Sembunyikan Aku

1603 Kata
Rintik hujan dengan udara lembab itu mengundang Leonor untuk bergelut dalam selimut sambil menonton Netflix. Dia menyesal tidak diam saja di rumah. Kepergiannya ke restaurant ini malah membawa Leonor pada drama. Tubuhnya penuh dengan cream kue dan bau amis dari saus, dengan orang-orang disekitarnya yang menyangka dia sakit asma. “Aa mau bawa dia aja, Kek. Gak usah ke rumah sakit.” “Terus kamu mau bawa dia kemana?” “Dia udah sadar kok, Cuma malu aja buat buka mata,” ucap Jerome sambil terkekeh meremehkan. “Oh iyakah?” seline sampai ikut berjongkok. “Leonor? Kamu udah sadar, Nak?” Namun Leonor tetap memejamkan matanya. “Kayaknya iya deh, dia malu. Yaudah Aa bawa aja dulu. Nanti kita ngobrol lagi.” Pria itu menyelimuti dulu tubuh Leonor dengan coatnya sebelum digendong dan dibawa keluar restaurant. Biarkan saja keluarganya membereskan kekacauan di sana. “Buka mata kamu.” “Minimal bawa ke parkiran dulu kenapa,” ucap Leonor dengan mata terpejam. Begitu sampai di parkiran sunyi, barulah dia membuka mata dan melihat jelas pria yang menggendongnya. “Turunin, kasian nanti lu encok.” “Jangan kabur kamu,” ucap Jerome menarik rambut Leonor. “Ih ketombe.” “Itu bukan ketombe, itu garam yang tadi tumpah ya!” Leonor menarik napasnya dalam. “Tenang…. Tenang…..” kemudian menatap tajam. “Lu apa-apaan sih?! kok malah ngenalin gue ke keluarga lu kayak gitu? Mana bilangnya mau nikah lagi.” “Kamu ngaku-ngaku tunangan saya, kamu yang mulai. Makannya kamu harus tanggung jawab.” “Dihhh, tanggung jawab apa,” ucap Leonor berdecak. “Bilangin aja sama keluarganya kalau kita putus. Lagian kita gak akan ketemu lagi. Bye.” “Jangan kabur kamu.” “Ihhh lepas gak? Gue mau ke kamar mandi ini bau anyir.” “Tanggung jawab.” “Sinting,” ucap Leonor mencoba melepaskan diri. “Lepas gak?” “Kalau kamu gak mau, kita balik lagi ke dalam dan kamu jelaskan semuanya.” “Ihh tungguu!” Leonor panic ketika Jerome menariknya berjalan. Tenaga pria itu lebih besar, mustahil untuk dilawan. “Iyaaaa iyaaa! Gue tanggung jawab! Izinin dulu gue ke kamar mandi, please! Gue janji gue tanggung jawab.” Jerome berhenti melangkah. “Ada yang perlu saya bicarakan lebih jauh. Kita ke apartemen saya aja.” “Gue mau ke kamar mandi disini dulu. Gak kuat pengen e*k ihh! Atau mau izinin gue buang air disini? oke, fine.” Seketika Jerome melepaskan cengkramannya. “Saya ikut sama kamu.” “Terserah,” ucapnya berlari sambil memegangi p****t seolah dirinya memang menahan buang air. Namun nyatanya Leonor malah masuk mobilnya. “Heh, mau kemana kamu?” “Bye, Mas. makasih udah nolongin gue ya.” “Kembali ke sini, Leonor. Kamu harus tanggung jawab.” “Kalau situ bunting, baru gue tanggung jawab,” ucapnya memacu kendaran dengan cepat mengabaikan Jerome yang ada di belakang. Akhirnya Leonor bisa menghela napasnya lega. “Bodo amat dia mau bilang apa sama keluarganya. Lagian gue gak akan ketemu sama mereka lagi. Mereka Cuma tahu nama gue aja.” Setidaknya, Leonor berhasil membuat dirinya tampak move on dari mantan pacarnya. “Adee?! Kenapa itu bajunya kotor semua?” “Ituuu, Maa.. tadi ade jatuh terus temen yang bawa makanannya tumpah.” “Masuk sini, ayo mandi dulu.” “Mau dimandiin Mama,” ucap Leonor dengan manja mendatangi Mamanya. Baru juga hendak memeluk Elea, kepalanya rambut belakangnya ditarik seseorang. “Ihhh! Ayah apa-apaan sih?!” “Ayah dulu yang dimandiin sama Mama kamu.” *** “Aa ih mana sih calon Aa? Kok bikin Shiloh kaget! Katanya gak punya pacar, jomblo ngenes, tahu-tahunya udah setahun aja! mana lihat fotonya?” “Aa matiin ya Video callnya?” “Jangan atuh! Kan Aa belum beres kasih laporan buat Shiloh. Ditunggu sekarang juga pokoknya.” Si bungsu itu meminta bantuan Jerome untuk menganalisis penyakit yang diderita mayit lewat laporan yang dibuat Shiloh. “Udah Aa kirim. Jangan ganggu lagi.” “Makasih, Aa. Nanti Shiloh minta foto calon Aa ke Mama ya? soalnya ma──” TUT. Mematikan panggilan sang adik. Jaegar ikut heboh juga, dia menelpon Jerome berkali-kali dan diabaikan oleh si punya ponsel. Sudah tahu apa yang akan dibicarakan. Bang Jaegar: Secantik apa si Leonor sampe disembunyiin setahun? Mana udah lu lamar lagi. Bang Jaegar: Takut diembat orang lain atau emang itu cewek malu punya laki kayak lu? Hahahaha. Bang Jaegar: Masih belum percaya sih. awas aja kalau bohongan Cuma buat bikin Mama diem. Gue bogem lu, Jerome. Semalam Jerome pulang ke apartemennya dengan alasan membawa Leonor kesini. Makannya Seline datang pagi buta sekarang. “Ya Tuhan, panjangkan umur hamba.” Jerome membuka pintu apartemennya. “Mana Leonor? Aa gak apa-apain dia semalam ‘kan?” sambil heboh membawa dua tas jinjing di tangan. “Mama lupa, Aa gak boleh bobo bareng dulu sama Leonor selum nikah. Mana dia sekarang?” Leonor yang asli sekarang ini sedang bersiap menuju kampus, sarapan dengan disuapi sang Mama dan sesekali ribut dengan Ayahnya. “Ayah udah tua! Ngapain sih mau disuapin Mama?!” “Iri aja kamu, Jomblo,” ucap Gardea memeluk sang istri. “Minggir sana.” sambil mendorong kursi sang anak menggunakan kaki. “Iiiiii Mamaa,” rengeknya manja. Terbiasa manja dan semua keinginannya di kabulkan, jadi Leonor kadang keras kepala juga egois. Termasuk dalam hal perkuliahan. Dia datang ke kampus untuk protes pada dekan karena tidak menempatkan lokasi Koas bersama dengan teman satu geng-nya. “Bapak….,” rengek Leonor. “Saya gak kenal orang-orangnya.” “Kamu sendiri yang mau di RS ini ‘kan?” “Ya iya, tapi gak mau sama orang-orang ini. Pada gak kenal, Pak. Tukerin bisa yaa…” “Gak bisa, Leonor. Kalau mau, kamu yang dipindah RS aja. Gimana? Ribet mereka kan banyak, kamu Cuma satu.” “Enggak ih, Pak. Maunya mereka semua yang dipindah! Bukan saya. Bapak saya Penasihat Yayasan loh, Pak.” “Sok suruh dia maju, saya gak takut selama gak menyalahi aturan.” Kalau sudah seperti ini, Leonor kalah. Dia hanya bisa cemberut dan memohon pada sang Dekan. “Pak, maaf ada Dekan Fisip datang,” ucap sang ajudan. “Noh, saya ada tamu. Sana kamu keluar. Ini surat pengantar buat besok kamu ke Rumah Sakit.” Leonor keluar dari ruang dekan sambil menghentakan kakinya kesal. Mengedarkan pandangan mencari obyek yang bisa melampiaskan kekesalannya. Matanya malah menangkap sosok Papa dari pria bernama Jerome. “Pak Dekan,” panggil seseorang pada pria itu. “Gimana keadaan Fisip?” “Shiiittt! Dekan Fisip!” Leonor membungkam mulut seketika dan langsung menutup kepala dengan tas. Bodohnya dia! Semua barang dalam tas berserakan hingga membuat Zain dan ajudannya mendekat. Tidak mau ketahuan oleh pria itu, Leonor berlari seketika…. BRUK! “Euhhhh, sakit itumah,” ucap Zain melihat mahasiswa aneh yang menabrak tiang hingga terkapar. “Kamu tolongin dia deh, saya alergi mahasiswa stress.” “Baik, Pak.” *** “Dunia sempit banget sih,” gumam Leonor meratapi nasibnya. “Tapi…. Lagian gue gak akan ke fisip.” Setelah semalaman memikirkan Dekan Fisip, Leonor memilih focus pada hal lain. Sebagai calon dokter, ada tahapan yang harus dilewati Leonor termasuk Koas. Dia akan memulainya besok, dan sekarang adalah jadwal menyerahkan surat pengantar disertai sambutan dari pihak sana. Leonor terlambat mendapatkan surat pengantar karena sebelumnya dia tidak masuk kelompok yang berada di Rumah Sakit Bratadiama. Tapi karena Dekan tahu Leonor anak dari pasangan Hakim juga Jaksa, serta Ayahnya penasehat Yayasan, maka diberikan jalan special. Sampai di rumah sakit, Leonor bergabung dengan anak-anak lain. Jujur saja dia bukan type yang mudah beradaptasi apalagi dengan circle jenius seperti mereka. Leonor tidak terlalu pintar, tapi dia terlanjur menyelam di dunia kedokteran. Orangtuanya juga tampak bangga saat Leonor lulus ujian. Jadi, dia tenggelam saja menelan semua mata kuliah yang membuatnya sesak napas. “Hai, gue Leonor. “Gue Rini, yang itu Dewi sama yang satunya Ika. Yang lainnya belum dateng,” ucap wanita berambut pendek sebelum focus lagi pada percakapan sebelumnya. Leonor merasa terbaikan, atau memang dirinya yang tidak paham dengan pembicaraan mereka. “Gue mau ke kamar mandi dulu ya.” Leonor perlu menghilangkan rasa gugup bergabung dengan circle baru. Jujur saja dia bukan type yang mudah beradaptasi. Melihat group chat teman-temannya mengirimkan selfie, Leonor jadi kesal. “Gak papa, ini rumah sakit terbaik disini,” ucapnya pada diri sendiri. meskipun tidak kenal dengan anak-anak genius itu, Leonor akan mencoba berbaur. “Kayaknya dia gak seharusnya di RS ini deh. Dia gak masuk ketentuan.” “Gak terlalu pinter ya?” “Gak menang beasiswa juga ‘kan? kenapa bisa masuk kesini ya?” Sudah Leonor duga kalau dirinya dibicarakan. Namun, dia berusaha biasa saja dan kembali bergabung ke sebuah ruangan dimana akan ada sambutan dari pihak rumah sakit. Layaknya seminar, mahasiswa itu duduk berjajar sementara di depan mereka adalah jajaran dokter. “Selamat pagi, adek-adek koas.” “Selamat pagi, Dok.” “Sudah sarapan semuanya?” “Sudah, Dok.” “Bagus, tampak semangat ya semuanya. Saya harap hari-hari selanjutnya akan seperti ini juga. Perkenalkan saya dokter Ariel Liang selaku spesialis dermatologi yang akan me──” ucapan dokter tersebut terhentikan karena temannya berbisik. “Ohh, maaf ya adek-adek. Tadinya hari ini kita akan disambut oleh Direktur Rumah Sakit ini, tapi beliau memiliki urusan. Jadi diwakilkan kepada Wakil Direktur Rumah Sakit. Dokter Jerome Bratadiama spesialis Jantung.” Sampai membuat teman-temannya berbisik. “Nama akhirnya Bratadiama, kayaknya dia penerus direktur yang sekarang ya?” “Kayaknya iya deh, masih pemilik rumah sakit ini.” Namun, yang Leonor takutkan adalah…. Itu orang yang sama. Begitu Leonor menoleh ke belakang dan melihat kedatangan Sang Wakil Direktur….. saat itulah Leonor merasa dunianya hancur.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN