PROLOG

461 Kata
“Lucy, apa kau pikir, kita bisa mendapatkan pasangan yang benar-benar mencintai kita?” Lucia menghentikan kegiatannya yang sedang merajut sesuatu, demi menanggapi celotehan sahabatnya. “Tentu saja,” jawabnya dengan penuh keyakinan. “Kapan?” Lucia tampak berpikir. Lalu, senyumnya yang cerah itu terbit, menular pada sang sahabat dalam sekejap. “Kapan pun itu, aku yakin, Abby. Kita akan bertemu dengannya.” Abby, sahabat Lucia, berdecak. Meski begitu, senyum di wajahnya pun tak menghilang. Karena dia juga mempunyai keyakinan yang sama. Keyakinan bahwa suatu saat, mereka akan bertemu dengan pasangan yang sungguh-sungguh mencintai mereka—yang juga mereka cintai dengan hati penuh ketulusan. Lucia dan Abigail—Abby—tidak jauh berbeda dengan wanita seumuran mereka. Ketika menginjak usia tujuh belas, keduanya diajak berkeliling oleh orang tua masing-masing dari satu pesta ke pesta lain. Tujuannya, tidak lain adalah untuk mencarikan mereka laki-laki yang mau menikahi keduanya. Mulai dari seorang baron sampai duke yang telah menduda dan mempunyai anak tiga, semuanya mereka tolak. Bagi Lucia dan Abigail, pasangan adalah mereka yang memutuskan untuk hidup bersama karena saling mencintai. Tertarik pada satu sama lain. Mereka tidak ingin menghabiskan hidup dengan laki-laki yang tak pernah mereka cintai. Orang tua mereka marah besar saat terakhir kali Lucia dan Abigail menolak lamaran dua laki-laki keturunan bangsawan dari London. Bangsawan yang mempunyai kekerabatan dengan penguasa Istana Kensington saat itu. Mereka dianggap mempermalukan keluarga besar, sehingga keduanya sama-sama diusir dari rumah masing-masing. Kini, keduanya tinggal hanya berdua saja di suatu rumah kecil di Woodstock. Meninggalkan rumah nyaman mereka yang besar dan masing-masing mempunyai satu kamar luas. Lucia merajut pakaian untuk musim dingin, dan dijual ke pasar dekat rumah mereka demi mencukupi kebutuhan. Sementara itu, Abigail menanam berbagai macam bunga dan sayuran di depan rumah. Suatu malam, keduanya pulang cukup malam dari pasar. Malam yang lebih sepi dari biasanya, karena rumor mengerikan telah tersebar. Menuju jalan pedesaan tempat mereka tinggal, rumah-rumah telah tertutup rapat demi menghindari makhluk menyeramkan yang oleh orang-orang disebut sebagai vampire. “Cepat, Abby. Kita harus segera sampai di rumah.” Abigail merespons perintah Lucia dengan mempercepat langkahnya. Malam ini terasa begitu berbeda. Ada ketakutan luar biasa yang dirasakan keduanya. Ketakutan yang menjadi nyata ketika masing-masing dari mereka merasakan ada yang mencengkeram tubuhnya. Tudung di kepala mereka dilepas, lalu gigitan terasa di leher. Gigitan itu berubah menjadi rasa panas yang menjalar ke seluruh tubuh, dibarengi dengan jantung yang berpacu sangat cepat hingga rasanya seperti akan meledak. Abigail dan Lucia saling meraih tubuh masing-masing saat pelaku melepas cengkeramannya. Napas keduanya tersengal-sengal, dan beberapa saat kemudian, sakit yang menyiksa itu telah merenggut kesadaran mereka. Lucia dan Abigail tergeletak tanpa detak jantung di tengah-tengah jalanan pedesaan. Namun, saat bangun, keduanya berada di tempat lain yang sangat asing dan gelap, dan tidak ada detak jantung yang mereka dapat rasakan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN