?" Aku bertanya. Mataku kemudian berpendar menatap wajah ketiga sahabatku satu per satu yang masih terlihat menahan amarah. Namun, dari tatapannya, mereka jelas sedang mengkhawatirkan sesuatu. "Wah wah wah!" Suara dari seberang menarik atensiku. Aku berbalik ke sisi kanan dan mendapati seorang gadis dengan nametag Sheila manggut-manggut. Matanya tampak memakai softlense berwarna abu-abu yang kini tajam menatapku. Di sisi lain, kudapati gadis ber-nametag Ana baru saja membisikinya. "Oh, jadi elo yang namanya Laras?!" Sheila melempar tanya lantas berjalan menghampiriku setelahnya. Mata abu-abunya memelototi seluruh jengkal tubuhku dari atas ke bawah. Ia kemudian berdecak. "Ck. Cewek dari mana lo berani motong jalan gue? Lo pasti mau jadi mainan baru gue, ya?" Gadis itu menyorongkan wajah putihnya sambil berkacak pinggang. Satu kakinya ia langkahkan dan berhenti di depan. Aku diam sembari mencerna ucapannya. Dahiku pasti berkerut karenanya. "Diem aja deh lo, Mak Lampir! Nggak usah bicara!" Karina tiba-tiba angkat suara. Sahabatku yang satu itu kini mengambil posisi untuk berdiri di sampingku. Sama seperti sebelumnya, kedua maniknya menatap tidak suka pada Sheila. "Apa lo bilang?" Sheila berteriak tidak terima. Matanya menghunuskan tatapan membunuh ke Karina. "Lo nggak denger, ya? Temen gue bilang lo Lampir!" Alina yang menyahut. Suaranya terdengar sengaja ia tekan pada kata terakhir. "Lo!" Sheila mengacungkan telunjuk ke Alina. Sebentar, ia kemudian memejamkan matanya seolah berusaha menahan emosi. Menarik napas dalam kemudian menghembuskannya kasar. "Kenapa? Lo nggak bisa nyangkal kan?" Satu itu suara Gini. "Lo tuh Lampir! Lo sebenernya nggak ada apa-apanya sama kami. Apalagi sama Laras!" katanya membuatku menyenggolnya. Tidak mengerti apa yang menjadi masalahnya sampai namaku ikut dibawa-bawa. Apa benar Erland yang menjadi biang masalahnya? Dan Sheila, aku bahkan tidak mengenal gadis ini. Sheila membuka pejamannya. Sebentar, matanya kemudian membulat dan menampakkan jelas lensa abu-abunya yang tampak menyala sebab berkas cahaya matahari siang yang jatuh menimpanya. "Udah, Shei. Slow! Kita udah nggak ada urusan sama mereka." Teman Sheila yang ber-nametag Diana memegang bahu gadis itu. Di sampingnya, Diandra, gadis yang mirip dengan Diana mengangguki ucapannya. Oh, aku baru sadar. Bukan mirip rupanya. Tapi sama. Mereka saudari kembar sepertinya. Wajah mereka benar-benar seperti pinang yang dibelah jadi dua. "Iya, Shei. Lagian kita udah ketemu sama target utama kita." Ana menyahuti ucapan Diana. "Huh." Sheila menghela napas. "Iya, kalian bener. Nggak penting juga berurusan sama mereka." Gadis itu memasang senyuman miring. "Karena ... urusan gue emang cuma sama elo." Sheila menatapku. Matanya memicing melihatku. "Hah? Gue? Kenapa?" Aku menunjuk diriku sendiri. "Lo tuh nggak usah sok-sokan jadi cewek! Apa sih yang dilihat Erland dari cewek biasa macam lo?" Gadis ber-nametag Sheila itu mendengkus remeh. Pandangan yang jelas tampak menghina dilemparkannya kepadaku. "Lo jelas nggak ada apa-apanya dibanding gue sama Oktavia. Cantik pas-pasan. Badan juga gak bohay. Erland nggak pantes sama lo!" Kembali Sheila melipat kedua tangannya. 'Aduhh. Lo nggak tahu sih apa yang sebenarnya,' dalam hati aku berkata. "Iya, terus?" ucapku pada akhirnya. Meski di dalam hati aku tahu, tidak ada gunanya meladeni ucapan fans Erland semacam Sheila ini untukku. "Lo pakek pelet kan buat dapetin Erland?" Ana yang menyahut sambil menyipitkan matanya. "Apa jangan-jangan ... Erland mau sama elo karena lo jual diri?" tambahnya kemudian terkekeh kecil. Aku langsung mendelik. "Lo!" Gini hendak maju. Aku yang menangkap pergerakannya itu langsung menahan tangannya. Jelas Gini tengah kehilangan kesabarannya. "Enak aja lo bilang Laras pakek pelet sama jual diri. Mulut lo nggak pernah disekolahin? Gue hajar juga lama-lama!" Gini mencoba melepas peganganku seolah hendak menerjang gadis yang bernama Ana itu. Di sisi lain, Ana langsung memundurkan langkah dengan mata sedikit terbelalak takut. Gini yang sedang emosi memang bisa jadi masalah. Semua orang tahu itu. Sahabatku yang satu itu bisa berbahaya saat marah. Sebab jangan salah! Meski Gini kadang bersikap konyol, sejak masih tingkat SMP gadis itu sudah menggenggam sabuk hitam silat. Saat SMA sabuk hitam taekwondo pun di tangannya. Kemarin, kejuaraan nasional silat disabet olehnya sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Bahkan kejuaraan taekwondo juga meski di kancah dan pada olimpiade yang berbeda. "Cih." Sheila terdengar mendecih. Fokusku yang tadi ada pada Gini kembali pada wajah kakak kelasku itu. Karena seragamnya yang dipasangi nametag, aku jadi bisa menyimpulkan kalau dia kakak kelasku, sama seperti Erland. "Tinggalin Erland atau hidup lo nggak bakal tenang!" Mata Sheila menatap tajam. Aku pun hanya diam. Bukan! Bukan karena Sheila yang berhasil mendominasi dengan suaranya. Tapi karena ada suara yang lebih familier mendominasi kepalaku. Sebuah suara yang menyuruhku menyetujui lontaran Sheila itu. Suara itu ... dia ada di belakang gerombolan Sheila. Ya, bayangan hitam. Dia di sana menghadapku. Dan jujur, seperti yang pernah kukatakan sebelumnya, aku sudah tidak terkejut akan keberadaannya. Sedari kantin aku tahu kalau ia mengikutiku. Aku merasakannya. Sudah tidak ada rasa risih, terkejut maupun takut. Kini aku sudah tidak risih ataupun takut akan kehadirannya. Bayangan hitam tidak pernah menyakitiku kan?! Jadi tidak ada yang perlu kucemaskan. "Punya mulut nggak sih lo?" Tersentak. Tubuhku tiba-tiba terdorong ke belakang oleh tangan Sheila yang baru saja menyorongnya. Mata abu-abunya menunjukkan emosinya. Bukannya terdorong lebih jauh atau jatuh, aku merasakan punggungku yang terantuk dan membentur permukaan sesuatu yang keras. Sebuah tangan berukuran besar kemudian memegangi bahuku. "Lo nggak apa?" Suara lirih Erland tiba-tiba terdengar di belakangku Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN