SATU

2711 Kata
Decitan ban yang sedang memarkir mobil mewah, disusul dengan mobil mewah lainnya, menimbulkan banyak perhatian. Tak ada yang bisa mengalihkan perhatian dari keempat perempuan yang mengendarai Porsche dan Lexus itu. Mereka selalu penasaran terhadap out fit yang akan dikenakan sekelompok cewek itu. Yang mereka yakini, pasti mahal dan berbeda dengan yang dikenakan orang kebanyakan. Satu orang turun dari mobil sambil merapikan posisi tas di bahunya. Tas hitam dengan lambang yang sangat khas. Rambut hitamnya dibiarkan tergerai dengan gelombang di beberapa bagian. Kecantikannya tak pernah berhenti membuat orang-orang terkagum-kagum. Kaum hawa iri melihat hidung mancung dan bibirnya yang sangat tipis. Wajah cantik itu akan bersinar, menciptakan kemilau ketika sudut-sudut bibirnya terangkat, membentuk sebuah senyum yang sangat indah. Bella Widjaja. Putri bungsu Sahid Widjaja, pemilik retail terbesar di Indonesia. Turun dari Lexus berwarna abu-abu metalic, disusul oleh cewek lain yang tak kalah terkenal dan cantik darinya. Alyssa Pangestu. Anak sulung mantan aktor film kawakan yang sekarang menjadi salah satu gubernur di Indonesia. Berteman dengan Bella sejak masuk SMA hingga sekarang. Rambut panjangnya mencapai pinggang, ditata sedemikian rupa, sehingga tampak cantik dan cocok dengan bentuk wajahnya. Alyssa mempunyai tipe wajah khas putri-putri kerajaan di masa lalu. Pembawaannya elegan. Out fit yang dia kenakan hari ini tampak sederhana, tetapi tetap bernilai sangat mahal karena merupakan keluaran salah satu brand ternama dari Italia. Perawakannya tinggi dan kurus, dengan porsi kaki yang panjang, sehingga ketika dia berdiri atau berjalan, tampak seperti model di atas catwalk. Beralih ke mobil lainnya; berwarna putih elegan dengan desain mewah, dilengkapi logo berbentuk perisai yang mengandung lambang kebanggaan tempat nya diproduksi. Abigail Carter, cewek berambut blonde dengan high light berwana mereah muda di bagian ujungnya. Blonde adalah warna asli rambutnya. Dia menambahkan high light agar tidak membosankan. Hari ini, Abby—nama panggilan Abigail—mengenakan kaus putih yang kebesaran di badannya, dipadukan dengan celana jin berwarna biru dan sepatu kets putih dengan aksen biru tua. Rambutnya dia ikat sedikit di belakang. Seperti biasa, tatapannya sangat tajam dan sulit untuk diartikan. Tidak ada yang bisa menyelami pikiran seorang Abigairl Carter, bahkan Alyssa dan Bella yang merupakan teman dekatnya sejak menjadi mahasiswa di sini. Hanya satu orang yang bisa melakukan nya. Lucia Brown. Teman dekat yang hanya dengan melihat nya menghela napas panjang, sudah dapat mengetahui apa yang dirasakannya saat itu. Bahkan ketika dia tidak melakukan apa-apa, sorot matanya mampu mengatakan apa yang tidak bisa dirinya ungkapkan. Lucy—panggilan Lucia—mengenakan pleated skirt berwarna cokelat tua dan kemeja hitam lengan panjang berkerah dengan aksen payet melingkari bahu dan dadanya. Rambut blonde-nya tidak dia berikan style apa pun. Dibiarkan tergerai alami, tersapu angin yang berembus cukup kencang hari ini. Lucia paling tinggi di antara teman-temannya. Matanya bulat dan besar, berbanding terbalik dengan wajahnya yang tirus dan kecil. Untuk alasan tertentu, cewek itu mengingatkan orang-orang akan kucing yang menggemaskan. Namun, jika ada yang mengatakan dirinya mirip kucing secara langsung, dia tak akan segan-segan marah dan mengomel. Dia tidak menyukai kucing. Cenderung takut, dan itu tidak bisa ditoleransi lagi. Bahkan jika melihat kucing dari kejauhan, dia akan berteriak histeris sambil bersembunyi di balik punggung salah satu sahabatnya. “Ketemu di kantin, ya? Gue tungguin. Soalnya, hari ini cuman sampai jam sebelas doang,” kata Bella. Abigail mengangguk. “Gue sama Lucy jam dua belas teng keluar. Nanti kita susul lo.” Bella menimpali, “Gue absen dulu, ya. Dijemput bokap nanti. Makanya gue nebeng Aly.” “Oh,” balas Lucia. “Casting itu, ya?” Bella mengangguk. Sebagai anak dari seniman—lebih tepatnya aktor—senior yang sudah pensiun, dia sudah familier dengan dunia selebriti yang penuh gemerlap. Dia juga sudah terlatih akting sejak kecil. Wajahnya sudah banyak berseliweran di televisi sebagai bintang iklan. Kali ini, dirinya ingin mencoba akting sebagai pemain film. Meski bukan pemeran utama, dia ingin mencoba, agar karirnya tidak tertahan sebagai bintang iklan saja. “Best luck, Bel. Gue yakin, lo bisa dapetin peran itu.” Alyssa menyemangati. Diamini kedua temannya yang lain. Bella tersenyum manis. Dia tidak pernah berhenti bersyukur karena mendapatkan teman yang sanga suprotif seperti mereka. Lucia tidak banyak bicara, tetapi mempunyai cara sendiri untuk menunjukkan perhatiannya kepada yang lain. Abby sangat ramah dan mudah diajak berdiskusi. Pembawaannya sangat hangat, membuat Bella selalu merasakan kehangatan setiap kali berada di sisinya. Alyssa sangat pendiam, melebihi diamnya Lucia. Namun, dia tahu, perasaannya terhadap pertemanan mereka sangat tulus. Keempatnya berpisah menuju kelas masing-masing. Abigail, Alyssa, dan Lucia merupakan mahasiswa Desain Interior di Fakultas Seni Rupa dan Desain, sedangkan Bella berbeda fakultas. Cewek itu berkuliah di jurusan Manajemen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis. *** “Nggak bareng lagi?” tanya Edwin kepada Lucia. Cowok itu berbisik-bisik, akrena sedang berada di dalam kelas. Dosen di depan sedang ceramah tentang mata kuliah hari ini, tetapi dia tak bisa menahan diri untuk bertanya kepada sang pacar. Edwin Bagaskoro adalah pacar Lucia sejak lima bulan lalu. Hubungan mereka menjadi topik hangat selama berhari-hari di seantero kampus sejak hari pertama Edwin menunjukkan perhatian yang mesra pada Lucia. Mahasiswa cowok tentu iri padanya. Siapa yang tidak iri ketika kamu berhasil menaklukkan hati salah satu anggota pertemanan yang dijuluki orang-orang sebagai it girl-nya kampus. Baik Lucia, Abigail, Alyssa, mau pun Bella adalah incaran banyak cowok. Mulai dari satu jurusan sampai lintas fakultas. Lucia menggeleng pelan. Dia berbisik, “Kamu bisa ikut kalau mau. Kan, biasanya juga aku ajak kamu, tapi kamunya yang nggak pernah mau.” Benar. Lucia menamparnya dengan kalimat itu. Selama ini, dia tidak pernah mau jika diajak bergabung dengan teman-teman sang pacar. Katanya, dia tidak dekat dengan siapa pun selain Lucia. Akan canggung dan aneh. Padahal, Niko—pacar Abigail—pun tidak mengenal siapa-siapa, tetapi tetap bersedia untuk makan bersama-sama. Lucia, sih, sebenarnya tidak masalah. Hanya saja, Edwin juga sering protes setiap kali Lucia janjian dengan teman-temannya. Edwin inginnya setiap hari bersama Lucia. Ke mana-mana berdua saja tanpa ada kehadiran orang lain. Padahal, Lucia adalah tipe orang yang tidak bisa meninggalkan teman-temannya begitu saja meski sudah menemukan pasangan. Terutama Abigail. Tidak ada yang bisa memisahkan dirinya dengan cewek berambut blonde dengan high light merah muda itu. Mereka tak terpisahkan. Bagai saudara kembar yang salinig ketergantungan satu sama lain. “Ya ... gimana, ya? Aku nggak kenal mereka.” Lucia memutar bola mata malas. Alasan yang sama untuk kesekian kalinya. “Kamu nggak ada alasan lain?” Edwin nyengir. Lucy mengembuskan napas sambil menahan supaya rasa kesalnya tidak muncul terlalu cepat, dan tidak membesar menjadi rasa marah. Akan sangat bahaya jika dirinya marah di lingkungan kampus, lebih tepatnya di dalam kelas, yang sangat ramai ini. Bahaya bagi dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Jadi, dia tak boleh lepas kendali. Apalagi, di depan pacarnya yang maha sempurna ini. Dia tidak mau kehilangan Edwin hanya karena tidak mampu mengendalikan marah. Sangat memalukan dan ... menyedihkan di saat yang bersamaan. Tidak. Bukan karena Edwin adalah incaran semua cewek di kampus ini. Lucy tidak tergila-gila pada paras tampan tanpa celahnya. Perasaannya terlalu remeh jika diukur dari hal-hal semacam itu. Lucia Brown telah melalui banyak kesulitan dalam hidup, dan Edwin adalah satu-satunya (selain Abigail) yang membawa warna ke dalam hidupnya yang monoton. Ada sesuatu yang membuat Lucia menaruh perasaannya begitu dalam terhadap seorang Edwin Bagaskoro. Sesuatu yang telah dia rasakan seumur hidupnya, yang tidak akan pernah hilang kecuali oleh kematian. “Gini, deh. Nanti aku pulang bareng kamu. Kita bisa ke mana pun. Biar mobil aku, Abby yang bawa. Gimana?” Edwin mengangguk antusias. Wajahnya berubah 180 derajat, dari muram menjadi secerah matahari pagi. Seperti anak kecil yang terlalu senang ketika sang ibu menjanjikan wisata di akhir pekan. Antusiasme itu menularkan senyum cerah pada Lucia. Senyum yang sangat manis dan memesona, membuat Edwin celingukan ke sana-kemari. “Kamu kenapa?” tanya Lucia yang keheranan melihat tingkah sang pacar. Edwin menggeleng. “Kamu abis senyum. Aku nggak mau ada yang liat senyum kamu selain aku. Haram,” jawabnya. Lucia berdecih, tetapi kemudian wajahnya memerah menahan malu. Dia sadar bahwa Edwin hanya bercanda. Selama berhubungan, cowok itu tidak pernah berlebihan. Mereka melakukan porsi masing-masing. Menyadari bahwa setiap individu mempunya kehidupan sendiri-sendiir. Hanya status mereka yang terikat, itu pun bukan ikatan resmi yang bernaungkan hukum. Status yang tidak digunakan untuk mengekang satu sama lain. Jika dibilang ingin setiap hari, setiap saat bersama-sama, tentu Edwin dan Lucia juga ingin seperti itu. Namun, itu akan menemukan waktunya sendiri. Saat ini, mereka masih berada dalam fase yang membutuhkan kehidupan sosial. Berbaur dengan siapa pun yang dapat membawa perkembangan—perubahan baik terhadap diri masing-masing. “Kuliah saya akhiri, sampai jumpa di pertemuan berikutnya.” Lucia dan Edwin bergegas merapikan barang yang mereka keluarkan untuk menunjang kegiatan belajar. Keduanya keluar dari kelas bersamaan. Di pintu, berpapasan dengan Abigail yang memeluk buku besar. Sepertinya, buku itu baru dipinjam dari perpustakaan, mengingat di rumah yang mereka—Lucia dan Abigail—tinggali, tidak ada buku setebal itu. Tadi pagi pun, ketika berangkat, Abigail tak membawanya. Lucia berbalik, menengok ke arah Edwin yang berjalan satu langkah di belakangnya. “Aku duluan, ya? Mau langsung ke kantin sama Abby.” Edwin mengangguk. Cowok itu mengantar kepergian sang pacar denga flying kiss yang membuat cewek-cewek di sana menjerit tertahan. Iri terhadap Lucia yang mendapat perlakuan semanis itu dari seorang Edwin Bagaskoro. Lucia hanya bisa tertawa sambil membalas flying kiss darinya. Cewek itu tidak terlalu sering menunjukkan keceriaannya. Namun, ketika sedang muncul, maka tidak ada orang yang bisa menahan pesonanya. Lucia terlihat sangat cantik. Tatapan dan tawanya terlihat menyegarkan—me-recharge siapa pun yang sedang kehilangan energi. Tidak berlebihan jika Edwin, terkadang, merasa cemburu setiap kali melihat banyak cowok yang menatap pacarnya dengan sangat intens. Pada dasarnya, Lucia memang sangat menarik—lebih dari sekadar cantik. Tepukan di bahu membuatnya terperanjat kaget. Dia menoleh, dan mendapati teman satu jurusannya tersenyum lebar dengan tatapan yang mempunyai maksud tertentu. Edwin menoleh sekali lagi ke arah Lucia. Pacarnya itu sudah menghilang di tikungan menuju kantin fakultas. Barulah, cowok itu mengalihkan seluruh perhatian kepada temannya. “Kenapa, Bray?” Cowok yang dipanggil Bray itu melepaskan rangkulannya di bahu Edwin, memindahkan kedua tangan ke dalam saku. “Cuma mau nanya aja, gue. Lo ... kapan putus sama Lucia?” Pertanyaan itu membuat Edwin menendang tulang kering temannya dengan refleks. “Apa-apan lo!” gerutunya. Meski mengaduh karena sakit akibat tendangan Edwin, cowok itu terbahak-bahak. Merasa senang karena berhasil mengerjai temannya yang satu ini. “Becanda, anjir! Lo, sih, keliatan banget bucinnya sama Lucy. Banyak yang iri, noh!” Edwin membetulkan letak tas di bahunya, lalu bergegas meningggal cowok bernama Darius itu. Darius adalah temannya sejak masa SMA. Mereka tidak begitu dekat, tetapi juga bisa dikatakan tidak asing sama sekali. Keduanya satu tongkrongan, tapi tidak sampai mermabah ke hal-hal pribadi layaknya teman dekat. “Suruh mereka jadi gue dulu, baru bisa dapetin Lucy.” Dia berkata dengan pongah. Darius berdecak kesal. “Jadi lo, sama saja dengan mereka harus ngeluarin biaya banyak buat operasi. Biar bener-bener mirip lo.” Ucapan Darius bisa dikatakan memuji secara tidak langsung. Cowok itu mengatakan bahwa cowok-cowok yang iri kepadanya, harus melakukan prosedur besar yang akan memakan biaya sangat banyak. Artinya, Edwin memiliki visual serta proporsi tubuh yang sempurna. Impian banyak orang, sehingga rasanya, tidak mungkin untuk menjadi cowok itu. Tidak akan ada yang menyangkal hal itu. Bentuk wajah yang sangat presisi. Hidung lancip, mata dengan double eyelid dan bulu lentik, serta bibir yang terbelah dua. Rambut hitamnya dibagi menjadi dua dengan poni sedikit menghalangi dahinya. Lesung pipi tak mau kalah menjadi penambah pesona bagi seorang Edwin Bagaskoro. Tubuhnya tampak sehat dengan tinggi dan berat badan yang ideal. Dia rutin olahraga. Tiga kali dalam seminggu, dan itu menunjang penampilannya—selain untuk kesehatan. “PS, kagak?” tanya Darius, mengalihkan topik yang sebenarnya cukup menyebalkan. Fakta bahwa seorang Edwin tak akan bisa tergantikan di mata Lucia, cukup membuatnya harus menelan kenyataan dengan pahit. “Kagak, deh. Udah janjian sama Lucy.” “Ya, elah,” keluh Darius. Edwin tertawa saja. Dia dan Darius beserta beberapa teman lainnya sering menggelar duel Play Station. Dan itu lebih sering membuatnya lupa waktu. Edwin sedang sangat ingin bercengkerama dengan Lucia, sehingga dia memutuskan untuk absen lebih dulu dari kegiatan tersebut. “Ya udah, deh. Gue balik duluan. Kagak ada kelas lagi juga,” putus Darius. Edwin mengangkat tangan kanan, mengantar kepergian Darius dengam gesture tersebut. Dia sebenarnya sudah gatal sekali, ingin mengalahkan teman-teman tongkrongannya dalam bertanding PS. Sayangnya, keinginan untuk bersama-sama dengan Lucia lebih besar. Banyak yang ingin dia bicarakan dengan cewek itu. Apa pun. Tanpa perlu mencari topik. Ingin mengalir saja, tanpa ada rasa canggung sedikit pun. Lucia pendiam. Dia tidak banyak bicara. Namun, jika berada dekat dengannya dan teman-teman Lucia yang lain, cewek itu sangat aktif berbicara. Pun responsif. Tidak dingin atau judes seperti yang orang lain pikirkan. Senyum manis muncul di wajah tampan tanpa celahnya. Dia benar-benar tidak sabar untuk segera ‘berkencan’ dengan seorang Lucia Brown yang lebih sering menghabiskan waktu bersama Abigail Carter daripada pacarnya sendiri. Dia tak ingin protes atau mempermasalahkan hal ini dengan serius. Toh, Abigail sudah lebih lama mengenal Lucia. Mereka bahkan seperti kembar yang tak terpisahkan sejak pertama kali masuk ke kampus ini. Jadi, akan sia-sia jika mempermasalahkan hal tersebut. Bisa-bisa, malah dirinya yang ditendang dari kehidupan cewek itu. Edwin bergidik ngerik. Dia tak ingin hal itu terjadi. Amit-amit, katanya. Menaklukkan hati seorang Lucia sangat sulit. Membutuhkan waktu yang sangat lama. Jangan sampai dirinya semberono dan membuat cewek itu mengakhiri hubungan mereka. *** Ke mana pun mereka pergi, selalu menjadi pusat perhatian. Visual, gaya rambut, gaya berpakaian, barang-barang yang dibawa, dan segala hal yang ada dalam diri keempat cewek ini, selalu menjadi topik pembicaraan. Raut wajah mereka saat lewat pun rupanya cukup menarik untuk didiskusikan. Lucia, Bella, Alyssa, dan Abigail sudah seperti selebritas yang mempunyai jutaan orang penggemar di seluruh penjuru negeri. Selalu ada saja yang dibicarakan. Hal terkecil pun, seperti warna nail art yang mereka kenakan hari ini, didiskusikan dan dicari di mana mereka memakai jasanya. Kampus ini diisi oleh orang-orang yang kelewat kaya. Mulai dari anak pejabat pemerintahan sampai konglomerat, menimba ilmu di sini. Semua orang saling mengetahui asal-usul masing-masing keluarga, termasuk Alyssa dan Bella. Hanya Lucia dan Abigail yang misterius. Tidak pernah ada selentingan apa pun tentang keluarga dua cewek itu. Bahkan Alyssa dan Bella, jika ditanya tentang mereka, hanya menggeleng sambil berkata bahwa mereka tidak tahu apa pun. Terkadang, Bella bertanya-tanya. Dia juga penasaran seperti apa keluarga Abigail dan Lucia. Lucia pernah berkata padanya bahwa dia dan Abigail sudah berteman sejak lama sekali. Keluarga mereka tidak ada hubungan kekerabatan, tetapi cukup dekat satu sama lain. Namun, benar-benar sebatas itu. Tidak ada informasi tambahan lain yang bisa menuntaskan rasa penasaran orang banyak. Nama lengkap orang tua, misalnya. Di negara ini, terlalu banyak ekspatriat yang menetap. Marga Brown dan Carter pun tidak sedikit jumlahnya. Jadi, tidak ada yang bisa menebak dari keluarga mana mereka berasal. Rasa penasaran Bella hanya sebatas itu. Dia tidak terlalu memikirkan asal-usul keduanya. Selama mereka saling mengasihi, berlaku baik, dan tidak saling menusuk di belakang, Bella tidak keberatan. Perasaannya untuk pertemanan ini sangat tulus. Dia tak mau hubungan mereka dicederai oleh kecurigaan-kecurigaan yang tak berdasar di antara masing-masing individu. “Jus apel buat Abby,” ucap Alyssa sembari menaruh jus berwarna merah muda di atas meja kantin. “Americano buat Lucy, dan ini—jus buah naga buat gue.” Gelas berisi minuman berwarna hitam dan merah keunguan sudah berada di atas meja—menyusul jus apel milik Abigail. Alyssa menawarkan diri secara sukarela untuk mengambil minumannya di counter. Jadi, tidak ada yang membantu. Mereka terbiasa seperti itu. Biasanya dilakukan dengan cara melakukan tantangan. Siapa pun yang kalah, akan menjadi ‘pelayan’ pada saat itu saja. Begitu terus sampai semua orang kebagian tugas tersebut. Akan tetapi, entah mengapa, hari ini Alyssa dengan senang hati melakukannya. Lucia dan Abigail, sih, senang-senang saja. Mereka tinggal duduk dengan manis, makanan pun datang tanpa perlu repot-repot mengantre. “Tumben banget nggak ngopi?” tanya Abigail kepada Alyssa. Alyssa dan Lucia mempunyai ketertarikan yang sama terhadap kopi. Biasanya, mereka akan memesan kopi yang berbeda, kemudian saling mencicipi milik satu sama lain. “Lagi pengin aja,” jawab Alyssa singkat. Abby tidak bertanya lebih jauh. Dia berada di antara dua cewek yang jarang bicara. Biasanya, dirinya dan Bella yang akan mencairkan suasana, lalu Lucia dan Alyssa akan menimpali, sehingga atmosfer di sekitar mereka selalu ceria. Namun, kali ini berbeda. Dia tidak tahu harus berbuat apa tanpa Bella. ***

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN