BAB 2

1116 Kata
   Ruang bawah tanah yang sangat gelap, berada di lantai paling dasar markas Black Dragon, merupakan tempat yang begitu dingin serta penuh jerit kesakitan para tawanan. Di tempat ini, terkurung seorang wanita yang begitu malang. Sebuah penjara khusus, tempat yang paling sunyi dan juga lembab, tidak ada orang yang akan datang ke sana, tidak ada pula orang yang bersedia memberinya makanan.    Dua bulan lalu, setelah ia mendapat hukuman pertama. Dirinya disuntik dengan cairan yang entah apa dan langsung tak sadarkan diri. Setelah sadar, ia hanya bisa melihat gelap, tidak pernah ada setitik cahaya yang masuk kedalam ruangan itu. Kedua kaki dan tangannya dipasung dengan rantai panjang, tidak diberikan makanan atau minuman. Anehnya, kenapa dia tidak mati?    Setiap kali ia menutup matanya, bayangan mengerikan itu akan terulang dengan sempurna. Bagaimana ia mendapat hukuman dari kedua orang pria kejam dan mengerikan. Dua orang pria yang memiliki tubuh setengah ular dan manusia, mereka menelanjanginya dan melukainya. Lebih parahnya, pria-pria itu memperkosanya, mereka melakukan pelecehan seksual dan menoreh luka yang begitu dalam baginya. Dia tak pernah diperlakukan dengan sangat kejam selama hidupnya, dia selalu dihormati dan dihargai.    Saat ia membuka mata, maka hanya ada kegelapan tanpa ujung. Deritanya diperpanjang dengan ketakutan dan rasa nyaman pada tubuhnya. Ia merasa jijik saat kedua monster itu menjamah tubuhnya. Ia merasa jijik saat ingat bibirnya pernah menerima ciuman mengerikan mereka.    Wanita itu kini hanya bisa meringkuk, ia tak tahu tepatnya ia terduduk sekarang. Hanya bisa merasa dan kadang merasa ada banyak mata yang menatap benci padanya. Hari ini, ia kembali menunggu kebebasan. Kira-kira dua jam lalu, ia mendengar suara tetesan air, ada derap langkah yang mendekat namun kembali hilang. Wanita itu tak bisa berteriak, suaranya seakan hilang dan itu membuatnya begitu menderita.    Tiba-tiba ... ruangan itu terang benderang, begitu menyilaukan dan membuatnya menyipitkan mata. Cahaya terang di dalam ruangan putih bersih, ruangan itu begitu luas, hanya ada dia sendiri di sana. Suara desisan ular terdengar, tubuhnya bergetar bahkan kakinya bergetar.    Seekor ular besar, dengan warna emas masuk. Ular itu menghampirinya lalu melilitkan tubuhnya dengan erat. Rasanya sesak, apalagi saat ular itu menggigit bagian lehernya. Wanita itu terjatuh, ia langsung teracuni bahkan menggelepar secara tak sadar. Semua rantai terbuka otomatis, wanita itu bebas dan tubuhnya begitu lemah.    "Cancri, kau benar-benar menakutinya." Seorang wanita yang sejak tadi menunggu di luar pintu masuk.    Cancri yang sudah berbentuk seperti ular hanya mendesis, ia melemparkan tubuh lemah itu hingga menghantam dinding baja dengan kuat. Rasa benci begitu mendominasi, membuat dirinya begitu susah mendapat pengendalian diri. Dia sekarang sedang menjadi sosok binatang, wajar saja jika pengendalian dirinya juga tidak bisa di atur seperti biasa.    "Sebaiknya kau segera berubah menjadi manusia. Pakaianmu sudah aku siapkan," ujar Rebecca sambil tersenyum hangat. Ia melirik pada tubuh Bell yang kini bersimbah darah. Tidak ... Bell tak akan bisa mati dengan mudah. Racun yang Cancri berikan hanya racun biasa, sedangkan racun yang yang ditanamkan Lauye dan Near lebih kuat dua tingkat dibanding racun biasa yang Cancri berikan tadi. Rebecca meninggalkan Cancri, beberapa elit golden datang dan menjaga di sekitar, sedangkan anggota Black Dragon segera membawa tubuh Bell keluar.    Setelah kepergian orang-orang yang tak berkepentingan, Cancri mengubah bentuknya menjadi manusia normal. Ia membelakangi anggota elit golden.    "Perubahanmu mulai bisa diatur dengan baik, bagaimana perasaanmu?" Bride menghampiri Cancri, ia memberikan pakaian untuk digunakan atasannya dan menepuk pundak Cancri agak keras.    "Sekarang, apa rencanamu setelah ini?" tanya Marcus yang memilih membakar rokok sambil melirik Cancri yang memasang hanfu bagi tubuhnya.    "Entahlah, Kakak memerlukan Bell untuk menjadi kelinci, aku hanya bisa memberikannya untuk menjalani hukuman." Cancri meraih semua uraian rambutnya, pria itu membalik badan dan menatap para elit golden yang berada di dekatnya.    "Bagaimana penyelidikan kalian?" tanya Cancri.    "Kami sudah mengumpulkan semuanya, untuk apa kau masih menginginkan informasi itu?" tanya Xavana.    "Untuk mengganggu mereka," jawab Cancri pelan dan langsung menghilang dari ruangan.    "Anak itu ... semakin hari dia semakin susah di tebak." Selena melangkah keluar ruangan, ia begitu kesal karena Cancri langsung pergi tanpa penjelasan. ...    Setelah mengunjungi Black Dragon, Cancri kembali ke mansion keluarga Snake. Pria itu merenung di mansion bagian selatan, menatap kosong ke arah hutan bunga sakura dan mencoba untuk mengendalikan dirinya sendiri. Masalah memang sudah selesai, namun White dan Prince bisa saja menjadi bom waktu dan menghancurkan dirinya lagi. Pria itu terus berpikir, ia sedikit kaget seseorang datang dan memeluknya dari belakang.    "Lizzy," tegur Cancri. Semerbak aroma wewangian rempah hutan menguar, aroma yang begitu menyenangkan. Lizzy memang selalu menggunakan wewangian dari hutan, ada beberapa tanaman herbal dan juga bunga liar yang dicampur menjadi satu.    "Kau selalu merenung," bisik Lizzy pelan.    "Banyak masalah. Bagaimana kabarmu hari ini?" Cancri melepas pelukan Lizzy dan menarik istrinya lebih dekat, ia memangku wanita itu, memeluk pinggangnya dan menyandarkan kepalanya di d**a Lizzy. Cancri menarik dalam napasnya, aroma tubuh Lizzy begitu memabukkan dan menenangkannya dari masalah.    "Kau bisa berbagi cerita denganku," sahut Lizzy sambil mengelus rambut panjang Cancri.    "Pantaskah masalah pekerjaan seorang suami diurus istri? Aku tak ingin membuatmu pusing dengan masalah ini."    Lizzy terpaku, "Suamiku, aku hanya ingin menemani dan menjadi orang yang membantumu." Wajah wanita itu terlihat agak kesal, kapan Cancri akan percaya kepadanya?    "Lizzy, bantulah aku dengan selalu setia dan berada di sampingku."    Lizzy menatap, wanita itu buru-buru turun dari pangkuan Cancri lalu bersedekap.    "Kau marah?" tanya Cancri pelan.    "Tidak!" tegas Lizzy.    "Lalu, apa kau punya masalah?"    "Tidak!"     Cancri mengembuskan napas. Pria itu menatap jam tangannya dan berdiri, "Aku harus kembali ke laboratorium. Waktunya mengetes obat untuk Mommy." Pria itu menghampiri Lizzy, namun istrinya melangkah mundur.     "Ada ini? Kau menghindariku?" tanya Cancri.    "Tidak!"     Cancri menarik tangan Lizzy, ia memeluk istrinya.    "Lepaskan!" Pinta Lizzy.    "Tidak! Sebelum kau menjelaskan apa kesalahanku."    "CANCRI, LEPASKAN!" teriak Lizzy nyaring, napas wanita itu terdengar memburu, ia terlihat begitu marah dan mendorong Cancri menjauh.    Cancri yang mendapat perlakuan kasar dari istrinya hanya bisa bersabar, ia menghadapi istrinya dengan senyuman.     "Menjauhlah!" tegas Lizzy lagi, ia membuang muka dan mengabaikan Cancri.    "Kenapa kau marah?" tanya Cancri tanpa bosan.    "Aku tidak merasa marah, berhentilah untuk mencampuri suasana hatiku." Lizzy beranjak pergi, ia sama sekali tak mengiraukan Cancri yang masih menatapnya dengan tatapan sedih.    Apa wanita memang sulit dimengerti? Cancri yang semula tak pernah mendapat perlakuan kasar dari istrinya mulai berpikir. Otaknya seakan tak berguna saat berhadapan dengan situasi seperti sekarang. Kemana istrinya yang penurut? Kenapa wanita itu berubah menjadi agak kasar dan membuatnya semakin bingung.    "Sepertinya, Lizzy sedang kedatangan tamu bulanan." Fedora keluar dari persembunyiannya.    "Tamu bulanan?" Cancri memicingkan mata, menatap bawahannya.    "Dasar bodoh! Ini rahasia wanita," ujar Mona sambil melempar setangkai bunga tulip.    Cancri kembali bingung, kenapa hari ini para wanita berteriak dan terlihat kesal kepadanya? Apa kesalahan yang membuatnya begitu sial dan seperti orang bodoh? Pria itu menatap malas kedua bawahannya, "Sudahlah, aku harus kembali ke laboratorium."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN