Kehangatan

1967 Kata
Elea mengagumi Reynaldi itu sejak lama. Dia sering curhat pada teman terdekatnya, meskipun hanya dianggap adik, tapi Elea bersyukur karena dekat dengan pria itu. Sampai ketika Reynaldi mengajaknya berkencan, bagaimana mungkin Elea menolak. Itu adalah impiannya! Niatnya, malam ini Elea akan keluar bersama dengan Gardea. Namun pria itu tiba-tiba mendapatkan telpon dari seseorang. “Bentar ya, Sayang. Ada telpon dulu,” ucap Gardea. Elea yang sudah bersiap-siap itu cukup kesal, tapi dia mencoba professional dengan dirinya sendiri. “Sadar, Elea. Jangan habisin tenaga kamu buat marah, dia gak penting.” Ketika Gardea bicara, Elea memilih memesan makanan untuk diantarkan ke kamar. Makan sendiri tanpa memikirkan biaya yang harus dikeluarkan. Suaminya kan kaya, Elea makan sepuasnya saja. Dari balkon, Gardea juga memastikan sang istri makan dengan baik, sesekali terkekeh yang dibalas tatapan tajam oleh Elea. “Menggemaskan sekali.” “Apanya, Pak? Kasus pembunuhannya?” “Saya gak ngomong sama kamu,” ucap Gardea kembali focus pada pembicaraan. Elea masih bisa mendengar kalau Gardea membicarakan kasus di persidangan, jadwalnya dan pertemuan yang akan dia lakukan, Pria itu sedang bicara dengan ajudannya. Lama sekali sampai Elea selesai makan dan kehilangan minat untuk jalan-jalan. Begitu selesai, Elea langsung merebahkan tubuhnya di ranjang. “Gak jadi keluar?” “Lah, yang duluan sibuk siapa?” “Maaf, Sayang. mau sekarang yuk?” tanya Gardea membujuk sang istri. “Gak, udah kenyang. Gak mood juga.” “Kalau beres makan, jangan langsung tidur. Gak baik.” Elea tetap diam saja mengabaikan Gardea. Sementara pria itu menyalakan televisi untuk memutar lagu dansa yang membuat Elea menoleh, mendapati Gardea yang mengulurkan tangannya. “Bakar kalori dulu ayok.” “Saya gak tertarik, Bapak dansa aja sendiri.” “Ayooo cepetan… nanti kamu sakit.” Menarik Elea secara paksa hingga berdiri. Mulai meletakan tangan di pinggang sang istri, dan tangan lainnya menggenggam jemari Elea. “Dansa kayak gini juga naikin mood.” Elea mencoba mengimbangi, tapi pada dasarnya dia tidak bisa berdansa. Malah menginjak Gardea terus. “Tuh gak bisa, udah ah.” “Naik aja ke kaki saya.” “Udah ah gak mau! Aaaa!” Elea malah dinaikan untuk menginjak kedua kaki Gardea, jadi yang bergerak hanyalah pria itu. Elea akhirnya diam ketika mulai menikmati. “Kamu harus banyak belajar dansa, Sayang. Ada banyak pesta yang akan kita hadiri ke depannya.” “Percaya diri sekali, pergi saja sendiri.” “Nggaklah, sama kamu aja. Mau pamer istri cantik soalnya.” Elea yang tengah galau oleh Reynaldi itu terbawa suasana untuk menikmati moment, jaraknya dan Gardea sangat dekat. Elea bahkan bisa bersandar di d**a pria itu dan mendengarkan detak jantung Gardea. “Tubuh kamu kecil sekali, tambah berat badannya, Sayang.” “Saya kabur kalau Bapak terus ngejek saya.” Gardea terkekeh dan mengecup puncak kepala sang istri tanpa berhenti bergerak. “Besok kita langsung ppindah ke Villa yang dekat dengan rumah Professor yang akan saya temui. Sisa hari kita habiskan disana.” “Kenapa mendadak?” “Professornya baru bersedia ditemui.” “Lalu gimana nanti jadwal yang ada di kota?” “Kan ada mobil, Sayang. masa iya kita terbang.” “Bukan gi…., sudahlah terserah.” Keduanya larut dalam perasaan masing-masing dalam dansa dimalam hari itu. Elea dengan rasa gelisahnya, dan Gardea dengan tawanya karena senang Reynaldi semakin sibuk. “Udah ah dansanya,” ucap Elea ketika dia menyadari perasaannya tidak karuan. “Ayok dipijit, abis itu saya mau tidur.” “Gak usah mijit malam inimah, nikmati aja sekarang.” Elea ingin mendorong Gardea menjauh, tapi nyatanya dia nyaman juga dan suka berdansa meskipun tidak bisa. *** Malam itu, Elea tidak pergi kemana-mana. Dia beristirahat dengan sang suami. Dan pagi harinya langsung pergi ke salah satu kampus dimana Gardea akan bertemu dengan pihak universitas sementara Elea sendiri dengan rapat yang diadakan oleh Ormawa disana dan mengundang dirinya. Main event Gardea bukan sekarang, tapi lusa dengan menggandeng professor yang dimaksud ke dalam pertemuan itu. Gardea dan Elea langsung bersikap tidak saling mengenal begitu mereka memasuki salah satu kampus di Yogyakarta. Gardea yang selesai lebih dulu itu memilih berbincang dengan salah satu teman lamanya sambil menunggu Elea. “Disini lima hari? Tapi padet?” “Enggak juga, paling lama juga pertemuan sampe sore. Ada waktu luang juga gak ada jadwal.” “Mau main gak ke rumah temen kita yang di Yogya? Nanti gue jemput.” “Nggak, gue mau habisin waktu sama calon ibu dari anak-anak.” Yang langsung membuat pria itu tertawa seketika. Mereka tengah berada di café yang tidak jauh dari kampus. “Nikah juga belum, Gar?” “Udah, Cuma keluarga aja yang tau.” “Serius? Sama siapa?” Gardea tersenyum kemudian menunjukan salah satu foto Elea yang dia ambil diam-diam. “Bukannya itu Presma dari Kampus lu….? Beneran?” tanya pria itu tampak tidak percaya. “Tapi…. Kalau dipikir-pikir emang mirip sama Ashila sih.” Gardea terkekeh. “No, bukan Cuma karena mirip. Dia punya tempat tersendiri di hati gue.” Segera memasukan kembali ponselnya begitu melihat Elea yang berjalan ke arahnya. Karena ada teman Gardea disini, Elea memilih untuk bersikap professional. “Pak, saya sudah selesai.” “Duduk dulu, Sayang. Makan dulu ya, kamu lapar kan?” Elea membulatkan matanya. “Hah?” “Gak papa, dia bisa jaga rahasia kok. ayok duduk dulu, Sayang.” Duduk dengan wajah yang kaku, hendak marah tapi terhentikan oleh hidangan yang datang berupa steik yang memang dirinya inginkan. “Saya Arief, temannya Gardea saat SMA.” “Elea.” “Wah, gak salah sih kalau Pak Gardea tergila-gila dengan modelan perempuan cantik seperti ini. semoga cepat dapat momongan ya.” “Terima kasih,” jawab Elea menahan diri untuk tidak marah ketika Gardea merangkul bahunya. “Saya tinggal dulu ya, kasihan kalian mau makan siang.” “Iya, jangan ganggu orang pacaran,” ucap Gardea yang langsung diejek oleh temannya itu. Ketika Arief pergi, barulah Elea menatap tajam pada sang suami. “Kok?” “Saya dari dulu mau pamer sama dia kalau punya istri yang cantik, Sayang.” “Emang istri sebelumnya belum sempet dipamerin?” Gardea terkekeh. “Ashila meninggal di tahun pertama pernikahan. Kebetulan Khalief tidak datang, jadi dia gak pernah lihat istri saya.” Tatapan sang suami yang tampak sedih itu membuat Elea merasa bersalah, dia mengalihkan pembicaraan pada pertemuan yang dia lakukan di kampus tersebut. Dan gardea menanggapinya dengan memberikan usapan di kepala. “Iya? Yang bikin kamu kesel yang mana emangnya, Cantik?” “Bisa gak sih gak pegang pegang?” “Gak bisa, Sayang. Kalau deket kamu pengennya terus bilang I Love You.” Sampai Elea jengah mendengarnya. “Makan yang banyak ya, Sayang. suami kamu mau angkat telpon dulu.” Gardea benar-benar sibuk, dia ini seorang Hakim Ketua tapi masih menjalankan tugas Yayasan yang sebenarnya bisa diwakilkan oleh yang lain. Bahkan ketika selesai makan, Gardea masih sibuk dengan telponnya. Yang Elea tahu, sekarang dia akan pergi ke villa yang jauh dari perkotaan. Katanya, Villa ini adalah milik sang professor. Elea tidak suka ketika melihat banyak pohon disepanjang perjalanan. Dan benar saja, tempatnya terisolasi. “Ayok turun, Sayang.” “Dimama tempat profesornya?” “Rumahnya agak jauh juga sih dari sini. Tapi dia minta kita tinggal disini.” “Sisa hari kita bakalan disini?” tanya Elea tidak percaya. “Gak seburuk itu.” Gardea yang membawakan koper dan masuk ke dalamnya. Karena Villa ini di dekat tebing, maka pemandangan langsung mengarah ke pegunungan. “Bagus ‘kan?” “Sinyalnya jelek disini.” “Nanti malem ada yang pasang wifi kesini.” “Makanan?” “Udah penuh semua.” “Kenapa sih harus disini? kenapa gak di kota aja? kan kalau mau ketemu sama si Profesor juga bisa, kan kita ada mobil,” ucap Elea mengutarakan pemikirannya. “Ini itu gak masuk akal, kita ikutin perintah dia. Begitu?” “Yayasan punya kepentingan dengan dia, Sayang. Makannya emang harus dibujuk. Tempat ini juga strategis karena pertemuan emang dilakukan disekitar sini. Gak seburuk itu kok.” “Terus yang masak nanti siapa? Saya gak mau.” “Lah, sayang kan emang gak bisa masak,” ledek Gardea. “Biar suamimu ini yang masak. Okey?” *** Kak Rey: Sayang, maaf ya kakak bener-bener sibuk banget. Kamu juga lagi diluar kota ‘kan? stay safe ya. Fokus dulu sama kepentingan kamu disana. Nanti Kita ketemu kalau kamu udah pulang ke Jakarta. Kalau dulu tidak komunikasi berhari-hari juga tidak masalah untuk Elea, tapi sekarang kan posisi mereka sudah pacaran. “Tau ah.” Melempar ponsel ke ranjang dan keluar kamar Mendapati pria seksi itu tengah memasak, sudah ada banyak makanan di meja juga. “Makan malam untuk kesayangan.” Mana makanan itu semua favorite Elea. “Gak idaman gimana, udah ganteng gini bisa masak.” Gardea berbalik dan menumpahkan tumis terakhir ke piring. “Ayok makan.” “Gak pake racun atau pellet kan?” “Hahahaha! Enngak, Sayang. Kalau kamu udah mulai jatuh cinta, berarti setannya udah mulai ilang.” Elea mencoba masakan itu, rasanya bahkan lebih enak dari buatan sang Mama sampai membuat matanya membulat. “Nah? Enak ‘kan?” “Jadi gak enak kalau Bapak ngomong terus, nafsu makan saya jadi hilang.” “Makan yang banyak ya.” Mengusak rambut Elea. “Bapak mau kemana?” “Ke balkon, kamu makan duluan. Nanti gak nafsu kalau lihat saya.” “Ng-nggak gitu,” ucap Elea tidak nyaman kalau situasinya seperti ini. “Makan aja, kan bapak juga yang buat ini.” “Wah… apa Si sayang ini udah jatuh cinta?” “Nggak, itu Cuma menghargai aja,” ucap Elea mengingatkan. “Ngeles mulu, padahal udah mulai dagdigdug itu hatinya.” Padahal Gardea hendak menelpon, tapi malah ditahan oleh Elea. Ya mana menolak dia. Posisi ruang makan ini langsung menghadap ke pemandangan hutan yang indah. Tapi berubah mengerikan tatkala hujan petir mulai melanda, Elea takut dan membuat Gardea langsung menarik kursi perempuan itu untuk lebih dekat dengannya. “Saya bawa headset di tas kalau kamu mau pake.” “Ini belum diberesin.” “Gak papa, Sayang. Kamu istirahat aja ya.” Elea langsung ke kamar dan mengambil headset milik Gardea. Sial sekali sinyal tidak ada, untungnya Elea sudah mendownload beberapa lagu offline. Mendengarkan sambil membelakangi hujan dan mulai merasakan sakit di perutnya. Elea sadar, kalau dia datang bulan! Gardea yang tadinya hendak menelpon itu terhambat karena sinyal. Setelah membersihkan piring, Gardea masuk kamar. “Sayang kenapa?” tanya Gardea ketika Elea merintih. “Ada kantong air panas gak? Saya datang bulan.” “Sebentar.” Agak panic melihat istrinya berkeringat menahan sakit, tapi tidak ada kantung air panas disini. “Sayang, kamu tunggu dulu ya. Harus keluar dulu, disini gak ada kantong air panas.” “Gak mau,” rengek Elea. “Jangan tinggalin saya sendiri.” “Sayang bawa obat gak?” Tanya Gardea. Elea menggeleng lagi. “Biasanya kalau ininya diangetin suka langsung mendingan.” Mengusap perut bagian bawahnya. “Gak papa kalau gak ada. Jangan tinggalin.” Duh, Gardea merasa bersalah karena malah pindah kesini gara-gara professor yang sulit itu. Tidak mau membuat Elea semakin kesakitan, Gardea memposisikan tidur dibelakang sang istri. Menyelipkan tangannya untuk dijadikan bantalan. “Mau apa?” tanya Elea ketika punggungnya menyentuh d**a pria itu. “Hangatin kamu.” kemudian tangan gardea yang satunya masuk ke dalam pakaian Elea. Tangan besarnya itu menempel di perut bawah Elea. “Saya gak akan lewatin batas. Cuma hangatin kamu aja.” Bukan hanya bagian perut bawah yang hangat, tapi seluruh tubuh Elea ikut merinding dan panas. Sedikit saja tangan Gardea kebawah, akan menyentuh bagian intimnya. Namun, Elea merasa nyaman dan hangat dari telapak tangan itu. “Tidur yang nyenyak, Istriku.” Elea benar-benar dipeluk erat oleh Gardea malam itu. Rasa sakitnya teralihkan oleh debaran yang tidak karuan. Ini adalah posisi paling intim yang pernah Elea lakukan dengan seorang pria.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN