Dengan wajah masam Oktavia pun mengambil undangannya yang dikembalikan Erland. Setelahnya, Erland langsung membawaku meninggalkan kantin. Menyisakan wajah-wajah tak percaya dan tidak terima yang kebanyakan muncul dari para siswi, termasuk Oktavia dan komplotannya. Pun ketiga sahabatku, Karina, Alina, dan Gini. Aku yakin mereka semua pasti terkejut.
"Oi, buruan!"
Sebuah suara dan gedoran yang terdengar dari balik pintu membuyarkan lamunanku.
Aku langsung beranjak dan bergegas mebukakan pintu dan mendapati Erland berdiri di depan. Sebuah paper bag besar ditenteng tangan kanannya.
"Ganti baju aja lama banget," celetuknya. "Mana gaunnya? Biar dibungkus sama Tante Farah." Cowok itu mengulurkan sebelah tangan ke arahku.
"Eh, iya." Aku memberikan gaun di tanganku pada Erland. Setelah itu aku mengikuti langkahnya ke depan, ke tempat di mana Tante Farah berada.
"Berapa, Mbak?" tanya Erland pada seorang perempuan di balik meja kasir setelah memberikan gaun yang kupakai tadi untuk dibungkus.
"Untuk gaunnya tiga setengah juta, sama setelan kemeja dan jasnya tadi ... jadinya delapan setengah juta, Kak. Lalu sepatu heelsnya lima ratus ribu. Totalnya jadinya sembilan juta rupiah, Kak," kata perempuan itu sembari menyunggingkan senyum ramah.
Jantungku terasa mau melompat keluar.
Sembilan juta?!
Semua itu ... uang?
Itu nilai yang setara dengan jatah uang jajanku beberapa bulan dari Papa! Dan uang sebanyak itu hanya untuk sepasang gaun dan sepatu juga jas satu setel dengan kemejanya?
Gila! Aku geleng-geleng kepala.
Erland mengeluarkan dompet dari saku celana kainnya, meraih sebuah kartu dari dalam dompet kemudian menyerahkan kartu itu pada perempuan penjaga kasir.
"Ambil delapan juta saja ya, Fin. Dia anak teman saya." Suara Tante Farah yang tiba-tiba menahan gerakan tangan petugas kasir yang hampir menggesekkan kartu Erland di mesin gesek p********n non tunai di depan.
"Baik, Bu." Perempuan itu mengangguk lalu melakukan yang dikatakan Tante Farah.
"Aduh, nggak usah, Tan!" Erland berkata dengan kedua mata yang menatap lurus Tante Farah. Melayangkan protes. Namun, Tante Farah hanya tersenyum mengabaikannya.
"Udah, nggak pa-pa." Tante Farah mengibaskan tangan.
"Tapi, Tan ...."
"Ini, Kak, kartunya." Perempuan penjaga kasir tadi menginterupsi kalimat Erland dengan mengulurkan kartu milik cowok itu.
"Oh, iya. Makasih." Erland menerima kartunya tersebut. Selanjutnya ia kembali menatap Tante Farah. "Tapi, Tan ...."
"Nggak ada tapi-tapian, Erland!" Tante Farah melototkan mata dengan jemari telunjuk tangan kanan yang mengacung ke depan kemudian digoyangkan.
Erland menghela napas karenanya. "Iya deh kalau gitu," terimanya. Dengan wajah masam tentu saja.
Aku yakin, Erland pasti tidak akan mudah menerima kebaikan orang lain seperti itu kalau bukan Tante Farah yang memaksa. Mengingat bagaimana Erland dan sikap arogan selangitnya.
"Ya sudah, Tan. Aku pamit," kata Erland sebelum meninggalkan butik.
"Iya, Erland. Salam ya buat Papa-Mama kamu," teriak Tante Farah.
"Iya, Tante. See you."
Aku kemudian mengangguk sembari tersenyum saat Tante Farah melihat ke arahku. Beliau juga balas tersenyum saat Erland menarik tanganku keluar dari butiknya. Dan entah kenapa, aku jadi teringat senyum seseorang saat melihat senyum Tante Farah. Senyum mereka tampak mirip.
"Nih, bawa punya lo!"
Erland tiba-tiba menjulurkan salah satu paper bag besar di tangannya ke arahku.
Kami sudah berdiri di samping motornya sekarang. Bersiap mau pulang.
Tanpa sepatah kata pun, aku segera menerima paper bag itu. Beberapa menit setelahnya, aku dan Erland sudah duduk di atas motor Ducati hitam miliknya, meluncur cepat di jalanan Jakarta.
Kalau dipikir-pikir aneh memang, pagi ini Erland adalah orang asing yang hampir menabrakku dengan motornya. Dan belum mencapai 24 jam dari insiden itu, aku sekarang malah sudah ada di atas boncengan motornya. Duduk manis di belakang Erland yang melaju cepat seperti pagi tadi saat mengendarai motor di halaman sekolah. Bukan lagi sebagai orang asing, tapi sebagai pacar.
Aku jadi teringat sebuah kalimat yang pernah kuketahui dari seseorang. Kehidupan adalah seperti sebuah roda yang berputar, kadang kita berada di atas, dan kadang berada di bawah.
Baiklah, tadi itu bukan kalimat yang cocok untuk menggambarkan kondisi kami sekarang. Tapi, kurasa kalimat itu tidak sepenuhnya tidak pas, karena meski persentase kecocokannya hanya 0,01 dari 100 persen. Namun, itulah yang kurasakan saat ini. Aku merasakan putaran roda kehidupan itu, tetapi jauh lebih cepat.
Kulirik jam di pergelangan tangan. Jarum panjangnya di angka sepuluh dan jarum pendek menapak angka lima. Pukul 05.50 sore.
Jalanan Jakarta terlihat tidak begitu macet seperti tadi siang saat pulang sekolah.
Di atas motor, aku dan Erland berhenti karena lampu merah yang ada di depan baru saja menyala.
Lima puluh sembilan detik lagi lampu itu akan berubah warna dan Erland akan segera menjalankan motornya lagi.
Menunggu hitungan mundur itu, kuputuskan untuk asyik mengamati suasana senja dengan warna lembayungnya yang pecah di langit yang ada di sisi kiri depanku dari balik bahu Erland.
Aku pun menyunggingkan senyum sebentar saat kemudian secara tiba-tiba, sebuah suara yang begitu familier terdengar di telinga.
"Laras!" serunya memanggil namaku.
Aku menoleh. Mataku pun langsung membola saat mendapati sesosok pria bermotor yang kukenal baik berhenti tepat di samping kanan motor Erland.
"Kak Asoka?!" lirihku tertahan.
Laki-laki itu pun tersenyum sembari menganggukkan kepalanya singkat. Hatiku langsung menghangat melihat roman menyenangkan di wajahnya.
Erland yang duduk di depanku menoleh, ikut melayangkan tatapan pada Kak Asoka yang saat ini duduk di atas motor Ducati warna merah miliknya.
"Siapa?" tanya Erland dengan nada seperti orang yang tidak membutuhkan jawaban atas pertanyaannya itu.
Sekadar basa-basi saja. Namun, untuk saat ini aku tidak mau menangkap ketidak-peduliannya. Kuanggap cowok itu memang sedang peduli karena bertanya.
"Kak Asoka, teman kakak gue," jawabku sembari menatap permukaan helm Erland yang kuanggap sedang menyembunyikan wajah penasaran cowok itu di baliknya.
Kali ini biarkan aku berspekulasi sesukanya tentang wajah cowok itu! Toh, tidak terlihat juga olehku.
Mendapati Erland yang tidak bereaksi lagi, kuputuskan untuk menoleh dan menatap Kak Asoka kembali.
Dia masih melihat pada Erland dengan ekspresi yang tampak penasaran. Aku bisa menyimpulkannya begitu karena sama sepertiku, Kak Asoka juga menggunakan helm biasa sehingga aku bisa dengan mudah membaca raut wajahnya.
Kak Asoka juga tidak menurunkan kaca helmnya ke wajah untuk sekadar menghalau debu. Jadi, aku bisa melihat jelas wajah tampannya itu. Selain itu kulihat sorot matanya juga menunjukkan kalau ia sedang menatap dalam mode penuh selidik ke Erland.
Aku jadi berpikiran untuk mengenalkan Erland pada sahabat kakakku itu. Toh, Kak Asoka bukanlah orang asing di hidupku. "Erland, Kak. Dia itu--"
Tin ... tin ....
Belum selesai kalimatku, suara keras klakson mobil membuat kami bertiga menoleh ke arah datangnya suara di belakang secara bersamaan.
"Oi, jalan, oi! Lampu ijo nyala!" teriak seorang laki-laki berwajah beringas yang kepala botaknya menyembul dari celah pintu sebuah mobil. Laki-laki itu tampak marah dan tidak sabar menilik dari wajahnya.
"Udah, laniut lain kali aja ngobrolnya!" kata Erland tiba-tiba sebelum kembali menjalankan motornya.
Aku pun bergeming. Tiba-tiba merasakan suasana aneh saat berada di antara dua laki-laki ini. Erland dan Kak Asoka.
Di boncengan Erland, kusempatkan sebentar untuk menoleh dan melempar senyum pada Kak Asoka sebelum benar-benar pergi pamit mendahuluinya.
Kak Asoka mengulas senyum manisnya lagi padaku sebelum menoleh cepat ke belakang, ke arah pengendara mobil yang tadinya marah di sana.
"Iya, Bang. Maaf!" teriaknya menyahuti pria botak yang sedang menceracau tidak jelas itu.
Setelahnya Kak Asoka segera melajukan motornya di belakangku.
Lama, setelah menemui perempatan jalan lain, kulihat Kak Asoka membelokkan motornya berlawanan arah dengan tujuanku dan Erland dari pantulan kaca spion Erland. Aku pun menghela napas panjang.
Bersambung