Beberapa hari berlalu, setelah percintaan panasnya dengan Lizzy, Cancri kembali disibukkan dengan bahan eksperimennya. Pria itu terlihat sangat teliti, dia bahkan tersenyum senang saat dua botol cairan merah ada di tangannya. Cancri merasa lega karena bisa menemukan obat baru untuk ibunya, pria itu melangkah keluar dari ruangannya dengan cepat, wajahnya berseri dengan dua botol kecil berisi cairan yang sama persis. Ia menghampiri Rebecca yang baru saja keluar dari kamar kecil, wajah wanita itu tampak pucat pasi dengan keringat yang membasahi keningnya.
"Kakak, apa kau baik-baik saja?" tanya Cancri. Pria itu segera meletakan dua cairan itu di atas meja panjang. Ia menghampiri Rebecca dan mengecek suhu tubuh wanita itu.
"Cancri, aku baik-baik saja." Rebecca berusaha menghindar dari Cancri, ia ingin muntah setiap kali mencium bau ular ada di dekatnya. Entah mengapa, rasanya sangat tidak nyaman.
Cancri tersenyum, ia tahu apa yang terjadi, hanya saja ia menunggu Rebecca mengatakannya sendiri. Ia tak ingin mengatakan apa yang dirinya tahu secara langsung, ia hanya ingin Rebecca terbuka kepadanya. Cancri menjauh, ia bahkan mundur sebanyak lima meter agar Rebecca merasa lebih baik.
"Begini lebih baik?" tanya Cancri sambil menaikan satu alisnya. Pria itu tersenyum saat Rebecca mengangguk, "Kakak, aku baru saja selesai membuat obat. Entah itu akan berefek baik atau buruk, kita harus mencobanya kepada Bell dan melihat hasil akhirnya." Cancri menunjuk ke arah meja, ia bisa melihat senyum Rebecca yang terbit.
"Kau sudah berusaha keras, aku … aku bahkan jarang membantumu." Rebecca menatap adiknya, ada rasa yang sangat tak nyaman saat harus bicara dengan jarak yang begitu jauh. Ia mencoba mendekat, tetapi Cancri mundur.
"Kakak, aku sangat bau. Kau tahu, aku belum mandi seminggu ini." Cancri terkekeh. Pria itu melepaskan jubah putih panjangnya dan mengendus dirinya sendiri, ia kembali menatap Rebecca.
"Kau ingin mandi?" tanya Rebecca. Rasanya benar-benar canggung, ia menunduk dan tersenyum kecil.
"Begitulah, tapi aku ingin melihat hasil penelitianku sebelum pergi." Cancri tersenyum, "bisa lemparkan cairan itu padaku?"
Rebecca menatap kedua botol kecil itu, akan sangat berisiko jika itu memang obat yang ampuh dan terbuang sia-sia di saat terjatuh. Ia menggeleng, memilih untuk maju dan memberikannya kepada Cancri secara langsung. Rebecca menahan rasa mualnya, ia kemudian berhasil dan menahan napasnya beberapa detik.
Cancri yang mengerti keadaan Rebecca segera meraih botol obat dan berlalu pergi ke ruangan Bell. Ia tak ingin melihat Rebecca lebih tersiksa saat berada di dekatnya. Apa semua wanita begitu disaat sedang mengandung? Cancri tak merasa Lizzy seperti itu dulu. Atau mungkin ia tak mengerti dan tak tahu bagaimana Lizzy saat mengandung anak-anaknya dulu. Sejenak, Cancri merasa sedih, ia merindukan anaknya yang bahkan tak sempat lahir.
Menyingkirkan pikiran konyolnya, Cancri segera membuka pintu ruangan khusus. Ruangan itu terasa panas, sangat cocok untuk menjaga keseimbangan tubuh pasien yang meminum racun milik ibunya. Pria itu meraih suntikan, ia menatap cairan merah yang tadi dibawa olehnya. Dengan telaten, ia memasukan cairan itu ke dalam suntikan dan menyuntikan cairan itu kedalam tubuh Bell. Pria itu menatap, obat yang ia buat memang lama untuk menunjukan reaksi. Dari semua bahan-bahan yang ada di dalam racun milik ibunya, ia yakin jika obat yang di raciknya sekarang akan berhasil.
"Cancri, aku ingin pergi keluar." Suara Rebecca terdengar. Cancri menatap ke arah speaker di dalam ruangan itu, lalu menekan tombol hijau pada jam yang ia gunakan.
"Baiklah, jangan pulang terlalu larut." Cancri kembali duduk, ia menatap tubuh Bell yang perlahan mengeluarkan keringat. Wanita itu bahkan sampai menggelepar dan beberapa kali batuk mengeluarkan darah.
Cancri tersenyum, pengeluaran racun di mulai. Ini akan memerlukan waktu lama, dan itu harus dihadapi Bell dengan sekuat tenaga. Pria itu tetap duduk, ia terus menunggu sampai semua racun di muntahkan oleh Bell. Darah yang keluar berwarna biru kehitaman, berbau sangat amis bahkan Cancri merasa sangat mual. Sepertinya, pembekuan di dalam sana membuat darah yang mencair menjadi sangat kotor dan darah itu juga menjadi racun bagi tubuh inangnya. Apakah Bell akan selamat? Cancri segera bertindak, ia memeriksa denyut nadi Bell bahkan menyiapkan alat CPR, memasang semua alat medis untuk menunjang keselamatan Bell. Pria itu segera membantu Bell agar bisa memulihkan kondisi, jika Bell tidak selamat, maka ibunya juga mengalami hal yang sama kelak.
…
Rebecca melajukan mobilnya di kegelapan malam. Ia kini berada di tengah keramaian kota dan menuju ke sebuah hotel bintang lima. Wanita itu sedari tadi hanya memikirkan satu hal, memberitahukan kehamilannya dan meminta tanggung jawab kepada kekasihnya. Tujuannya kini adalah sebuah hotel mewah yang terletak di jantung kota Paris. Beberapa menit berlalu, Rebecca sudah memarkirkan mobilnya di pintu masuk. Ia keluar, melemparkan kunci kepada seorang pria muda yang tak lain adalah bawahan kekasihnya. Kaki Rebecca melangkah masuk, agak terburu bahkan tidak memperhatikan orang-orang sekitar. Wanita itu bahkan tak sadar saat berpapasan dengan seorang pria berwajah datar dengan pakaian pelayan dan kacamata yang masih bertengger rapi di wajah tampannya.
Setelah masuk ke dalam lift, Rebecca menekan tombol empat puluh empat. Ia menunggu beberapa saat dan akhirnya lift itu melaju ke lantai atas, membawanya pada tempat perjanjian dengan sang kekasih. Saat pintu lift terbuka, seorang pelayan wanita seperti biasa sudah menunggu di depan pintu, di tangannya ada sebuah kartu tipis berwarna emas.
"Nona, Tuan sudah menunggu Anda. Ini adalah kunci masuk, Anda bisa langsung ke dalam sana tanpa membunyikan bel di depan pintu." Pelayan itu membungkuk, ia segera pergi setelah Rebecca menerima kartu tipis itu.
Rebecca melangkah pelan, ia memikirkan reaksi kekasihnya sekarang. Ia merasa takut jika pria itu sama seperti ayah yang selama ini mengikat ibunya dengan tali pernikahan. Rebecca menarik napas, ia menenangkan dirinya dan memasang senyum terbaiknya sekarang. Rebecca segera menuju kamar dengan nomor delapan ratus delapan belas. Ia memasukan kartu dan pintu akhirnya terbuka.
Le Meurice terletak di area strategis antara Paris Palaces. Daerah ini merupakan area utama yang dekat dengan De Rivoli dan hanya membutuhkan beberapa menit dari Louvre. Hotel ini memiliki pelayanan yang ramah. Kamar memiliki desain yang klasik yang dipenuhi dengan sentuhan satin berwarna pastel yang menambah kenyamanan. Interior yang megah membuat siapa saja betah untuk menghabiskan waktu di sana. Rebecca sering menginap di sana, dan itu juga dilakukan secara sembunyi-sembunyi dari keluarga besarnya. Rebecca mengembuskan napas, ia bisa melihat seorang pria yang kini sedang berdiri. Pria itu menatap jendela besar yang menghadap menara Eiffel, menghisap rokoknya dan mengembuskan asap dengan kasar.
Rebecca berjalan cepat, ia memeluk pria itu begitu erat. Rasa rindu mencair dan tangisnya pecah. Ada rasa sesak, benci, banyak hal yang tak bisa ia ungkap sekedar dengan kata.
"Becca," ujar pria itu. Suaranya terdengar begitu serak, "kenapa kau menangis?" lanjut pria itu.
"Aku hamil," sahut Rebecca cepat. Ia memejamkan matanya erat, berharap pria itu tidak melontarkan kalimat kasar bahkan memintanya untuk menjalani aborsi.
"Benarkah?" tanya Pria itu santai, "anak siapa?" lanjutnya dengan wajah bingung.
Rebecca membatu, apa pria itu mengira dirinya w************n? Apa pria itu akan menjadi b******n selanjutnya yang menyakiti anggota keluarga Snake? Rebecca melepas pelukannya, lidahnya kelu bahkan dia tak bisa menyembunyikan wajah kecewanya.
"Aku … aku …" Rebecca menunduk, ia tak sanggup mengucap kata. Pria itu masih membelakanginya, "… ini adalah anakmu," sahut Rebecca dengan suara pelan.
Suara kekehan terdengar, pria itu membalik badannya dan bertatap muka dengan Rebecca. Ia melangkah, "Jangan berbohong, Becca. Banyak wanita yang mengaku jika mereka mengandung anakku, apa kau tahu yang sebenarnya terjadi? Mereka membohongiku, mereka hanya ingin aku bertanggung jawab dan menggunakan kekuatanku untuk berlindung. Entah itu dari kemiskinan, atau amukan keluarga dan celaan masyarakat."
"Aku tidak berbohong!" tegas Rebecca.
"Apa yang bisa membuktikan dirimu jujur?" tanya pria itu sambil menyeringai.
"Apa yang kau inginkan?" tanya Rebecca.
Pria itu tersenyum, suara tawanya menggelegar dan membuat Rebecca melangkah mundur. Reaksi pria itu jauh dari bayangannya semula. Ia mengira pria itu akan senang dan bersedia menikah dengannya.
"Sayang, kau serius sekali." Pria itu berlari ke arah Rebecca, ia memeluk wanita itu bahkan mencium kening Rebecca berkali-kali. Aura hitam yang tadi memenuhi ruangan kamar seketika berubah, pria itu juga kini mengelus perut datar Rebecca. Ia terlihat bahagia, bahkan kembali mengecup pipi Rebecca sebagai tindakan yang paling cepat di lakukannya.
"Ada apa denganmu?" tanya Rebecca.
"Aku akan menjadi seorang ayah, apa salah jika aku senang?"
Rebecca menggeleng, ia memilih duduk dan menatap pria itu lagi. Ada rasa aneh yang menggerogoti hatinya. Pria itu tersenyum lembut dan menghampiri Rebecca, ia bahkan sekali lagi mengecup kening Rebecca.
"Kau aneh sekali," ujar Rebecca.
"Becca, mungkin kita tak akan bertemu dalam waktu yang lama. Aku merasa pergerakan Mama semakin aneh, dia mengirim suaminya ke berbagai tempat." Pria itu merangkul Rebecca kedalam pelukannya.
"Xavier di kirim ke The Venetian. Alucard kembali ke mansion pusat di Los Angel. Vicente mengurung diri bahkan tak ingin menyentuh makanan. Sedangkan Nero, pria itu masih bertahan … entah kapan dia akan disingkirkan secara halus."
Rebecca menatap bingung, bagaimana Roulette bisa sangat kacau setelah keluarga Snake menyingkir? Apa yang terjadi sampai semuanya berubah dalam waktu begitu dekat? Rebecca menatap kekasihnya, "Lalu apalagi yang terjadi?"
"Draco meninggal. Kejadian yang paling gila, dia adalah suami Mama juga." Pria itu mengembuskan napasnya gusar, jika saja Cancri bisa keluar dari sarangnya mungkin semua akan lebih terkendali dan jelas. Namun Cancri memilih menyingkir dan hidup dengan damai. Cancri bisa dengan mudah menyelidiki segala hal, namun pria itu memilih diam di saat semua orang memerlukan bantuannya untuk mendapatkan informasi. Pria itu juga yakin, jika Cancri memegang beberapa kartu dan kartu itu mengarah kepada para petinggi Roulette yang sekarang menjadi suami Felica.
"Ini mengejutkan." Rebecca memijat kepalanya, apa yang sang kekasih kabarkan begitu mengejutkan. Bagaimana jika Cancri tahu situasi sudah semakin kacau? Bagaimana adiknya menyelidiki masalah yang semakin mencekik ini sekarang?
"Kenapa Cancri menyembunyikan dirinya? Apa yang terjadi sebenarnya?" tanya pria itu, ia menatap Rebecca lembut. Ada rasa bersalah saat dia melihat tatapan Rebecca yang menjadi sayu dan sedih.
"Mommy masih belum pulih, Luzia di culik, dan Lizzy begitu aneh belakangan ini." Rebecca tak sanggup mengungkap masalah keluarganya, wanita itu menundukan kepala.
"Sejak perceraian Tuan White dan Nyonya Chaeri, Cancri terlihat lebih diam dan tak peduli kepada siapapun. Apa kau tahu sesuatu tentangnya?"
Rebecca menggeleng, tidak ada yang bisa menebak Cancri. Yang ia lihat Cancri tetap sama, bahkan pria itu tidak pernah membahas masalah White lagi. Jika dulu Cancri bisa berdiri selama beberapa jam di depan foto White, tapi kini foto White sudah dimusnahkan dari semua bagian keluarga Snake. Foto kebersamaan keluarga besar juga sudah habis dan di bakar tanpa sisa. Rebecca menangis dalam diam, ia tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi dikemudian hari. Ia hanya bisa diam dan menatap, ia tak bisa mengambil keputusan dan tak memiliki kekuatan.
Pria itu memeluk Rebecca, ia menjadi sandaran bagi wanitanya yang sedang menangis pilu.
"Vulcan, aku sangat takut. Bagaimana jika keluarga besar kita benar-benar hancur? Masalah silih berganti bahkan tak pernah berhenti. Cancri sekarang bertambah aneh, ia bahkan tak pernah membahas masalah White Snake, ia bersikap seolah orang itu bukan siapa-siapa bahkan tak memiliki ikatan darah dengannya." Rebecca memeluk Vulcan erat, ia akhirnya bisa menangis dan mendapat sandaran yang tepat. Sandaran seorang kekasih dan orang yang dia cintai sebagai seorang pria.
"Aku khawatir akan banyak masalah. Bisakah kau berjanji untuk menjaga anak kita? Bisakah kau berjanji akan selalu menungguku untuk kembali?" tanya Vulcan. Pria itu merasakan hal buruk akan terjadi. Dia tak akan bisa melindungi Rebecca lebih lama lagi, ia harus membuat Rebecca tetap berada di tempat yang aman dan bisa tetap hidup dengan tenang. Ia hanya ingin anaknya bisa hidup dan melihat dunia, ia ingin anaknya tidak menjalani nasib seperti dirinya atau ibunya kelak. Walaupun dia pria b******n, tetapi Vulcan tetaplah seorang ayah yang menyayangi darah dagingnya. Dia bukan White Snake yang akan menelantarkan anaknya, dia juga bukan suami-suami Felica yang ingin membuat anak-anak mereka terus hidup dalam bayang masa lalu.
"Kau akan pergi?" tanya Rebecca. Suaranya bergetar, bagaimana Vulcan bisa pergi meninggalkannya sendiri? Bagaimana pria itu bisa memilih pekerjaannya dibanding dirinya dan anak yang tengah hidup dalam rahimnya. Kandungan Rebecca baru menginjak bulan pertama, jika Vulcan pergi begitu lama bahkan meninggal, bagaimana ia menjelaskan semuanya pada anak itu kelak? Bagaimana ia menjawab di mana Vulcan berada sedangkan Vulcan menghilang atau bahkan lebih buruk lagi meninggal.
"Maaf, jika kita lari berdua sekarang mereka tetap akan menemukan kita. Apalagi adikmu itu sangatlah licik, ia terlihat diam tapi menyimpan banyak rahasia." Vulcan memeluk Rebecca, pria itu mengecup lembut kening Rebecca, turun ke hidung lalu berakhir di bibir wanitanya. Tangan Vulcan mengelus perut Rebecca, ada getaran aneh yang ia rasakan saat memejamkan mata dan merasakan detak jantung Rebecca. Ia merasakan betapa wanita di dekapannya berbeda, wanita lain tidaklah seperti Rebecca, reaksi tubuhnya sangat berbeda saat berdekatan dengan wanita pecinta bagel itu. Vulcan semakin memperdalam ciumannya, tangannya berpindah ke p******a Rebecca, meremasnya pelan dan teratur.
"Vulcan, aku sedang hamil." Rebecca mendorong pelan Vulcan.
"Becca, aku hanya ingin menikmati malam ini. Aku takut tak bisa bertemu denganmu dalam waktu yang lama," ujar Vulcan.
Rebecca mengangguk, ia juga takut tak bisa melepaskan rindu pada pria itu. Ia takut mereka tak akan bertemu. Wanita itu menarik kerah baju Vulcan, mereka berbaring dan saling memadu kasih. Tak ada kata yang terucap, yang ada hanya suara decakan pelan dari bibir yang terus bertaut dan saling mengecup. Tak ada tangis yang pecah, yang ada hanya desah lirih dengan suasana panas yang merajai.
Vulcan perlahan membuka dress selutut yang Rebecca kenakan. Ia mengecup lembut leher wanita kesayangannya. Pria itu memejamkan mata, ia menikmati tiap inci dengan penuh perasaan. Ia mengecup bagian d**a Rebecca, meninggalkan bekas kemerahan di sana. Dibukanya bra yang Rebecca kenakan, dilemparkannya ke sembarang arah dan mencium p******a Rebecca yang begitu ranum. Vulcan membuka celana dalam yang Rebecca kenakan, ia melemparkannya dan membelai lembut kewanitaan Rebecca. Tangan Vulcan perlahan membuka belahan kewanitaan Rebecca dan memasukan jari tengahnya pelan. Ia menjilat bagian perut Rebecca, lalu turun sampai pada kewanitaan Rebecca.
"Vul-can … hati-hati … akh," desahan Rebecca terdengar pelan, ia menggeliat saat Vulcan mencium selangkangannya. Wanita itu merasakan hal aneh sejak ia hamil, ia selalu ingin Vulcan menyentuhnya. Rebecca menggigit bibirnya pelan, apalagi saat Vulcan memainkan klitorisnya pelan. Pria itu memasukan dua jari tangannya, jari tengah pada lubang a**s, sedangkan jari telunjuk di memasuki lubang kewanitaan Rebecca.
"Ahh … Vulcan," suara Rebecca kembali menggema. Vulcan memainkan jemarinya dengan lembut. Ia ingin lebih kasar tetapi keadaan Rebecca sedang tak memungkinkan. Pria itu menarik jemarinya, ia berdiri dan menghidupkan lilin. Diletakannya lilin itu di atas meja, lalu dia memasung bagian tangan Rebecca dengan ikat pinggangnya.
Rebecca hanya bisa pasrah, ia menatap Vulcan yang meneteskan cairan lilin di tubuhnya. Wanita itu menggeliat, "Vulcan …" Rebecca menegang, rasa panas menghampiri kulitnya dengan kasar, menusuk bahkan membuatnya sedikit meringis. Wanita itu ingin bergerak, namun tangannya terpasung ikat pinggang. Wanita itu hanya bisa menerima, ia memejamkan mata saat Vulcan kembali bermain dengan kewanitaannya.
Entah sejak kapan pria itu sudah dalam keadaan telanjang, ia terlihat lebih buru-buru sekarang dan langsung memasuki kewanitaan Rebecca. Mungkin dia mempunyai urusan mendadak, atau memang tak ingin menyiksa Rebecca lebih lama. Vulcan menggoyang pinggulnya pelan, ia sedikit membungkuk dan membuka ikatan pada tangan Rebecca. Ditariknya wanita itu, membuat Rebecca dalam posisi duduk dan menghadap ke arahnya. Kejantanan Vulcan tetap berada di dalam kewanitaan Rebecca, dengan posisi mereka duduk dan sama-sama bergerak pelan.
Keduanya saling menatap, mereka bicara lewat pandangan mata. Saling mengunci dan menikmati bagian bawah mereka yang masih bersatu dan saling memuaskan. Vulcan berbaring, ia membiarkan Rebecca memimpin permainan. Pria itu tersenyum, apalagi saat Rebecca menggerakan tubuhnya naik dan turun secara teratur. Wanita itu bahkan terlihat semakin seksi di matanya. Vulcan mengulurkan tangan, ia meraih dua buah p******a Rebecca yang sejak tadi terpampang dan bergerak seirama dengan tubuh Rebecca.
Posisi woman on top, terasa begitu menguntungkan untuk seorang ibu yang sedang hamil muda. Posisi itu juga membuat kewanitaan Rebecca lebih sempit dan memuaskan Vulcan. Pria itu meringis nikmat, kejantanannya terasa di remas oleh otot-otot kewanitaan Rebecca. Rasa cinta membuatnya hanyut, rasa nikmat membuatnya melayang bahkan tak ingin segera turun lalu terjatuh di atas duri kehidupan.
Keduanya terus memadu kasih,mereka saling memuaskan. Vulcan yang terus bermain lembut, dan Rebecca yang terus menikmati kebersamaan mereka dengan sepenuh hati. Pria itu segera tersenyum saat Rebecca terjatuh di dadanya, wanitanya lelah. Dengan cepat Vulcan mengubah posisi, ia memerintahkan kepada Rebecca untuk menungging dan memulai aksinya lagi.
Doggy style, Vulcan menatap bongkahan b****g berisi milik Rebecca. Kewanitaan Rebecca terlihat basah dan Vulcan segera menjilatnya. Ia membersihkannya dengan lidah lalu menyudahinya dan memasukan kejantanannya kedalam liang surga itu. Terasa sangat sempit, tapi begitu menyenangkan.
"Becca …" erangan itu terdengar pelan. Suara serak memenuhi ruangan, bersatu dengan desah nikmat Rebecca. Vulcan bermain pelan, ia menikmati setiap detik kebersamaan mereka dengan baik. Ia ingin detik-detik percintaan itu terekam jelas dan abadi dalam handycame yang ia pasang tanpa sepengatahuan Rebecca.
"Vul-can …" desah Rebecca saat ia merasakan kejantanan Vulcan mengaduk cepat di dalam kewanitaannya. Wanita itu menopang tubuhnya dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya meremas payudaranya pelan. Ia memejamkan mata lalu membukanya kembali, rasa nikmat dari hentakan di belakang sana membuatnya begitu melayang.
"Becca … kau masih sangat sempit!" Vulcan dengan kasar memasukan dan mengeluarkan kejantanannya ia memegang bagian pinggul Rebecca dan menarik napasnya agak kasar. Ia ingin berhenti namun tubuhnya lagi dan lagi menginginkan Rebecca.
"Ah … Vulcan! Lebih cepat, aku … akh … aku ingin keluar," desahan Rebecca memenuhi kamar itu. Peluh mengucur dari pori-pori kulitnya. Wanita itu kaget saat Vulcan mencabut kejantanannya dan menggendong tubuhnya.
Vulcan menuju ke arah kaca dan membuka tirai itu lebih lebar, ia meminta Rebecca dalam posisi berdiri dan menghadap menara Eiffel. Setelah posisi Rebecca sudah diatur, ia segera memasukan kejantanannya dari belakang. Vulcan memeluk Rebecca, ia menggoyangkan pinggulnya sambil mengecup leher Rebecca. Aroma melati yang keluar dari rambut Rebecca membuat Vulcan mabuk. Ia menggila dan menyetubuhi Rebecca dengan posisi berdiri.
"Aku mencintaimu, akh … lebih dalam!" pinta Rebecca. Ia memekik pelan saat kejantanan Vulcan menyentuh g-spotnya. Pria itu bahkan menarik p****g payudaranya lalu menggigit punggungnya pelan. Ada sensasi yang lebih nikmat dari biasanya, apalagi saat Vulcan menjilat bagian belakangnya.
"Becca, ah … jika anak kita laki-laki, kau harus memberinya nama!" Vulcan menghentakan kejantanannya sangat kuat dan dalam.
"Ah … i-iyah!" tubuh Rebecca tersentak cepat, bahkan cairan yang keluar dari kewanitaannya tersembur, mengenai kejantanan Vulcan yang berada di dalam sana.
"Jika anak kita perempuan, maka aku yang akan memberikannya nama." Vulcan menarik kejantanannya dan kembali menghentakkan dengan kasar dan dalam.
"I-i-yah … maka, ah … kem- ah … Vulcan! Maka kembalilah, akh …" Rebecca menahan tubuhnya dengan tangan, tubuhnya kini terhimpit ke kaca dengan Vulcan yang terus bermain dengan cepat di belakang sana.
"Rebecca … aku … ah, aku mencintaimu!" Vulcan menghentak lebih cepat dan berakhir dengan semprotan s****a di dalam sana, memenuhi rahim Rebecca dan membuat napas pria itu memburu. Ia menarik tubuh Rebecca, mengecup bibir wanitanya dengan lembut, bahkan menikmati setiap tetes keringat yang membasahi tubuh mereka.