PART. 8 AKAD NIKAH

1315 Kata
Mia duduk di tepi tempat tidur. Memerhatikan seluruh ruangan. Kamar yang sangat luas. Dengan satu set sofa dan meja. Tiba-tiba Mia merasa tidak tenang perasaannya. Apa yang akan terjadi nanti saat setelah akad nikah. Apakah langsung malam pertama. 'Apakah Si Mister tidak merasa jijik menyentuh tubuh gadis kampung seperti aku. Aku tidak pernah perawatan ke salon. Atau memakai produk yang mahal. Apa yang aku pakai untuk tubuhku, hanya barang yang murah saja. Bukan barang yang bermerek mahal. Tubuhku tidak putih dan tidak mulus. Karena aku sering membantu Nenek ke sawah. Telapak tanganku juga kasar, karena sering mengerjakan pekerjaan rumah. Tidak ada yang menarik pada diriku. Tidak ada yang istimewa pada wajahku. Apakah Si Mister tidak akan menyesal memilih diriku. Kehidupan kami sangat berbeda, dia orang kaya yang sangat mudah mendapatkan segalanya. Sedang aku hanya orang kampung, yang harus bekerja keras untuk bisa bertahan hidup. Ya Allah, aku mohon mudahkan segalanya. Ampuni aku bila pernikahan ini menghadirkan dosa dalam hidupku. Ampuni aku ya Allah, aku tidak punya pilihan. Hanya ini jalan terbaik yang aku rasakan saat ini.' Azan Maghrib terdengar dari ponsel Mia. Ponsel android yang sudah tua. Hadiah ulang tahun ke tujuh belas dari ayahnya. Ponsel pertama yang dipakai sampai saat ini. Mia beranjak menuju kamar mandi. Mia mengambil air wudhu. Setelah itu segera salat Maghrib. Setelah salat Maghrib, terdengar pintu diketuk. "Non." Terdengar suara panggilan Bik Dinah dari luar. Mia segera membuka pintu. "Non harus segera bersiap untuk akad nikah. Apa perlu bantuan saya untuk mengganti pakaian dan merias wajah Non?" Tanya Bik Dinah. "Terima kasih, Bik. Tidak usah. Saya tidak perlu melihat wajah. Cukup riasan sederhana saja." Mia menolak tawaran Bik Dinah untuk membantunya. "Langsung pakai baju dan merias wajah ya, Non. Karena sebentar lagi akad nikah akan dilangsungkan." "Iya. Terima kasih." "Saya permisi." Bik Dinah meninggalkan depan pintu kamar. Mia menutup pintu kamar. Mia segera membuka lemari, untuk mengambil pakaian akad nikah. Kemudian Mia segera mengganti pakaiannya. Memasang jilbab di kepala. Lalu duduk di depan cermin, untuk merias sedikit wajahnya. Riasan hanya bedak dan lipstik saja. Mia tidak punya peralatan lainnya, hanya itu yang setiap hari ia pakai. Peralatan make up yang sangat sederhana dan apa adanya. Mia berdiri di depan cermin. Lalu difoto dirinya. Hanya sebagai kenangan, memakai busana cantik berwarna putih, dan jilbab juga warna putih. Pintu diketuk lagi. "Non, apa sudah siap?" Suara Bik Dinah terdengar dari luar. Mia melangkah ke pintu. Pintu dibuka perlahan. Bik Dinah menatap wajahnya. "Masya Allah. Non Mia cantik sekali." Bik Dinah memuji Mia dengan mata bersinar. Mia merasakan ketulusan dari pujian itu. "Terima kasih, Bik." "Mari, Non. Sudah ditunggu di ruang tengah." Bik Dinah membimbing lengan Mia saat melangkah. Tinggi Mia hanya sebatas bahu Bik Dinah. Di ruang tengah, ada Sean, Ibra, wali hakim, penghulu, dan semua asisten rumah tangga di rumah itu. Tidak ada orang lain lagi. Mia duduk di samping Sean. Sean memakai baju Koko putih, sarung putih, dan peci putih. Sean menatap Mia dengan biasa saja. Akad nikah dimulai. Penghulu menggenggam telapak tangan Sean. "Saya nikahkan engkau, Sean Michael William bin Alexander William dengan Mia Aulia Pratiwi binti Almarhum Pratama Asnawi dengan mahar seperangkat alat salat dan perhiasan dibayar tunai." "Saya terima nikahnya Mia Aulia Pratiwi binti Pratama Asnawi dengan mahar tersebut tunai!" "Sah!" "Sah!" "Alhamdulillah." Sean menyerahkan mahar dan memasang cincin kawin di jari Mia. Mia juga memasang cincin kawin di jari Sean dengan jantung berdebar, dan tangan gemetar. Sean merasakan tangan Mia sangat dingin. Sean mengecup kening Mia dengan santai saja. Mia mencium punggung tangan Sean. Bagi Mia momen pernikahan kedua dalam hidup ini, lebih menegangkan daripada pernikahan yang pertama. Karena yang jadi suaminya adalah bos di tempat ia bekerja. Apalagi ia sudah tahu, temperamen bosnya yang suka marah. Itu membuat perasaan Mia tak menentu. Takut berbuat salah dan berujung dimarahi. Mia pernah melihat saat Sean marah. Memang menakutkan sekali. Akad nikah selesai. Hidangan dinikmati. Mia tidak bisa menelan makanannya. Mia menahan air mata. Karena harus menikah tidak sesuai dengan pesan ayahnya. Ayahnya berharap Mia menikah dengan orang yang dicintai dengan setulus hati. Tapi hutang ayahnya, mengantarkan Mia harus menikah kontrak dengan Sean. Mia berusaha ikhlas menerima takdirnya. Setelah menikmati hidangan, para tamu pamit pulang. Mia masuk ke kamar untuk salat isya. Sementara Sean masih mengobrol dengan Ibra. Selesai salat isya, Mia duduk di tepi tempat tidur. Jantungnya berdebar memikirkan apa yang akan terjadi sebentar lagi. Apakah akan bermalam pertama, ataukah malam ini bisa tidur sendiri dalam tenang. Mia tidak berani mengunci pintu. Takutnya ia tertidur disaat Sean ingin masuk ke kamar. Mia membuka tirai jendela yang menghadap ke belakang rumah. Mia merasa dingin seluruh tubuhnya. Perasaan gugup menguasai hatinya. Ia memang pernah menikah dengan Fiki, tapi itu pernikahan yang diatur oleh ibu tirinya. Walau mengenal Fiki dari kecil, tapi mereka hanya berteman biasa saja. Tiba-tiba ibu tiri ingin menikahkan Mia dengan Fiki. Mia tidak bisa menolak. Karena ayahnya juga menyetujui. Mia hanya ingin membuat ayahnya bahagia. Tapi akhirnya ayahnya juga yang memutuskan pernikahan tidak dilanjutkan. Ayahnya minta Fiki menceraikan Mia hari itu juga. Dan ayahnya sendiri pun menceraikan ibu tirinya. Karena ibu tirinya ketahuan berselingkuh dengan Fiki, tepat di hari pernikahan Mia dan Fiki. Sebuah peristiwa yang tidak akan terlupakan seumur hidup. Menyakitkan hati, tapi untungnya tidak berlarut-larut. Mia justru senang mengetahui kalau Fiki ternyata selingkuhan ibu tiri sebelum mereka berhubungan lebih jauh lagi. Satu bulan setelah perceraian, ayahnya meninggal dunia. Ayahnya kena serangan jantung dengan tiba-tiba. Mia sebatang kara. Akhirnya Mia memutuskan untuk ikut ke Jakarta dengan sahabat ayahnya, Paman Saifudin. Karena pamannya mengatakan ada lowongan pekerjaan di perusahaannya. Bagi Mia tidak penting bekerja di bagian apa. Yang penting pekerjaan halal dan bisa menghidupi diri sendiri. Suara kenop pintu terdengar diputar. Mia memutar tubuh untuk menatap ke arah pintu. Kedua telapak tangannya saling genggam. Mia merasa telapak tangannya basah. Ia berkeringat dingin. Menunggu apa yang akan terjadi malam ini. Daun pintu terbuka. Sean menatap ke arahnya. Mia tidak sanggup menantang tatapan mata biru itu. Tubuhnya merasa panas dingin. Sungguh Mia berada dalam perasaan yang tidak menentu. Rasa takut dan cemas yang ada di dalam hatinya. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Juga tidak tahu harus berkata apa. Padahal semua orang yang mengenalnya menganggap ia gadis yang cerewet dan ceriwis. Tapi sekarang mulutnya seperti terkunci. Sean melangkah masuk, lalu menutup dan mengunci pintu. Tubuh Mia gemetar saat mendengar pintu dikunci. Mia berusaha memberanikan diri menatap wajah Sean. Sean berdiri di hadapannya. Jarak mereka tidak sampai satu meter. Di tangan Sean membawa goodie bag. Mia harus mendongak untuk menatap wajah Sean. Karena tingginya hanya sampai d**a Sean saja. "Kamu sudah siap?" Tanya Sean, tanpa basa-basi lebih dulu. Harusnya Sean tahu, perasaan Mia tidak tenang, perlu mengobrol dulu untuk menenangkan. Bukannya langsung bertanya seperti itu. Tapi Mia tidak bisa protes. "Siap apa?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Mia begitu saja. Sebenarnya Mia mengerti apa yang dimaksudkan oleh Sean. Tapi entah kenapa mulutnya justru balik bertanya. "Kamu sudah tahu. Kalau tujuan aku menikahi kamu untuk memperoleh seorang anak. Apakah kamu tidak tahu caranya memperoleh seorang anak seperti apa?" Sean tampak gusar karena Mia balik bertanya kepadanya. Jawaban yang membuat tubuh Mia gemetar dan hatinya bergetar. "Malu bertanya sesat di jalan. Lebih baik saya bertanya daripada salah. Bertanya bukan dosa, menjawab insya Allah dapat pahala." Mata Mia melotot ke arah Sean. Mia seakan lupa kalau bosnya itu suka marah. Gemetar tubuhnya hanya sesaat saja. Tatapan tajam Sean, membangkitkan keberanian Mia. Mia meyakinkan diri, kalau Sean juga manusia seperti dirinya. "Huh! Kamu terlalu banyak bicara. Sekarang kamu mandi. Bersihkan dirimu dengan yang aku bawa ini. Ingat harus bersih dari ujung kepala sampai ujung kakimu. Bersihkan apa yang tersembunyi dari dirimu. Jangan sampai ada kotoran dan daki lagi di tubuhmu." "Daki!? Walaupun saya tidak putih, tapi saya menjaga kebersihan setiap waktu. Tidak ada daki di dunia saya. Jangan menghina seenaknya ya! Saya ... hmmp!" Mata Mia melotot, karena bibir Sean menutup mulutnya dengan cepat. Mia berusaha berontak. Tapi Sean sangat kuat memeluknya. *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN